“Emangnya lo nggak suka sama Angga?” pancing Clara dengan nada skeptis.
Gadis itu jelas tak berpikiran bahwa ada seorang siswi di sekolah itu yang tidak menyukai Angga.
“Enggak,” jawab Syifa berusaha menahan degup jantungnya yang kencang setiap kali nama Angga disebutkan.
“Masa sih? Padahal seluruh sekolah naksir dia. Mana mungkin lo nggak naksir?”
Syifa diam saja, mencoba untuk menahan diri.
“Sini, es krim gue!” ucap Tania tak peduli.
Dia merebut es krim itu dari tangan Syifa dengan kasar. Tania membuka bungkus es krimnya dan melihat benda itu sekilas.
“Lihat nih, udah cair begini. Lo mau gue makan es krim yang udah cair?” ucap Tania dengan sengit.
Syifa membuka mulut hendak membalas, tetapi Tania tiba-tiba saja menjejalkan es krim itu ke mulut Syifa. Karena tak siap dengan sikap itu, maka dirinya tak bisa berbuat apa-apa.
“Nih, guys, gue lagi nyuapin Syifa es krim! Kasihan dia, nggak pernah makan es krim sampai harus begitu.”
Semua teman lain tertawa terbahak-bahak menyaksikan adegan itu. Sementara Syifa merasa ingin muntah. Dia melontarkan es krim itu ke luar dan menjatuhkannya ke atas lantai. Baju seragamnya basah dan kotor terkena noda bekas es krim.
Langkah kaki guru memasuki ruangan membuat suasana ribut itu seketika senyap. Semua orang terdiam, tanpa kecuali.
Syifa yang masih berdiri di tempatnya tak mengerti. Guru itu berhenti berjalan dan mendelik menatap sosok Syifa yang sibuk dengan es krimnya.
“Syifa Nur Rohmah!” tegur sang guru dengan galak.
Syifa lantas menoleh dengan kaget.
“Y-ya, Bu?” sahutnya lirih.
“Lagi apa kamu? Ngapain masih makan saat jam pelajaran mau dimulai?”
“S-saya ....”
Pandangan Syifa tertuju kepada Tania dan kawan-kawannya. Tapi dia tak dapat menjelaskan dengan cepat.
“Astaga, lihat! Es krimnya m*****i lantai kelas! Kamu itu tahu aturan sekolah nggak sih? Dilarang untuk mengotori sekolah. Lihat itu, cepat bersihkan dan jangan masuk kelas saya!”
Syifa tergagap ingin memprotes.
“Tapi saya tidak –“
“Cukup! Jangan membantah lagi! Cepat keluar dan bersihkan semua kekacauan yang kamu timbulkan ini!” bentak guru itu tanpa mau mendengarkan penjelasan apapun.
Dengan gontai, Syifa melangkah keluar kelas. Dia pergi ke toilet dan mengambil alat pel. Dengan perasaan berat, dia kembali untuk membersihkan lantai kelas di saat anak-anak yang lain sedang mengikuti pelajaran. Bisik-bisik tawa keluar dari mulut Tania, Clara dan teman-temannya. Semuanya menatap Syifa dengan tatapan puas.
Sementara Amaya, duduk sendirian di bangkunya di belakang, menatap Syifa dengan pandangan marah. Dia duduk tak bergerak, memperhatikan di balik tirai rambutnya yang menjuntai menutupi wajah.
Kejadian itu sampai juga di telinga Reza, yang duduk di kelas sebelah. Dia bergegas menghampiri Syifa sepulang sekolah dengan raut wajah yang sulit diterka.
“Aku dengar kamu dipermalukan di depan kelas sama Tania. Apa itu benar?” selidiknya.
Syifa memasang ekspresi pura-pura tidak mengerti.
“Enggak tuh, dari mana kamu dengar berita itu?”
“Dari semua orang. Bahkan ada fotonya juga. Aku lihat kamu lagi ngepel bekas es krim di kelas.”
Syifa menunduk memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Dia tak dapat berkutik lagi. Percuma juga untuk mengelak, sebab Reza sudah mendapatkan foto dirinya yang memalukan itu.
“Jadi, kamu disuruh beli es krim sama Tania kemudian dia membalasmu seperti itu?”
Syifa diam. Dia tak mau menjawab pertanyaan yang sudah jelas itu.
“Ini nggak bisa dibiarkan! Mereka harus diberi pelajaran!” ucap Reza dengan penuh tekad.
Syifa lantas menoleh padanya, bingung dengan apa yang ingin dia lakukan.
“Za, mau ke mana?” tanya Syifa buru-buru.
“Aku harus kasih pelajaran ke mereka biar nggak ganggu kamu terus!”
“Jangan, Za! Nanti malah kamu yang kena!” cegah Syifa.
“Nggak apa-apa. Asalkan mereka mau berhenti gangguin kamu,” balas Reza dengan cuek.
Keduanya sedang berjalan di koridor sekolah yang mulai sepi. Tetapi Tania dan Clara masih duduk-duduk di bawah pohon beringin tak jauh dari kelas. Keduanya nampak sedang sibuk berbincang. Entah apa yang mereka bicarakan.
Reza melihat mereka dari kejauhan, dengan tatapan tajam.
“Za, nggak usah. Aku nggak apa-apa. Swear deh!”
Tapi Reza tak mau mendengarkan. Dia terus berjalan, menuju ke arah kedua gadis itu duduk.
Syifa berjalan lebih cepat, menangkap lengan Reza dan menghentikannya.
“Za—“
BRUAKK!
Suara keras itu mengagetkan Syifa dan Reza. Keduanya serempak menoleh ke arah sumber suara.
Clara menjerit histeris, suaranya memekakkan telinga. Di sebelahnya, nampak terhimpit oleh batang pohon besar, Tania melambai-lambaikan tangan dengan tak berdaya.
Baik Syifa maupun Reza berdiri mematung di tempat, tak kuasa mengalihkan pandangan dari mereka. Keduanya seolah dipaku di sana dan tak mampu bergerak saat itu.
Jeritan Clara yang melengking dan berulang-ulang membuat Syifa tersadar. Gadis itu lantas menoleh ke sekitar untuk mencari bantuan. Tetapi tanpa dia melakukan apa-apa, beberapa orang sudah mulai berdatangan. Mereka berlari menuju lokasi Clara.
Guru dan petugas sekolah bergegas-gegas menghampiri dengan raut wajah yang ngeri.
“Cepat panggil ambulans! Tania kejepit pohon tumbang!” ucap salah seorang guru yang sedang melintas.
Sementara Syifa dan Reza hanya dilewati begitu saja seolah mereka tidak ada di sana. Keduanya terpaku menyaksikan pemandangan mengerikan itu.
Tubuh Tania tertindih batang besar pohon, nampak seperti bagian darinya. Wajahnya tak nampak. Hanya sebagian lengan dan kakinya yang menggelepar-gelepar tanpa daya.
“T-tania!” gumam Syifa dengan ketakutan.
Reza berdiri di sebelahnya dengan raut wajah yang pucat.
“Aku melihat darah,” ucapnya lirih.
Syifa menelan ludah, menatap ke sekitarnya. Saat itulah dia melihat sosok gadis aneh yang bersembunyi di balik pilar sekolah. Syifa terkejut, sebab dia dapat melihat sosok Amaya dengan jelas meski dia telah berusaha menyembunyikan diri.
“Syifa, ayo kita pergi. Ambulans sudah datang dan akan membawa tubuh Tania. Kita nggak mau ada di dekat tempat kejadian kan?” ucap Reza.
Syifa yang merasa tertegun itu lantas menoleh dan menatap hampa pada Reza.
“Ayo, kita pergi dari sini,” ajak Reza dengan tergesa.
Cowok itu setengah menyeret tubuh Syifa. Padahal Syifa masih ingin memastikan apakah yang dilihatnya tadi memang benar Amaya. Dia sungguh ingin tahu.
Syifa meneliti pilar-pilar tempat bersembunyi Amaya ketika dia dan Reza lewat. Tetapi kosong. Tak ada siapa-siapa di sana. Bahkan bayangan pun tak ada.
Syifa merasa bingung. Apakah tadi dia hanya berhalusinasi saja ataukah benar Amaya ada di sana saat kejadian itu berlangsung dan bersembunyi. Apakah ini hanya suatu kebetulan ataukah ada campur tangan Amaya dalam hal ini?
“Apa yang kamu lihat?” tanya Reza menoleh ke arah yang sama dengan Syifa.
Syifa lantas menggelengkan kepalanya. “Nggak ada.”
Dia tak ingin Reza juga berpikiran macam-macam tentang Amaya. Meski terasa aneh dan janggal, tapi Syifa tak dapat menarik kesimpulan sendiri hanya berdasarkan pada hal itu. Lagipula, ini tidak masuk akal.