45. Ify Overthinking

2700 Kata
Bel istirahat akhirnya berbunyi. Semua siswa-siswi berhamburan ke luar kelas menuju kantin. Tidak beda jauh dengan Via, tapi dia tidak sampai berlari seperti teman-temannya yang lain. Istirahat kali ini, Via merasa ada yang kurang. Apalagi kalau bukan Ify yang tidak ada bersamanya. Walaupun kata-kata gadis itu sering kali menusuk jantungnya, tapi tetap saja hanya Ify teman baiknya Via yang selalu ada di sampingnya selama lebih dari satu dekade. Via berjalan gontai menuju kantin. Dia lapar tapi ada rasa malas ke sana. Tangannya mengusap-usap perut datarnya sekarang yang terdengar keroncongan. Berulang kali Via menghela napasnya. "Vi, tadi Ify mau ke mana?" Pertanyaan dari Ray barusan membuat Via menoleh ke arah ketua OSIS itu. Dari raut wajahnya, Ray tampak sangat penasaran dan menunggu jawaban Via. "Bukan urusan lo." jawab Via alakadarnya. Kali ini, Via sedang malas bicara dengan siapa-siapa. Dia hanya ingin diam dan melakukan apa yang dia inginkan. "Ya elah, Vi. Bagi info dikit boleh kali, pelit amat sama temen sendiri." Ray masih mencoba membujuk Via. Karena rasa lapar, Via jadi sangat kesal pada Ray. Dia menghentikan langkah kakinya lalu menatap ke arah Ray secara malas-malasan. Via membuang napasnya sembarang tanpa memikirkan ada Ray di depannya. "Lo denger nggak sih, tadi gue jawab kalau itu bukan urusan lo? Atau jangan-jangan selama ini lo itu nggak ngerti sama bahasa manusia? Atau lo nggak paham bahasa Indonesia?" "Biar lo paham, harus pakai bahasa apa sih kalau mau ngomong sama lo? Bahasa planet Pluto? Bahasa hewan, atau bahasa iblis?" Via yang memang sedang datang bulan, dia jadi sangat emosi pada Ray. Emosinya sedang tak karuan, dia jadi sangat mudah marah dan tersinggung kalau ada yang mengganggunya dengan urusan tidak berfaedah begini. Apalagi yang Ray tanyakan itu tidak ada urusannya dengannya, jadi semakin kesal saja Via menghadapi Ray yang begini. Ray yang mulanya belum pernah melihat Via marah sampai begini, dia jadi sedikit kaget. Antara tidak menyangka dan bingung harus bagaimana menghadapi Via. Padahal tadi niatnya, Ray hanya ingin bertanya saja. "Kenapa? Lo kira cuma Ify doang yang bisa marah? Lo kira, gue nggak bisa marah? Iya?" tak henti-hentinya Via bertanya dengan nada kesal dan marahnya pada Ray. Sementara Via marah-marah, Ray hanya bisa nyengir kuda. Dia bahkan sampai menggaruk kepalanya sendiri yang sebenarnya tidak terasa gatal sama sekali. Ray dibuat tak bisa berkata-kata oleh Via. "Gue juga bisa marah! Gue juga punya emosi! Maka dari itu, selama gue masih berbaik hati sama lo, mending sekarang lo musnah dari hadapan gue!" titah Via dengan nada sarkasme yang benar-benar berhasil membuat Ray tak bisa berkutik selain pergi dari sana. Via menghela napas lega setelah bisa mengusir Ray. Namun bibirnya tetap tak bisa diam, beberapa kali dia mengumpati Ray yang padahal sudah tidak terlihat oleh kedua matanya. "Nyari gara-gara aja tuh anak bisanya." gerutu Via lagi. Tanpa banyak kata, Via lanjut menuju kantin. Dia sudah menahan lapar, ditambah harus menahan rasa nyeri di perutnya setiap kali datang bulan. Apalagi ini hari pertamanya, semakin mudah emosi Via kalau ada yang mengganggunya. Cuma Ify, yang tidak bisa membuat Via tersinggung meski gadis berpipi chubby itu sedang datang bulan. "Via...!" "Ish, apa lagi sih nih?" dengusnya sebelum melihat siapa yang memanggilnya. "Ya ampun, Vi. Gue belum jadi ngomong ini." sahut lelaki yang berjalan di belakang Via. Via tidak menyahut, dia tetap berjalan tanpa ada niatan menoleh ke belakang. Sebelum bel masuk berbunyi, Via ingin segera mengisi perutnya dengan makanan. "Pulang sekolah nanti, lo mau nyusul Ify ke rumah Rio, nggak?" Setelah mendengar pertanyaan ini, barulah Via menoleh ke belakang karena Via yakin yang bertanya tadi bukanlah Ray, karena tahu bahwa Ify ada di rumah Rio. "Gue kirain tadi lo itu Ray." bukannya menjawab, Via malah curhat. Kening Raga mengerut, dia sedikit tak menyangka karena bisa-bisanya Via mengira dirinya Ray. "Barusan Ray nanya-nanyain Ify. Karena gue males sama dia, jadi kebawa-bawa emosi." jelas Via karena Raga hanya diam seolah sedang berpikir. Raga hanya mengangguk-angguk paham akan penjelasan yang Via berikan barusan. Dia juga merasa kalau apa yang dilakukan Ray sudah kelewatan. "Bukannya Ray punya nomornya Ify? Kenapa dia nggak nanya langsung ke Ify sendiri?" Via mengedikkan kedua bahunya sebagai jawaban atas ketidaktahuannya. Begitu pula dengan Raga yang jadi terkekeh sambil mengusap-usap rambutnya mengetahui melihat jawaban Via. Tiba-tiba saja, Via menghentikan langkah kakinya dan memutar tubuhnya jadi menghadap ke arah Raga, membuat lelaki itu berhenti mendadak. Untungnya, Raga tanggap. Jadi tidak ada tragedi Raga menabrak Via. "Ke-kenapa?" tanya Raga dengan suara tergagap melihat Via yang tiba-tiba begini. Kedua mata Via yang sudah sipit, jadi makin sipit saat dia sengaja menyipitkan kelopak matanya. Bahkan, Via sengaja mendekatkan wajahnya ke wajah Raga. Hal itu membuat Raga jadi otomatis memundurkan tubuhnya. "Lo, lo ke-napa?" tanya Raga lagi sambil melirik-lirik ke sekitar, dia takut ada yang melihat lalu nanti jadi bahan gosip satu sekolah. Raga tak mau kalau sampai ada kabar burung ini dan itu tentang dirinya yang kurang enak didengar. Apalagi orang kalau sudah bergosip, dari mulut ke mulut maka akan sangat cepat menyebar dan semua orang langsung percaya tanpa mencari tahu tentang faktanya terlebih dulu. "Ngomong-ngomong, lo ada apa sama Ray?" tanya Via yang baru teringat kalau tadi pagi dia memang berniat menanyakan ini pada Raga langsung. "Gue sama Ray? Ada apa emangnya?" Via memejamkan matanya, mencoba menekan rasa emosinya karena Raga malah balik bertanya padanya. Via tidak ingin membuang tenaganya lebih banyak. Dia langsung menarik pergelangan tangan Raga menuju kantin tanpa menghiraukan siswa-siswi di sekitar sana. Benar sekali, ketakutan Raga setengah menjadi kenyataan. Banyak murid yang sudah melihatnya ditarik-tarik oleh Via. Sebenarnya, Raga ingin melepaskan tangannya dari genggaman Via, tapi gadis itu sama sekali tidak mau mendengarkan kata-katanya. Mereka terus berjalan menuju kantin. Via sama sekali tidak melihat ke sekitar, meski saat ini dirinya dan Raga menjadi pusat perhatian. Via lupa semuanya, yang dia ingat hanyalah makan dan mendengar jawabannya langsung dari Raga. "Vi, kita dilihatin anak kelas lain." bisik Raga di samping telinga Via. Kedua telinga Via seperti tertutup earphone. Dia sama sekali tidak mau mendengar apa yang dikatakan Raga sekarang. Mereka semakin dekat dengan kantin yang jelas-jelas lebih banyak orang di sana. Banyak orang berbisik-bisik satu sama lain dan mulai menggosipkan tentang hubungan Raga dan Via yang belum diketahui ada apa sebenarnya di antara mereka. Namun karena mereka melihat pemandangan begini, mereka jadi berspekulasi bahwa antara Raga dan Via ada hubungan spesial. Via berhasil menemukan meja kosong. Dia segera ke sana dan meninggalkan Raga di sana, sementara Via langsung memesan dua mangkuk bakso serta dua gelas es teh jumbo. Tak menunggu lama, Via kembali pada Raga. Via masih belum tahu dia sekarang berada dalam situasi seperti apa. "Jawab sekarang!" pinta Via pada Raga. "Njir, jadi Via duluan yang nembak Raga?" "Terus, dia minta Raga ngasih jawaban di sini?" "Punya nyali juga si Via, ngedeketin anak baru sampai udah nembak begitu." "Gue kira dia cupu, ternyata suhu." "Gue kepo sama jawabannya Raga, kira-kira bakal diterima atau enggak ya?" "Kita dengerin dulu." Banyak lagi suara-suara dari murid-murid lainnya yang tidak sengaja mendengar apa yang Via katakan barusan. "Maksud lo apa sih, Vi?" Raga balik bertanya karena dia benar-benar tidak tahu apa yang dimaksud oleh Via. Via bukannya menjawab, dia malah mengambil ponselnya dan memperlihatkan postingan Ray kemarin tentang tulisan Ray vs Raga. "Ini apaan?" tanya Via dengan nada kesalnya sambil menunjuk-nunjuk layar ponselnya. "Wah, wah, apa jangan-jangan Raga ketahuan jalan sama cewek lain sebelum jadian sama Via gitu?" "Kira-kira siapa yang ditanyain Via, tuh?" "Atau jangan-jangan mereka udah jadian, tapi Raga ketahuan selingkuh sama Via gitu?" "Gue yakin, itu yang ditanyain Via tuh cewek yang ketahuan jalan sama Raga." "Playboy juga si Raga, baru jadian sama Via, udah selingkuh aja." Via mulai gerah sekarang mendengar banyak siswa-siswi lain yang membicarakannya dengan Raga secara terang-terangan begini. Gadis itu berdiri dari duduknya lalu melihat ke semua arah. Tanpa mereka duga, Via dengan sengaja menggebrak meja di depannya membuat semua orang kaget. Terlebih lagi Raga yang tepat berada di seberang Via, dia yang paling kaget di sini. Lagi dan lagi, Via kembali mendengar mereka berbisik-bisik tentangnya. Emosi Via sudah semakin bertambah. Ingin rasanya Via menyumpal mulut mereka semua pakai tanah liat. Tapi itu hanya akan membuatnya lelah sendiri tanpa ada sisi positifnya untuk dirinya sendiri. "Mulut kalian bisa diem nggak? Berisik banget jadi manusia, sukanya ngurusin hidup orang terus. Tanpa kalian tahu, kalau hidup kalian juga belum bener!" kata Via pada semua yang ada di kantin, bahkan Via sengaja berkata dengan suara kencang agar semuanya bisa dengar. Seketika, keadaan kantin langsung hening. Tidak ada lagi yang membicarakan dirinya dan Raga seperti tadi. Via yakin, pasti mereka begini kalau di depannya saja. Coba mereka pergi dari kantin, pasti mereka akan mulai bergosip lagi seperti tadi. Raga salut pada Via yang sudah berani berteriak dan berkata seperti barusan. Dia bahkan sampai mengacungkan kedua ibu jarinya untuk Via. Padahal, Via tidak membutuhkan itu. Dia hanya mengungkapkan apa yang memang dia rasakan sekarang. Via kembali duduk dan menatap Raga lekat-lekat. Gadis itu masih menunggu jawaban dari Raga, karena Via tidak akan percaya pada jawaban dari mulut Ray kalau dia bertanya pada ketua OSIS itu. "Jadi, ada apa antara lo sama Ray?" tanya Via lagi mengulangi pertanyaannya yang tadi. Emosi Via sudah semakin reda. Dadanya pun sudah tidak naik turun seperti tadi lagi. Dia sudah bisa mengontrol emosinya walau masih dalam mode senggol bacok. Tak lama, bakso dan es teh pesanan Via sudah datang. Sambil menunggu jawaban dari Raga, Via sambil memberikan topping tambahan untuk semangkuk bakso miliknya. Begitu pula dengan Raga yang juga menuangkan kecap dan saos ke mangkuk baksonya. "Jadi, sebenarnya yang terjadi antara gue sama Ray itu...." *** Selama menunggu Rio mandi, Ify memilih berkeliling. Tentu saja hanya di dalam rumah saja. Mana berani dia ke luar rumah sendiri. Kalau Ify berani, dia tidak akan membutuhkan bantuan dari Rio untuk sampai ke rumah ini. Sudah lima belas menit dari Rio masuk ke dalam kamarnya. Dan belum ada tanda-tanda Rio akan ke luar kamar dalam beberapa menit ke depan karena Ify masih bisa mendengar suara gemericik air dari kamar mandi Rio yang ada di dalam kamar. Ketika sedang asik melihat-lihat, Ify dikagetkan oleh kedatangan Kova. Seekor anjing berbulu putih yang begitu lucu nan menggemaskan. Ify benar-benar kaget karena Kova tiba-tiba mengusap-usapkan kepalanya ke kaki Ify. "Gue baru tahu, kalau dia punya anjing." gumam Ify sambil melihat Kova yang masih ada di samping kakinya. Ify tidak menghiraukan Kova sama sekali. Dia lanjut melihat-lihat. Jika tadi Ify melihat-lihat di sekitar ruang tamu, sekarang Ify melihat-lihat di dapur. Sungguh, ini rumah yang sangat bersih untuk ukuran rumah laki-laki tanpa asisten rumah tangga. "Apa dia itu sebenernya mesin pembersih?" gumam Ify yang salut pada Rio karena semuanya bersih tanpa ada debu sama sekali. Ify merasa haus, dia langsung membuka lemari pendingin dan mengambil satu botol air mineral yang tersedia di dalamnya. "Nggak apa-apa lah, lagian yang punya rumah juga udah bilang kalau gue disuruh nganggep ini rumah sendiri." gumam Ify sambil membuka segel tutup botol air mineral di tangannya. Usai mendapatkan satu botol air mineral, Ify langsung kembali ke ruang tamu. Dia merebahkan tubuhnya ke sofa yang ada setelah menenggak setengah botol air mineral. Pandangan Ify kini tertuju ke langit-langit rumah Rio. Pikirannya melayang ke mana-mana. "Tapi di rumah sebesar ini, kenapa nggak ada satu pun foto keluarga yang dipajang? Bahkan fotonya Rio pas kecil juga nggak ada." gumam Ify setelah sadar bahwa dia sama sekali tidak menemukan pigura foto yang menggantung di dinding atau diletakkan di atas meja maupun buffet. Pikiran Ify sedang overthinking sekarang. Tiba-tiba banyak yang dia pikirkan, semisal tentang keluarga Rio. Orang tua Rio, dan bagaimana caranya Rio bisa memiliki perkebunan mawar seluas ini. "Apa pekerjaan orang tuanya? Apa jangan-jangan ortunya Rio itu orang terkaya nomor lima puluh se-Asia?" tanya Ify pada dirinya sendiri, entah itu sebuah pujian atau ledekan. "Kira-kira, Rio umur berapa ya?" lagi, pikiran Ify kembali berubah. Kedua tangan Ify yang tadinya ada di atas perut, jadi berpindah ke bawah kepalanya. Dia membenahi posisi tidurnya supaya jadi terasa lebih enak. "Kenapa Raga sama Rio nggak mirip? Apa jangan-jangan mereka bukan saudara kandung?" Pertanyaan demi pertanyaan terus saja keluar dari bibir Ify. Sampai dia saja tidak tahu, sudah berapa pertanyaan yang keluar dari bibirnya mengenai Rio. "Ish, dia lama banget sih mandi gitu aja?" Ify mulai menggerutu karena Rio mandi lama sekali. Ify menatap ke arah pintu kamar Rio sekilas lalu balik melihat ke arah langit-langit lagi. Kali ini, Ify hanya bernapas sambil menunggu Rio keluar dari dalam kamar. Tanpa Ify sadari, dia mulai dilanda kantuk. Lima menit berlalu, Ify sudah terlelap. Ternyata gadis itu mengantuk karena semalam dia tidak bisa tidur dengan tenang. Memimpikan Kalina memang menyenangkan bagi Ify, tapi tidak untuk semalam. Apa yang Ify mimpikan semalam itu adalah sebuah pengecualian. Selesai dengan urusan mandi, Rio langsung keluar kamar. Tapi yang dia lihat adalah pemandangan Ify yang tertidur dia sofa. Rio tersenyum melihat gadis itu tidur dengan nyenyak. Maafkan aku, karena semalam harus menganggu tidurnya dua kali. Batin Rio merasa bersalah. Karena tidak tega, akhirnya Rio mengambil selimutnya dari dalam kamar. Dia menyelimuti tubuh Ify agar lebih aman. Bagaimanapun juga, tubuh Ify hanya terbalut kemeja putih pendek dan celana