41. Tujuan Rio

1364 Kata
"Thank's, Tan." Benar-benar, tidak ada bedanya mau bicara pada yang lebih muda, sepantaran atau yang lebih dewasa. Semuanya sama rata tidak ada yang dibeda-bedakan. Namanya juga Alvin, bicara dua kata juga sudah termasuk dalam kalimat yang panjang baginya. Dua kata yang barusan keluar dari bibir Alvin itu, dia lontarkan pada Rima yang sudah membekalinya rawon agar bisa dimakan di rumah bersama Ify. Sepulang dari rapat di luar kota, Alvin langsung menuju kediaman Rizaldy untuk menjemput Ify. Mendengar adiknya berada di rumah Sivia, hal itu membuat Alvin lega karena tidak perlu khawatir akan membuat Ify sendirian di rumah. Sesampainya di rumah Rizaldy, Alvin disambut hangat oleh Rima. Hal seperti inilah yang membuat rasa rindu di hati Alvin dan Ify kepada mendiang Kalina jadi sedikit terobati. Apalagi kalau bukan kehangatan dan kasih sayang yang Rima berikan pada mereka berdua. "Sama-sama, Tante ikut seneng kalau kalian seneng. Pokoknya kalau kalian pengen makan apa-apa, kalian boleh ke sini dan minta dimasakin sama Tante." pesan Rima berbaik hati kepada putra-putri dari sahabat karibnya yang telah tiada. Alvin hanya mengangguk disertai senyuman tampannya sebagai jawaban atas kebaikan Rima. Sedangkan Ify, dia jelas mengiyakan pesan dari wanita yang juga sudah dia anggap seperti ibu keduanya sendiri. Bahkan, dulu Ify pernah berandai-andai kalau papanya Via meninggal maka Ify akan meminta Mr. Stuart buat melamar Rima untuk dijadikan mama sambungnya. Tapi Ify tidak pernah berani mendoakan Rizaldy meninggal karena dia tidak mau melihat tangisan di keluarga yang sudah sangat baik padanya itu. "Makasih buat hari ini, Tan. Kalau begitu, aku sama Alvin pulang dulu." pamit Ify bernada sopan seraya mengulurkan tangannya pada Rima, tapi malah dia dipeluk erat oleh mamanya Via. Bukan hanya Ify yang dipeluk, namun Alvin juga merasakan pelukan hangat dari Rima. Tentu saja, perlakuan Rima yang seperti ini membuat kakak beradik itu jadi sedikit sedih tapi juga sekaligus bahagia. "Oh ya, tadi Om Rizal pesen katanya hari minggu nanti ngajakin kalian main golf jam delapan pagi di tempat biasa. Kira-kira kalian gimana? Bisa?" "Bisa." sahut Alvin seraya menganggukkan kepalanya. "Kalau aku masih belum tahu, Tan. Soalnya masih ada tugas kelompok juga yang belum dikerjain." Ify menyahut secepatnya sebelum Via bersorak senang bakal diajak main golf. "Tugas kelompok?" Via malah jadi bertanya karena dia bingung dan takut salah kalau semisal ada tugas kelompok yang tidak dia ketahuan dan belum dia kerjakan. "Yah, ya sudah deh. Nanti kalau bisa, tinggal ikut langsung sama Alvin ya, Fy?" pesan Rima karena tidak mau kalah walau dia tahu itu akan mengganggu para pelajar. "Siap, Tante. Tapi nanti kalau aku nggak dateng, itu artinya aku lagi ngerjain tugas kelompok." "Siap!" Rima malah yang terlihat seperti anak remaja daripada Ify sekarang. "Kalian hati-hati di jalan ya." ucap Rima sembari mengusap lengan Alvin dan Ify secara bersamaan. "Alvin bawa mobilnya jangan ngebut-ngebut." lagi, Rima berpesan pada lelaki dingin di depannya. Untuk yang ke sekian kalinya, anggukan kepala menjadi jawaban dari Alvin untuk Rima. Seolah-olah Rima sudah paham, jadi dia tidak mempermasalahkan hal itu lagi. Tanpa banyak kata, Ify dan Alvin langsung menuju mobil diantar oleh Via. Gadis berpipi chubby itu berterima kasih pada Ify karena seharian ini bermain bersamanya di rumah dan karena hal itu Via jadi merasa harinya lebih berwarna. Setelah memastikan mobil Alvin keluar dari pelataran rumahnya, Via segera kembali ke dalam rumah. Apalagi hari sudah gelap, cuaca juga dingin. Via bahkan berjalan cepat agar bisa segera sampai kamar. "Bisa mimpi indah deh malam ini. Sebelum tidur udah ngelihat wajah Abang ganteng." gumam Via pelan di dalam kamarnya. Meski di dalam kamar, tapi Via takut kalau ternyata ada yang tidak sengaja mendengarnya. Mau ditaruh di mana mukanya, kalau sampai ketahuan bahwa dia menyukai Alvin dari lama. "Kapan ya, Bang Alvin ngelirik gue sebagai cewek? Bukan adik." Via mendesah pelan seraya membaringkan tubuhnya ke ranjang. Via, dia perempuan paling tahan banting. Menyukai Alvin sudah dari zaman SD, tapi Via mampu menutupi rasa suka dan rasa cemburunya pada Alvin setiap kali lelaki itu punya pacar. Bahkan, Via sama sekali tidak menunjukkan rasa sakit hatinya. Ify saja tidak tahu tentang ini. Entah karena Via yang terlalu pandai menutupi perasaannya, atau entah mereka berdua yang tidak pernah peka pada perasaan Via. Yang jelas, Via nyaman dengan apa yang dia rasakan sekarang. "Gue takut kalau Bang Alvin tahu, nanti malah yang ada di antara kita jadi canggung dan menjauh. Itu bakal lebih bikin nggak enak, ketimbang harus ngelihat Bang Alvin ngenalin pacar barunya." desah Via untuk yang ke sekian kali. Benar, sudah lebih dari dua tahun Alvin sendiri tanpa punya hubungan dengan wanita di luar sana. Jadi, kalau nanti Alvin tiba-tiba memperkenalkan kekasihnya padanya dan Ify, maka Via akan menganggap hal itu lebih baik daripada harus menanggung malu karena Alvin tahu perasaannya namun tak berbalas. "Pokoknya kalau bukan Bang Alvin duluan yang tertarik dan suka duluan sama gue, sampai kapan pun gue nggak akan ngasih tahu Bang Alvin tentang perasaan gue yang sebenarnya." tekad Via sekuat-kuatnya, dan dia yakin kalau dirinya akan sanggup menanggungnya. Tak lama kemudian, Via memilih untuk tidur. Besok dia masih ada jam sekolah, jadi Via tidak mau terlambat. Yang lebih pastinya, Via tidak mau dihukum kalau sampai telat. Meski Via bisa saja memakai koneksinya mengenai pertemanannya dengan Ify, hanya saja Via tidak pernah mau melakukan itu. *** "Kenapa Ify tidak ke sini lagi?" tanpa basa-basi, Rio bertanya seperti ini pada Raga yang jelas-jelas sedang asik bermain bersama Kova. Anjing kecil itu seketika menggonggong saat melihat sang tuan datang mendekat ke arah kasur tidurnya. Rio pun luluh dengan panggilan Kova, dia segera berjongkok dan membelai kepala Kova yang sangat lembut karena bulunya terawat sangat baik. "Hari ini dia pingsan di kelas, terus kemarin 'kan hari peringatan kematian Mamanya." jawab Raga sembari mengingatkan bahwa kemarin hari yang menyakitkan. "Ify sakit?" Rio langsung menaruh simpati pada kata-kata pingsan yang diucapkan oleh Raga. Raga mengangguk membenarkan pertanyaan Rio yang hanya sebatas mengonfirmasi belaka bahwa penjelasan Raga barusan bukan hanya sekadar alibi semata. "Bukan sakit yang serius sampai nggak bisa bangun kok. Dia cuma kecapekan dan kurang istirahat. Gitu doang." Rio menghela napas seraya mengusap d**a bidangnya. Rasa lega menghinggapi Rio karena tidak mendengar kabar tentang Ify dari kemarin. "Tapi ngomong-ngomong, kamu nanya-nanyain Ify, ada apa ya?" tanya Raga sedikit penasaran tentang apa yang sebenarnya Rio rencanakan. "Kamu suka sama Ify?" akhirnya Raga menembakkan langsung pertanyaan dugaannya mengenai perasaan Rio. Rio hanya terkekeh mendengar pertanyaan Raga barusan. Pandangannya kini tertuju ke sendal yang melindungi kakinya dari dinginnya lantai. "Seriusan? Kamu suka sama dia?" Raga kembali bertanya karena pertanyaan pertamanya tak kunjung mendapat jawaban dari Rio. Kini, Rio menatap Raga lekat-lekat dan masih disertai senyuman di wajahnya yang entah apa arti dari senyuman itu. Tiba-tiba, Rio menepuk bahu Raga pelan sambil menghela napas. "Kamu lupa, kalau aku harus bisa membuat dia sembuh dari phobianya pada bunga mawar kalau aku mau menjadi malaikat lagi?" Rio malah balik bertanya pada Raga, sehingga membuat Raga jadi menepuk dahinya sendiri. Seketika, Raga ingat kalau tujuan Rio itu memang untuk membuatnya berhenti menerima hukuman dari Tuhan. Tapi malah Raga lupa. "Astaga! Aku lupa tentang itu." desahnya masih sambil merutuki prasangkanya sendiri yang jelas-jelas tidak terbukti. Melihat Raga seperti ini, Rio jadi tertawa ringan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak lama, Rio ganti menyesap teh chamomile di cangkir yang sedari tadi dia pegang. "Oke, aku bakal bantuin kamu buat bawa Ify ke sini lagi. Gimanapun caranya, aku bakal bantuin kamu. Kamu nggak perlu khawatir, Yo." Raga langsung mendukung penuh keputusan Rio dan dia berjanji tidak akan mengira bahwa Rio jatuh hati pada Ify. "Terima kasih kalau begitu." katanya pelan. Rio berdiri dari duduknya, disusul oleh Raga yang juga berdiri. Mereka sama-sama berjalan memasuki rumah sembari Raga menggendong Kova di pundaknya bagai menggendong bayi yang belum bisa berjalan. "Aku mau tidur dulu." pamit Rio yang langsung masuk ke dalam kamarnya. Sebuah anggukan dari kepala Raga, lagi-lagi menjadi jawaban. Kalau diingat-ingat, sekarang juga sudah tengah malam. Raga pun harus tidur. Tanpa ada keperluan di luar kamar lagi, sekarang Raga segera meluncur ke kamarnya sendiri. "Ah, enaknya hidup di bumi. Tiap malam bisa beristirahat sampai pagi." gumam Raga menikmati hari-harinya selama dia tinggal di bumi. "Tuhan, Engkau memang terbaik." bahkan, Raga sekarang tak segan-segan buat memuji Tuhannya yang pasti akan mendengar apa yang dia ucapkan kalau jarak mereka tak terlihat oleh kasat mata.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN