Si Gadis Aneh

1094 Kata
“Tania sekarat, kondisinya sangat parah,” kata seorang siswi di kelas Syifa keesokan harinya. Gadis itu berjalan lambat-lambat sambil mencuri dengar obrolan mereka. Di bangku depan ruang kelas, Clara sedang mengobrol dengan teman-temannya. Syifa memperhatikan seorang gadis yang tak asing lagi, Rere di antara mereka. Dia nampak sudah sehat dan baik-baik saja. “Apa lo lihat-lihat?” seru Rere dengan judes kepada Syifa. Syifa tak menjawab, hanya berlalu pergi ke tempat duduknya sendiri di belakang. Sorot mata Rere mengikutinya dengan tajam, seakan ingin menusuk punggung Syifa. “Hai, kamu lagi ngapain?” sapa Syifa kepada Amaya. Gadis yang disapa duduk diam, melirik ke arahnya dengan aneh. Syifa merasakan suatu hawa dingin yang aneh itu kembali. Entah mengapa, berada di dekat Amaya selalu bisa membangkitkan rasa merinding. Mendadak dia ingat bagaimana dia melihat bayangan Amaya di balik pilar kemarin siang. Apakah itu benar-benar Amaya atau dia hanya salah lihat saja? “Padahal baru ditinggal sehari doang, masa’ lo semua nggak bisa jaga diri? Gue shock waktu dapat kabar dari Clara kemarin bahwa Tania kecelakaan,” ucap Rere dengan gaya dramatisnya. “Kalau sampai Rere kenapa-napa, gue bakal ngerasa bersalah banget, Re,” timpal Clara dengan isak tangis. Syifa tadinya tak melihat wajah Clara yang pucat dan matanya yang sembap. Gadis itu nampak jauh berbeda dengan Clara yang biasanya. “Dia nggak bakal kenapa-napa. Gue jamin. Dia pasti bakal sembuh secepatnya,” hibur Rere dengan yakin. Namun dia tak dapat meyakinkan Clara untuk tidak menangis. Dia sendiri merasa bingung harus bagaimana menanggapi berita buruk ini. “Nanti sepulang sekolah kita jenguk Tania di rumah sakit,” kata Rere memutuskan. Semua temannya mengangguk menyetujui. Nampaknya, dalam hal ini mereka cukup kompak untuk bersama-sama dalam satu suara. Rere adalah anak yang paling bossy di antara semua temannya. Wajar saja, karena status sosialnya yang lebih tinggi, maka secara otomatis semua temannya merasa sungkan dan memperlakukan dia sebagai yang paling dihormati. Jika tidak, maka kemungkinan akan timbul keributan. “Ngomong-ngomong, kemarin Tania ngerjain si anak cupu itu pakai es krim! Lo harus lihat fotonya, Re!” ujar salah satu temannya. Rere nampak melihat layar ponsel anak itu, sembari menyemburkan gelak tawa yang nyaring. Syifa merasa wajahnya merona merah. Dia tertunduk malu. Tak terbayangkan bagaimana rasanya menjadi bahan olok-olok seluruh sekolah. Wajah Syifa pasti telah tersebar dalam foto yang dibagi-bagikan oleh teman-teman Rere ke semua orang. Gadis itu tak sadar mencengkeram bolpoin dengan kuat, seolah hendak mematahkannya. “Kalau aku jadi kamu, akan kupatahkan leher mereka semua!” ucap suara di sebelah Syifa. Syifa menoleh dengan terkejut, melihat Amaya sedang menggambar di bukunya. “Apa kamu bilang?” sahutnya dengan rasa tak percaya. Amaya diam. Dia bersikap seakan tak pernah mengatakan apa-apa. Syifa menunggu, ingin mendengar kembali ucapan itu keluar dari mulut Amaya. Tetapi gadis misterius itu justru tak mengindahkannya. Syifa melirik gambar yang dibuat oleh Amaya. Nampak sebuah wajah, atau lebih tepatnya sketsa sebuah wajah yang awut-awutan dan proporsinya tidak sesuai. Gambar itu sebenarnya tidak jelek, tapi nampak suram dan berantakan. Wajah siapa itu? Batin Syifa dengan rasa ingin tahu. Tetapi dia cukup tahu diri untuk tidak menanyakan hal ini kepada Amaya, agar tidak menyinggungnya. “Hei, Syifa! Kerjain tugas gue dan tugas anak-anak. Nanti bel istirahat harus udah selesai semuanya!” perintah Rere sembari melemparkan tatapan mengancam pada Syifa. Syifa membuka mulutnya, menatap tumpukan buku tugas di atas mejanya dengan pasrah. “Tapi sebanyak ini?” gumamnya pelan. Rere yang hendak pergi lantas berbalik, mendelik menatap Syifa. “Lo berani membantah gue?” Syifa memikirkan ucapan kepala sekolah kepadanya beberapa hari yang lalu. Bisa gawat jika nanti beasiswanya dicabut hanya gara-gara dia membantah ucapan Rere. Syifa menghela napas panjang, pasrah. “Oke, aku akan kerjain,” balas Syifa dengan lemah. “Bagus! Lo sebaiknya jangan banyak membantah sama gue. Lo tahu kan, kalau gue bisa membuat lo ditendang keluar dari sekolah ini?” ancam Rere dengan keras. Syifa mengangguk, meski hatinya merasa kesal. “Gue tungguin sampai bel istirahat berdering. Awas aja kalau belum selesai!” Rere dan ssmua temannya melangkah pergi meninggalkan kelas. Sementara Syifa cepat-cepat mengerjakan perintah itu. Amaya meliriknya dengan sorot mata tajam. “Kenapa kamu menuruti dia?” “Karena aku nggak punya pilihan lain lagi, kamu denger sendiri kan dia mengancamku bagaimana?” balas Syifa. Amaya tidak menjawab. “Aku harus menuruti Rere kalau nggak mau beasiswaku dicabut, May. Karena aku nggak akan mampu bayar biaya sekolah ini tanpa beasiswa. Orang lain sih enak, nggak perlu memikirkan hal itu.” Syifa tak sadar dirinya nyerocos sembari mengerjakan tugas Rere. “May, kamu juga anak orang kaya ya?” tanya Syifa tiba-tiba. Dia menoleh kepada temannya itu. Tak ada reaksi apapun dari Amaya. Dia tidak memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Syifa tidak peduli. Dia terus saja berbicara untuk melampiaskan perasaan sebalnya terhadap Rere. “Kamu pasti anak orang mampu, May. Kalau nggak, mana bisa kamu bersekolah di sini?” gumam Syifa sendiri. Perhatiannya terbagi antara tugas yang dia hadapi dengan obrolan itu. “May, kalau dipikir-pikir, aku kan belum mengenalmu dengan baik. Aku nggak tahu di mana rumahmu, asal-usulmu hingga alasan kamu pindah ke sekolah ini. Padahal kamu sudah tahu banyak tentang aku.” Hening, tak ada respon. Syifa melirik Amaya yang masih duduk di sampingnya dengan diam. “Kamu nggak pengin cerita sama aku? Atau kamu lebih suka untuk menyimpannya sendiri?” Amaya bangkit berdiri mendadak, membuat Syifa menatapnya dengan bingung. Gadis aneh itu kemudian berjalan pergi dan keluar kelas, meninggalkan Syifa seorang diri. Syifa menghela napas. “Ternyata dia nggak suka ya, kalau aku menanyakan hal itu?” gumamnya kecewa. Syifa melanjutkan tugasnya hingga bel masuk kelas pertama berdering. Semua anak sontak berbondong-bondong masuk. Namun, Syifa tak melihat Amaya. Sepanjang pelajaran pertama, Amaya absen dan tidak menghadiri kelas itu. Syifa merasa bingung, mengapa dia tidak juga kembali sampai bel pelajaran berganti. Ketika Syifa selesai mengerjakan semua tugas milik Rere dan teman-temannya, dia segera bangkit pergi ke toilet. Dia ingin mencari Amaya kalau bisa. Karena dia begitu penasaran, ingin tahu alasan gadis itu pergi begitu saja. Syifa menemukannya di sebuah bangku di dekat gudang sekolah. Amaya nampak sedang duduk seorang diri di sana. Syifa mendekat dan menghampirinya. “Amaya? Ngapain kamu di situ?” tanya Syifa. Untuk sesaat, sebuah hawa dingin yang aneh menyergapnya. Syifa merasa bulu kuduknya meremang. Dia menatap sekitar, yang terasa janggal dan tak terawat itu. “May, kita balik ke kelas yuk. Di sini seram,” ucap Syifa bergidik. Tetapi, dengan santai Amaya malah menoleh dengan seulas senyum di bibirnya. Hal itu semakin membuat perasaan Syifa makin ngeri. Entah mengapa, seperti ada sesuatu yang aneh dalam diri Amaya ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN