“Apa sih yang kamu katakan, Clara? Kenapa tiba-tiba kamu menuduh kami?” tanya Syifa dengan nada heran.
Tatapan Clara tajam tertuju pada dua sosok gadis di depannya. Dia berdiri berkacak pinggang dengan niat mengintimidasi.
“Kalian berdua pasti bersekongkol untuk mencelakai Tania. Gue tahu itu!”
Syifa menggelengkan kepalanya dengan tegas. “Kami sama sekali nggak berbuat semacam itu. Dan nggak ada bukti bahwa kami melakukan apa-apa kan?”
Clara terdiam dengan tatapan yang masih terarah keada Syifa.
“Lo yakin dengan ini, Clara?” bisik Rere mendekati telinganya.
Emosi Clara naik, membuat gadis itu nampak makin berang. Dia tak mau menggubris Rere yang nampak ragu dengan tindakannya.
“Kalian ngaku aja, apa yang udah kalian lakuin! Apa ini perbuatan lo, cewek aneh? Apa yang lo lakuin ke Tania?” tuding Clara kepada Amaya dengan jari telunjuk di depan wajah Amaya.
Amaya hanya diam saja, tak menanggapi ucapan provokativ Clara.
“Kalian menuduh tanpa bukti,” ucap Syifa kesal.
“Gue tahu, setiap kali ada cewek aneh ini, pasti ada aja yang terluka. Waktu itu Rere sampai masuk rumah sakit gara-gara dia. Sekarang Tania. Berikutnya giliran siapa lagi?!”
Mendadak Rere memegang lengan Clara, berusaha untuk menghentikannya bicara. Entah mengapa, dia dilanda suatu perasaan aneh. Seperti hawa dingin yang tiba-tiba menyergapnya. Hal itu membuatnya merinding.
“Clara, udah deh, mending kita cabut aja ke kantin,” ajak Rere dengan tenang.
“Bentar, Re,” sergah Clara masih belum puas.
“Kami nggak seperti itu, Clara. Lagipula, untuk apa kami mencelakai Tania?” sahut Syifa dengan nada panik.
“Lo nggak usah sok polos. Gue udah tahu bahwa lo dan Amaya ini sebenarnya ada di balik kecelakaan itu.”
“Tapi gimana caranya aku dan Amaya melakukan itu? Nggak masuk akal banget, Clara!” bantah Syifa dengan berani.
Clara mendelik menatapnya dengan marah.
“Entah gimana caranya, lo dan Amaya mungkin memantrai pohon itu biar tumbang menimpa Tania,” ucap Clara.
Syifa mengerutkan keningnya dengan rasa heran yang jelas. Bahkan Rere juga menatap sahabatnya dengan pandangan tak percaya.
“Clara ...,” panggil Rere.
Namun Clara masih berusaha untuk mengancam kedua korbannya. Rere berusaha memegangi tubuh Clara dan menariknya menjauh.
“Apa sih, Re?” ucap Clara dengan kesal. Keduanya sekarang berdiri menjauh dan bicara pelan agar tidak terdengar oleh Syifa maupun Amaya.
“Dengerin gue, mending sekarang kita pergi dulu. Pikirin rencana yang bagus buat mereka. Percuma aja lo terus-terusan ngancem mereka kalau tanpa bukti.”
Clara memikirkan ucapan Rere sejenak. Gadis itu nampak tidak puas. Tetapi, dia akhirnya mengangguk juga.
“Oke, sekarang kita pergi dulu.”
Kemudian dia berpaling pada kedua targetnya.
“Sekarang kalian boleh mengelak, tapi lihat aja nanti. Gue dan Rere pasti akan membongkar rencana busuk kalian berdua!” ucap Clara sebelum pergi meninggalkan ruang kelas.
Syifa menatap kepergian mereka dengan pandangan yang jelas-jelas tak mengerti. Kenapa Clara begitu ngotot menuduh dirinya dan Amaya sebagai penyebab atas kecelakaan yang terjadi pada Tania tempo hari?
Batin Syifa terusik. Dia sama sekali tak bisa tenang. Sepanjang pelajaran pertama hingga bel istirahat berlangsung, pikirannya terus terfokus kepada ucapan Clara. Maka pada waktu istirahat, dia memberanikan diri untuk bertanya kepada Amaya.
“May, apa kamu paham kenapa Clara menuduh kita sebagai penyebab kecelakaan Tania?” tanya Syifa.
Amaya terdiam seperti biasa. Dia tak menampakkan ekspresi apapun di wajahnya.
“May?” ulang Syifa.
“Tidak,” jawab Amaya dengan gelengan kecil.
“Aneh,” gumam Syifa, memikirkan sikap Clara dan Rere. “Kenapa ya, mereka bisa menuduh kita berdua? Padahal kan kita tak mungkin melakukan hal itu.”
Sekitar waktu kecelakaan itu, Syifa ingat bahwa dia memang bersama Reza. Namun, dia ingat persis, saat itu dia juga sempat melihat bayangan yang mirip dengan sosok Amaya di balik pilar. Apakah itu betul-betul Amaya? Kalau benar itu Amaya, maka apa yang sedang dia lakukan di sana waktu itu?
Kening Syifa berkerut dalam. Dia terus memikirkan semua pertanyaan ini dalam kepalanya. Konsentrasinya buyar hingga ia lupa memakan bekal yang sudah disiapkan ayahnya dari rumah.
Apakah jangan-jangan tuduhan Clara benar adanya?
Syifa mendadak teringat beberapa kejadian sebelum ini. Waktu dia melihat Amaya diserang oleh beberapa orang pemuda berandalan, gadis itu entah mengapa bisa melawan mereka. Bahkan, kejadian itu sungguh tak masuk di akal sedikitpun. Amaya seolah bisa membuat semua pemuda itu terlempar ke udara tanpa harus mengangkat satu jaripun. Dan yang paling sadis, salah satu pemuda bahkan sampai menggorok lehernya sendiri hingga berdarah-darah.
Pemandangan mengerikan itu membuat gejolak di perut Syifa merasakan mual. Jika dipikirkan, kejadian itu sungguh aneh. Dan hingga detik ini, Syifa tak mengerti bagaimana caranya Amaya bisa melakukan hal semacam itu. Apakah itu sesuatu yang ghaib?
“Bel berdering sebentar lagi,” ucap Amaya tiba-tiba.
Syifa terlonjak kaget. Dia baru sadar bahwa dia belum menyentuh kotak bekalnya sama sekali.
Benar saja ucapan Amaya. Bel masuk kelas berdering ribut. Semua anak segera masuk kembali ke kelas masing-masing. Syifa lekas menyingkirkan kotak makannya dan bersiap untuk pelajaran berikutnya.
Tetapi, seluruh konsentrasinya telah tersedot pada pemikiran tentang Amaya. Gadis aneh itu memenuhi seluruh benaknya dengan berbagai macam pertanyaan yang tak mampu ditemukan jawabannya.
Sepulang sekolah hari itu, Syifa berjalan berduaan dengan Amaya dalam keheningan. Keduanya seolah dipisahkan oleh sebuah tembok tak kasat mata yang menjadikan mereka begitu jauh meski raga mereka berdekatan.
“Aku harus pergi,” ucap Amaya.
Syifa menoleh dan menatap sahabatnya.
“Mau ke mana, May?” tanya Syifa.
Tapi Amaya tidak menjawab. Dia justru berjalan lebih cepat dan meninggalkan Syifa begitu saja. Dia membelok di suatu tikungan hingga sosoknya lenyap tak terlihat lagi.
Syifa berusaha untuk mempercepat langkah, berharap dapat mengikuti jejak gadis itu. Tetapi ketika dia sudah berbelok di tikungan yang sama, Amaya tidak terlihat.
“Ke mana dia?” gumam Syifa sendiri dengan kebingungan.
Syifa celingukan mencari di sekitar sana, tetapi tak nampak batang hidung Amaya sama sekali.
“Apa dia bisa menghilang tiba-tiba?” kata Syifa lagi dengab keheranan.
Gadis itu berdecak sebal. Lantas dia berjalan pulang tanpa menghiraukan pemikiran itu.
Dia memang aneh, tapi mana mungkin seorang gadis biasa bisa menghilang begitu saja? Dia toh bukan naruto atau ninja yang punya jurus seribu bayangan. Lalu, penjelasan macam apa yang bisa membuat berbagai kejadian misterius ini menjadi masuk akal?
Syifa menggelengkan kepalanya dengan frustasi. Dia merasa letih. Pikirannya sudah mentok dan sampai di jalan buntu. Dia tak bisa memikirkan alasan yang masuk akal atas sikap aneh Amaya.
Andai saja dia bisa membaca pikiran gadis itu, pikirnya.