pendek. Jadi Rio hanya berusaha menjaga Ify dengan menyelimutinya. "Tidur yang nyenyak, kali ini aku tidak akan mengganggu mimpi indahmu." bisik Rio di samping telinga Ify. Ify benar-benar tertidur di sofa. Dia tidak sadar kalau saat ini sedang tidur di rumah orang lain. Terlebih lagi, orang itu seorang laki-laki. Bukan, ralat. Lebih tepatnya malaikat laki-laki. "Dia siapa?" Sebuah suara mengagetkan Rio yang sedang menyelimuti Ify. Ketika Rio menoleh, ternyata yang bertanya padanya barusan itu Shilla. Malaikat wanita itu kini sedang tersenyum cantik ke arah Rio sambil sesekali melihat Ify. "Bukan siapa-siapa." jawab Rio sambil menjauh dari tubuh Ify. Shilla melihat Ify sekilas, dari atas sampai bawah. Jujur saja, Shilla mengagumi kecantikan paras Ify. Bahkan Shilla juga menyukai rambut Ify yang berwarna kulit jahe. Jarang-jarang ada orang pribumi yang memiliki warna rambut selain hitam. "Anak sekolah?" tanya Shilla yang masih belum puas pada jawaban Rio tadi. Shilla mengikuti ke mana arah perginya Rio. Ternyata Rio menghampiri Kova. Shilla tahu, Rio melakukan ini hanya agar dirinya tidak bertanya-tanya lagi tentang gadis yang dia lihat tadi. "Eum, kamu pinter banget mengalihkan pembicaraan." gumam Shilla sambil duduk di meja dapur. Rio melihat kelakuan Shilla dan hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Rio tak paham, kenapa Shilla bersikap tidak sopan begini. Harus duduk di meja makan segala. "Siapa yang mengalihkan pembicaraan? Aku tadinya memang mau ngasih makan Kova. Dia belum makan." sahut Rio sembari menuangkan makanan ke mangkuk makan milik Kova. Shilla masih bergeming. Dia melihat punggung Rio dengan tatapan yang berbeda. Tapi entah apa arti tatapan itu, hanya Shilla yang tahu. "Kamu beneran nggak mau ngasih tahu aku, siapa gadis itu?" Shilla masih berusaha membujuk Rio agar mau memberi tahunya tentang siapa gadis yang sekarang tidur di sofa ruang tamu. Rio berdiri usai menuangkan makanan ke mangkuk Kova. Dia berjalan mendekati Shilla yang tampak begitu penasaran. Rio bukannya tidak mau memberi tahu Shilla, tapi Rio takut kalau Shilla tidak bisa menerima Ify ada di sekitarnya. "Dia teman satu kelasnya Raga di sekolah." untung saja, Rio punya ide begini. Apa yang dikatakan oleh Rio tidak salah. Memang kenyataannya Ify adalah teman satu sekolah dan bahkan satu kelasnya Raga. Lalu Rio harus menjawab apa lagi? "Kenapa temennya Raga ada di sini? Kenapa dia nggak ada di sekolah? Terus ke mana Raga? Kenapa temennya ada di sini, sementara Raga di sekolah?" banyak sekali yang Shilla tanyakan sampai membuat Rio sedikit pusing. Rio berusaha memberi pengertian pada Shilla dan meminta agar malaikat satu itu tidak bertanya yang aneh-aneh lagi karena kalau Shilla tidak mematuhi peraturan, dia bisa dihukum dengan hukuman berat oleh Tuhan. Mau tak mau karena Rio sudah begini, akhirnya Shilla tutup mulut. Dia tidak akan bertanya lagi selama emosi Rio belum stabil. Shilla juga tidak mau kalau sampai hubungannya dengan Rio jadi rusak hanya karena gadis itu. Shilla sangat tidak rela kalau sampai hal seperti itu terjadi padanya. "Oke, aku bakal diam." putus Shilla sambil menganggukkan kepala. Rio memberikan dua acungan jempol untuk Shilla. Tanpa Rio tahu, sebenarnya Shilla sedang kesal padanya. "Kova! Ayo kita main. Kita udah lama nggak main bareng." ajak Shilla pada Kova. Apa yang dikatakan Shilla juga tidak salah, kalau dia jarang ke rumah Rio akhir-akhir ini karena sedang sibuk. Untunglah, kali ini Shilla diberi hari libur oleh Tuhan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN