"Ma! Mama! Mama mau ke mana lagi?"
Berulang kali Ify memanggil Kalina yang tersenyum lebar padanya. Ify melihat Kalina mengikuti sebuah cahaya putih yang datang secara perlahan namun makin lama makin terlihat jelas. Ditambah lagi, Kalina tak segan-segan buat menghampiri cahaya putih itu sehingga membuat Ify semakin panik.
"Enggak, Ma! Jangan! Mama di sini aja, jangan pergi lagi!" Ify terus berusaha menahan Kalina agar tidak pergi meninggalkannya sendirian di sana.
Hanya saja, Kalina seakan-akan tidak bisa mendengar apa yang dikatakan oleh Ify. Wanita yang terlihat sangat cantik nan muda itu sama sekali tidak berhenti. Dia terus saja berjalan tanpa menghiraukan rengekan dari putrinya.
"Aku mau ikut sama Mama." putus Ify karena Kalina tak kunjung berhenti.
Dengan susah payah, Ify berusaha berdiri dan melawan rasa takutnya pada bunga mawar yang ada di sekelilingnya. Keringat dingin sudah mengucur di pelipisnya dan kedua tangannya gemetar khas orang ketakutan.
"Jangan mendekat! Nanti kamu tidak akan bisa kembali lagi, sementara kamu belum waktunya mengikuti cahaya itu."
Sebuah suara yang Ify kenal tiba-tiba menghentikan langkah kakinya. Suara berat itu terdengar dari arah belakang tubuhnya, sehingga mau tak mau Ify harus membalikkan badan agar bisa melihat siapa yang menghentikan langkahnya.
Tubuh Ify terus saja bergerak gelisah di atas ranjangnya. Dia seperti orang sedang kesakitan. Wajah, leher dan badannya sudah basah oleh keringat. Kedua kelopak mata Ify terpejam kuat-kuat namun terlihat bola matanya seperti bergerak tak menentu. Tangannya pun mengepal kuat-kuat, tapi padahal dia sedang meremas selimut yang menutup tubuhnya. Kakinya juga bergerak bagai orang sedang mimpi buruk.
Di dalam kamar yang gelap, hanya tersisa lampu tidur di samping kanan dan kirinya, Ify terus-terusan berusaha agar terbangun dari mimpi buruknya. Hingga tak lama, gadis itu berhasil membuka mata dan langsung terduduk ketika dia berhasil tersadar dari mimpi buruk yang tiba-tiba menghampirinya.
Ify mengatur napasnya yang memburu seolah-olah dia baru saja selesai berolahraga berat. Gadis itu terlihat menyeka keringat yang membanjiri pelipis dan lehernya. Ify bahkan hampir tak percaya kalau dia bisa berkeringat sebanyak ini dalam posisi tidur. Dalam keheningan, Ify mencoba mengembalikan kesadaran serta mengingat-ingat lagi apa yang barusan dia mimpikan sehingga membuatnya jadi begini.
Sepuluh menit berlalu, Ify berhasil mengembalikan semua ingatannya tentang apa yang barusan dia mimpikan. Keningnya mengerut karena antara percaya dan tidak sudah memimpikan hal yang mirip seperti yang dia mimpikan saat dulu dirinya sedang koma.
"Rio? Kenapa gue bisa ngelihat Mama ada di perkebunan mawar milik Rio lagi? Kenapa harus di sana?"
Berulang kali Ify menanyakan hal yang sama pada dirinya sendiri, tapi tetap saja Ify tidak menemukan jawaban yang dia inginkan. Ify juga tidak tahu, kenapa dia bisa bermimpi yang sama seperti ini.
"Apa karena gue terlalu kangen sama Mama?" tanyanya lagi pada diri sendiri.
Saat ini, Ify benar-benar dilanda kebingungan. Dia sungguh tidak bisa memahami situasinya sekarang.
"Terus, kenapa harus Rio? Kenapa selalu dia yang muncul di saat gue ngimpiin Mama?"
"Ini cuma kebetulan atau apa?"
Ify sampai meremas rambut panjangnya sendiri guna melampiaskan emosinya karena sebuah mimpi yang terus membuatnya penasaran apa arti dari mimpi tersebut.
"Hah, gue haus." desahnya sembari turun dari ranjang dan berjalan ke luar kamar.
Dalam kegelapan, Ify menuruni anak tangga yang menghubungkan ke lantai dasar. Tanpa berpikir yang aneh-aneh, Ify berjalan menuju dapur. Tetapi belum sampai di dapur, Ify sudah lebih dulu mendengar seperti ada suara langkah kaki.
Tubuh Ify merinding seketika. Tangan kanannya bergerak ke atas, dia meraba tengkuknya sendiri. Sungguh, itu adalah gaya khas orang ketakutan. Hanya saja, Ify tidak mau terlihat takut. Apalagi ini posisinya di rumah sendiri yang sudah bertahun-tahun dia tempati.
"Vin! Alvin!" perlahan-lahan, Ify memanggil kakaknya yang mungkin saja ada di dapur.
Ify lanjut berjalan ke dapur dengan mengendap-endap. Dia menengok ke arah kanan dan kiri, guna memastikan bahwa dia tidak sedang dikelilingi. Saat melihat ada tongkat golf di dalam guci, Ify langsung mengambilnya tanpa pikir dua kali.
"Alvin! Lo di dapur?" Ify masih berharap bahwa suara langkah kaki itu berasal dari kakaknya.
Ify semakin dekat dengan dapur. Samar-samar, gadis itu melihat seperti ada cahaya putih. Tanpa diminta untuk ingat, memori Ify sudah lebih dulu berputar pada cahaya di dalam mimpinya tadi.
Enggak, Fy. Nggak mungkin itu cahaya yang sama, ama cahaya yang ada di dalam mimpi tadi. Ini dunia nyata, bukan dunia mimpi. Berulang kali hati kecil Ify mengatakan hal yang sama seperti ini.
Sadar! Ini bukan lagi di dalam mimpi! Sentak hati kecil Ify lagi.
"In my dreams you're with me...."
"Lo siapa?!" tanya Ify sambil berteriak dan menodongkan tongkat golf ke arah orang di depannya.
Saat Ify mendengar suara, saat itu juga dia berteriak seraya mengayunkan tongkat golf di tangannya untuk berjaga-jaga. Tapi tak lama, tongkat golf tadi diturunkan oleh orang di depannya.
"Why?"
Pertanyaan barusan, membuat Ify membuka pejaman matanya. Dia langsung melemparkan tongkat golf tadi ke sembarang arah lalu menghidupkan lampu dapur. Wajah takutnya tadi seketika berubah menjadi datar seperti biasa.
Dari tempatnya berdiri, Alvin melihat aneh ke arah Ify. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya lalu mematikan flash ponselnya.
"Lo kenapa di dapur nggak ngidupin lampu?!" tanya Ify dengan suara kencang karena sudah terlanjur marah pada Alvin.
Bukannya menjawab, Alvin malah menatap Ify heran seraya menaikkan sebelah alisnya lalu Alvin fokus mematikan kompor dan memindahkan mie instan yang sudah matang ke dalam piring. Ify menghela napasnya sebelum membuka lemari pendingin dan mengambil sebotol air putih.
Bibir Ify bergerak-gerak tanpa suara seraya menatap ke arah punggung Alvin. Bahkan Ify juga melayangkan tinjunya ke udara, seolah-olah dia sedang memukul kakaknya sendiri. Sampai saat Alvin menolehkan kepalanya ke belakang dan melihat Ify sedang menatapnya dengan wajah julid. Alvin semakin tak paham pada ekspresi adiknya.
Melihat Alvin duduk di salah satu kursi yang ada di meja pantry, Ify pun ikut duduk di kursi lainnya. Dia melihat kakaknya makan mie instan sendirian tanpa menawarinya terlebih dulu. Ify terus menatap Alvin tanpa henti, membuat lelaki itu menjatuhkan sendoknya secara sengaja dan membuat bunyi dentingan antara sendok dan piring. Alvin kini membalas tatapan Ify seolah-olah sedang bertanya, kenapa lewat kedua bola matanya.
"Lo kenapa diem aja pas tadi gue panggil?" tanya sekaligus jawab Ify atas arti tatapan dari Alvin barusan.
Alvin langsung memperlihatkan kedua headset bluetooth di telinganya yang sama sekali tidak terlihat. Ify menghela napas lalu dia mengambil ponsel Alvin yang tergeletak di atas pantry. Ify hanya ingin mengecek apakah sekarang ini Alvin sedang mendengarkan lagu atau tidak.
"Ish, ngapain masih dipakai kalau udah nggak dengerin lagu." desah Ify usai mengecek ponsel kakaknya.
Karena rasa lapar, Alvin kembali menikmati sepiring mie gorengnya yang masih tersisa setengah. Padahal tidak biasanya Alvin lapar tengah malam begini. Walau dalam satu bulan pasti ada saja paling tidak satu kali Alvin membuat mie di dapur seperti sekarang.
"Gue minta."
Tiba-tiba saja, Ify merebut sumpit dari tangan Alvin dan melahap semua mie goreng yang ada di piring. Hal ini membuat Alvin melongo tapi dia tidak bisa marah dan hanya merelakan mie miliknya dihabiskan Ify. Alvin mendesah, lalu dia memasak air lagi dan mengambil mie goreng dari dalam laci.
"Gue mau juga." cepat-cepat Ify bilang agar sekalian dimasakkan oleh Alvin, karena Ify sedang malas merebus mie sendirian.
Alvin menurut, dia kembali mengambil satu bungkus mie instan dan membuka segelnya. Keheningan tercipta di antara mereka.
"Padahal tadi kita bawa rawon dari rumah Tante Rima, tapi malah makan mie." desah Ify yang teringat bahwa di dalam kulkas masih ada rawon yang dimasak oleh Rima tadi sore.
"Tapi, tengah malem gini emang lebih enak makan mie sih daripada nasi." kata Ify lagi.
Ify malah bicara sendiri. Sebenarnya, Ify masih terganggu oleh mimpi yang datang padanya tadi.
"Vin!" panggil Ify pada kakaknya.
Alvin menoleh seketika ke arah Ify. Lelaki itu bersiap mendengarkan apa yang akan Ify katakan.
"Lo tahu nggak alasan kenapa gue kebangun?"
Tak ada jawaban dari Alvin, tapi lelaki itu mengedikkan kedua bahunya sebagai jawaban. Benar-benar, Ify harus melihat Alvin setiap kali dia bicara pada kakaknya. Karena Alvin belum tentu menjawab atau menyahuti apa yang keluar dari bibirnya.
"Gue tadi ngimpiin Mama. Gue lihat Mama dateng nyamperin gue, tapi lama-lama Mama malah jalan mundur dan pergi ngikutin cahaya gitu aja." sangat lancar Ify menceritakan ini pada Alvin.
Mendengar apa yang diceritakan Ify, hal itu membuat Alvin seketika menghentikan aktivitasnya. Alvin tidak mengira bakal mendengar cerita seperti ini dari Ify. Ada rasa iri di dalam hati Alvin setiap kali dia mendengar Kalina datang ke mimpi Ify. Padahal sudah jelas-jelas, kemarin sewaktu mereka mengunjungi makam Kalina, Alvin meminta agar mamanya bisa datang menjenguknya lewat mimpi walau hanya satu kali dalam setahun.
Apa Mama bener-bener nggak mau dateng ke mimpiku? Kenapa harus dateng ke mimpinya Ify terus? Tanya hati kecil Alvin yang tidak bisa menutupi rasa irinya.
Walau Alvin iri pada mimpi Ify, tapi dia sebenarnya juga senang mendengar adiknya senang bertemu dengan Kalina. Alvin bukan marah pada adik perempuannya, dia hanya ingin merasakan didatangi Kalina sekali saja.
Aku juga kangen sama Mama. Bukan cuma Ify yang kangen, Ma. Desah Alvin lagi.
"Vin, airnya mendidih."
Suara Ify membubarkan lamunan Alvin. Seketika lelaki itu langsung tersadar dan memasukkan mie ke dalam air panas.
"Terus?"
"Hah?" Ify malah balik tanya ketika Alvin bertanya padanya.
Mereka diam. Alvin tidak lagi mengulang pertanyaannya untuk kedua kali.
"Oh, mimpinya maksud lo?" sampai pada Ify yang sadar sendiri akan arti pertanyaan Alvin tadi.
"Nggak ada kelanjutannya, orang gue langsung kebangun kok." jelas Ify.
Kedua mata Alvin terpejam. Dia semakin merasa ingin didatangi Kalina lewat mimpi walau hanya satu menit. Tetapi, Alvin berusaha menepis pikiran-pikiran itu dan fokus pada mie instannya.
Untuk kedua kalinya, Alvin mematikan kompor lalu memindahkan mie ke piring seperti tadi. Dia juga mengaduk mienya langsung sebelum mienya dingin. Kalau masih dalam kondisi panas begini, maka mie dan bumbu akan lebih mudah tercampur.
Alvin meletakkan sepiring mie goreng ke depan Ify sampai membuat gadis itu bertepuk tangan karena sudah dibuatkan. Ify segera mengambil sumpit dan mengambil sedikit mie.
"Kalau Mama dateng lagi, gue tisam. Bilangin Alvin kangen." kata Alvin panjang.
Ify yang tadinya sudah hampir menyuapkan mie goreng ke dalam mulutnya, jadi terhenti karena kata-kata yang keluar dari bibir Alvin. Ify hampir tak percaya, bahwa kakaknya bisa bicara sedemikian panjang.
"Lo habis kesamber petir, Vin?" tanya Ify karena saking herannya bisa mendengar suara Alvin lebih dari satu detik.
Bibir Alvin tetap terkatup, tapi dia tersenyum pada Ify sebelum akhirnya dia membawa piring dan gelasnya menuju kamar. Alvin memilih makan di kamar karena dia tidak mau mie gorengnya direbut paksa lagi oleh Ify.
"Wah, Alvin beneran nakutin kalau dia ngomong lebih dari satu kata." gumam Ify yang benar-benar kaget akan kejutan dadakan yang Alvin berikan di tengah malam ini.
Pandangan Ify sekarang kembali terfokus pada mie goreng miliknya. Ify mengusap perutnya sendiri yang keroncongan. Kali ini dia tidak akan menunda buat menyuapkan mie ke dalam mulut lagi.
Satu suapan sudah berhasil masuk ke dalam mulut Ify. Namun tak lama, dia langsung melepehkannya lagi. Kedua matanya terpejam kuat-kuat karena rasa ngilu yang melanda. Ify merasa giginya ngilu semua dalam sekejap. Cepat-cepat Ify meminum air putih, bahkan langsung dari botolnya. Tetapi, Ify kembali dilanda emosi saat air dingin tadi malah membuat gusinya semakin linu. Tanpa niat, Ify menyemburkan air dingin tadi ke sembarang arah dan tak jadi menelannya.
Dada Ify naik turun menahan emosi pada Alvin. Sebagian baju tidur dan celananya basah terkena sedikit tetesan air dari mulutnya yang tersembur barusan. Ify langsung meletakkan botol air minum tadi secara kasar ke atas meja pantry. Pandangan Ify tertuju ke atas di mana Alvin sudah menertawakannya.
"Alvin! Lo kasih apa mie gue, sampai rasanya asem banget anjir?!"
Teriakan Ify barusan berhasil membangunkan satpam di pos depan. Padahal jarak antara dapur dan pos satpam itu lumayan jauh.
Terlihat jelas dari raut wajah Ify, dia sangat kesal dan marah pada Alvin yang sudah menjahilinya. Hilang sudah selera makan Ify karena mie miliknya terasa sangat asam. Cepat-cepat Ify bangun dan melihat ke tempat Alvin merebus mie. Ify menemukan satu butir jeruk nipis yang airnya sudah diperas.
"Awas aja lo besok! Bakal gue bales!"
Ketika Ify melihat ke arah atas, ternyata Alvin sudah tidak ada di sana. Bisa Ify tebak, kalau kakaknya itu pasti sudah melarikan diri ke dalam kamar guna menghindari amukannya yang terkenal barbar.
"Ish, Alvin b**o!" umpat Ify pada Alvin.
Mengetahui mie miliknya terasa asam karena diberi air perasaan lemon, Ify jelas-jelas tidak lagi berselera buat memakannya. Dia meninggalkan sepiring mie itu di atas meja pantry begitu saja tanpa berniat membereskannya terlebih dulu.
Sesampainya di kamar, perasaan Ify berubah seperti semula. Dia antara mau dan tidak untuk kembali terlelap. Sebenarnya Ify senang-senang saja kalau dia bisa bertemu dengan Kalina di dalam mimpi. Namun Ify juga takut kalau harus berhadapan dengan ratusan bahkan ribuan bunga mawar di sekelilingnya. Perasaan dilema tiba-tiba menghampiri Ify. Dia mengantuk tapi seperti tidak mau tidur.
***
Di dalam kamarnya, Rio tidak berhenti memandangi pohon-pohon mawar dari balik jendela. Dibantu oleh cahaya lampu yang sengaja dipasang di kanan dan kiri jendelanya di area luar, Rio jadi bisa menikmati keindahan bunga mawar ketika malam hari sesuka hatinya. Seperti sekarang ini, Rio tidak bisa memalingkan wajah ke arah lain. Yang dia lakukan hanya menikmati keindahan mawar-mawar di luar sana.
Tangan kirinya masuk ke dalam saku celana, sedangkan tangan kanannya memegang cangkir berisi teh chamomile. Seperti hari-hari biasanya juga Rio selalu menikmati teh itu.
"Hah, Tuhan menghukum aku dan menghentikan tugasku sebagai malaikat. Tapi Tuhan tidak mengambil kemampuanku." gumam Rio pelan tanpa mengalihkan pandangan.
"Awalnya aku tidak tahu kenapa. Tapi sekarang aku tahu, Tuhan tidak mengambil kekuatanku itu karena supaya aku bisa membuat gadis itu percaya. Maka aku membutuhkan kekuatan ini, salah satunya adalah masuk ke alam bawah sadarnya sampai membuatnya terganggu dan mau tak mau jadi datang padaku." gumam Rio sangat pelan karena tak mau ada orang lain yang bakal mendengar, selain Tuhan pastinya.
Puas memandangi bunga-bunga mawar, Rio langsung mematikan lampunya dari dalam. Rio memang sengaja meminta agar sakelar lampu di depan jendela kamarnya tadi berada di dalam kamar agar lampu itu bisa meneranginya.