Sekuat tenaga Ify menahan gengsi dan rasa malunya di depan Raga, tapi malah lelaki yang ada di depannya itu diam saja tanpa merespons apa-apa. Kekesalan pun menghinggapi Ify karena merasa diabaikan. Padahal biasanya, meski dia diabaikan oleh puluhan bahkan ratusan orang dalam sehari, Ify tidak mempermasalahkannya. Tetapi kali ini, Ify merasa harga dirinya benar-benar terluka karena satu orang bernama Raga.
Ify masih mematung seraya menyilangkan kedua tangannya di depan d**a. Dia menarik napas kuat-kuat dan mencoba meredam emosinya sampai dia berhasil mendapatkan nomor kontak Rio. Lagi pula, Ify tidak mau lebih merasa malu karena balik kanan begitu saja. Jadi lebih baik, Ify menunggu sebentar lagi.
"Kenapa? Mau gue ulang? Lo kurang jelas sama apa yang gue bilang?" dengan nada sinisnya Ify bertanya demikian, disertai raut wajah yang membuat Raga ingin memukul paras Ify saat itu juga.
"Nggak usah, gue udah denger." kali ini Raga menyahut.
Tadi, Raga hanya tidak percaya saja atas apa yang dikatakan oleh Ify. Dia lumayan kaget karena Ify bertindak cepat begini. Tak hanya itu saja, Raga juga dibuat bingung karena melihat Ify yang tiba-tiba menjadi agresif begini.
Pasti Rio udah berbuat aneh-aneh lagi nih, sampai Ify frontal begini. Batin Raga seraya sesekali melirik-lirik ke arah Ify.
"Lo beneran b***k atau otak lo yang kayak udang sih?"
Raga mendesah, dia langsung mengeluarkan ponselnya dan mengambil smartphone punya Ify yang tergeletak di atas mejanya. Tanpa banyak kata, Raga langsung menuliskan nomor telepon Rio di ponsel Ify berkat bantuan handphonenya sendiri karena Raga juga tidak hapal berapa nomor kontak Rio.
Usai mengetikkan nomor telepon Rio, Raga langsung menyodorkan ponsel berwarna putih itu kepada pemiliknya. Cepat-cepat Ify menyahutnya dan balik ke bangkunya sendiri.
"Makasih." kata Raga yang sengaja menyindir Ify secara halus.
Mendengar dirinya disindir begini, Ify hanya tersenyum sinis dan menoleh ke arah Raga. Gadis itu memiliki senyuman yang sangat menakutkan dan mengerikan, hingga membuat bulu kuduk Raga berdiri seketika.
"Gue cabut, Vi."
"Fy, lo mau ke mana?" tanya Via seketika.
"Ify! Fy!" panggil Via lagi karena tak mendapat jawaban dari Ify.
Setidaknya, Ify pamit pada Via kalau dia akan pergi. Via jadi heran melihat Ify pergi sambil membawa tasnya. Padahal ini sudah hampir jam masuk kelas, tapi Ify malah pergi begitu saja. Via juga tidak mendapatkan jawaban dari Ify, dia hanya melihat sahabat karibnya itu melambaikan tangan ke belakang.
Pandangan Via sekarang beralih ke arah Raga yang juga terlihat heran melihat kelakuan absurd Ify. Kening Via mengerut, dia dibikin tambah heran karena Raga melihat Ify tanpa berkedip. Perlahan-lahan Via mendekatkan dirinya pada Raga, tapi dari lelaki itu tidak pergerakan sama sekali.
"Kenapa? Lo juga heran sama Ify?" tanya Via berbisik di samping telinga Raga.
Suara Via barusan membuat Raga kaget karena sudah ketahuan memerhatikan Ify sampai gadis itu keluar kelas. Malaikat satu itu cuma bisa menghela napas sambil mengusap-usap dadanya yang berdegup kencang.
"Lo ngapain deket-deket begini, Vi? Bikin gue kaget aja tahu, nggak?" desah Raga yang masih mengatur napasnya supaya bisa kembali seperti semula.
Sementara Via, dia hanya nyengir kuda sampai memperlihatkan deretan gigi putihnya ketika ditanya demikian oleh Raga. Padahal dalam hati, Via sangat mengumpati dirinya sendiri yang tidak berpikir lebih kalau dia mendekat ke arah Raga.
"Sorry." katanya pelan disertai dengan dua jarinya yang membentuk simbol V di depan wajah Raga.
Via kembali ke tempat duduknya seraya menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. Dia cuma bisa nyengir dan nyengir setiap kali tak sengaja bertatap pandang dengan Raga. Via mengurungkan niatnya tadi pagi yang ingin menanyakan tentang postingan Ray mengenai dua nama mereka. Dia sudah terlalu malu, meski yang Via lakukan tadi juga tidak keterlaluan.
***
Ify mempercepat langkahnya supaya bisa lebih cepat tiba di luar gerbang. Tadi Ify sudah memanggil taksi online agar datang menjemputnya di depan sekolah sekarang juga. Jadi, Ify tidak mau mengulur waktunya lebih lama lagi.
Sudah bukan hal aneh bagi warga sekolah yang melihat Ify keluar meski jam pelajaran sedang berlangsung. Begitupun dengan peraturan yang ada tidak berlaku untuk Ify, tidak ada yang berani melarang atau hanya sekadar menegurnya.
"Nah, itu taksinya."
Ify segera berlari memasuki taksi dan menyebutkan alamat Rio. Dia juga mencoba menghubungi nomor Rio yang dia dapat dari Raga tadi. Sayangnya, sudah sampai di panggilan kelima yang Ify coba, belum sekali pun panggilan itu diterima oleh Rio.
"Ini beneran nomernya Rio?" tanyanya pada layar ponselnya karena merasa diabaikan.
Meski sudah enam kali Ify mencoba memanggil Rio dan tidak ada jawaban, gadis itu tidak mau berhenti begitu saja. Dia terus menekan gambar gagang telepon berwarna hijau tanpa henti.
Karena kesal, Ify akhirnya memilih menelepon Via dan meminta sahabatnya itu memastikan pada Raga apakah nomor yang dia berikan tadi benar nomor teleponnya Rio.
"Gimana? Yakin ini nomernya?" tanya Ify setelah menunggu Via menanyakannya pada Raga beberapa detik lalu.
"Bener kok, itu nomernya Rio. Raga nggak bohong, gue barusan juga ngecek langsung ke HP-nya Raga." sahut Via dari seberang.
Tanpa memberi kata penutup, Ify langsung mematikan sambungan teleponnya. Dia kembali menelepon Rio tanpa henti. Bahkan sampai taksi yang ditumpangi Ify tiba di depan gerbang menuju rumah Rio pun, panggilan itu tetap belum dijawab.
"Dia mati atau gimana sih?" gerutu Ify ketika dia keluar dari taksi.
Kini, hanya tersisa Ify saja di sana. Tidak ada siapa-siapa selain dirinya dan Ify bingung harus bagaimana dia masuk supaya bisa sampai ke rumah Rio.
"Ah, tahu gini tadi gue ngajak Via biar dia bisa jadi tongkat gue."
Ify tak henti-hentinya menggerutu karena menghadapi kenyataan bahwa dia tidak akan bisa masuk kalau tidak ada orang lain yang membantunya berjalan ke dalam. Tangan Ify bergerak, dia memijat kepalanya sebentar dan menyibakkan rambutnya ke belakang.
"Loh, Ify? Kamu ngapain ada di sini?"
Sebuah suara dari arah kanan membuat Ify menoleh. Saat dilihat, ternyata itu adalah Rio yang berpenampilan khas orang berkebun. Di tubuhnya ada apron yang sering dipakai orang di kebun, sarung tangan, sepatu boots, topi dan bahkan Rio juga memakai masker.
"Lo tuh b***k atau apa sih? Gue telfonin dari tadi nggak diangkat terus." tanpa basa-basi, Ify langsung ngegas.
Kening Rio mengerut, dia melihat Ify dengan tatapan heran dan aneh sampai membuat Ify jadi ikutan heran.
"Kamu punya nomerku?" Rio malah balik bertanya.
Pertanyaan Rio kali ini, membuat lidah Ify sedikit kaku. Dia jadi ketahuan oleh Rio kalau tadi meminta nomornya pada Raga.
"Tadi, minta ke Raga." jawabnya cepat tanpa berani menatap ke arah Rio langsung.
Tanpa disangka, Rio malah terkekeh melihat ekspresi Ify. Padahal tadinya, Ify kira Rio akan marah padanya karena meminta nomornya lewat Raga tanpa izin terlebih dulu. Namun nyatanya, Rio malah lebih santai dari dugaannya.
"Ke-kenapa lo ketawa?" tanya Ify sedikit tergagap.
"Ah, maaf. Aku bukannya bermaksud menolak telepon dari kamu. Tapi, aku tidak pernah membawa ponselku kalau lagi di kebun. Lagi pula, jarang ada yang meneleponku." jelasnya pada Ify sambil berjalan perlahan ke arah gadis iblis itu.
Setelah dijelaskan begini, Ify jadi mengerti. Pantas saja semua panggilannya tidak diterima oleh Rio. Tapi untungnya, dia bertemu dengan Rio di sini.
"Kamu ke sini sendirian?" tanya Rio lagi sambil melihat ke arah sekitar.
"Pakai nanya lagi, emang lo ngelihat ada orang lain di sini selain gue?"
Lagi-lagi, Rio terkekeh melihat tingkah Ify. Dan kekehan itu membuat Ify jadi berpikiran yang aneh-aneh tentang Rio.
"Ada perlu apa ke sini? Bukannya kamu sama Raga sudah ketemu di sekolah?"
Untuk pertanyaan Rio kali ini, berhasil membuat Ify semakin tergagap. Dia mencoba mencari kata yang cocok agar Rio tidak salah paham padanya.
Rio semakin mendekat, dan sekarang dia berdiri tepat di depan Ify. Lelaki itu terus melihat ke arah gadis yang memutar-mutar bola matanya.
Kenapa gue malah jadi begini sih? Kenapa gue malah susah mau ngomong ke Rio, tentang yang sebenarnya? Jerit hati kecil Ify yang kesal karena diam saja saat giliran ditanya.
Aku yakin, kamu ke sini pasti sengaja nyari aku untuk meminta penjelasan tentang mimpimu selama ini. Gumam Rio yang juga di dalam hati saja.
"Fy?" panggil Rio lagi guna membuyarkan lamunan Ify.
Saat itu juga, Ify menatap ke arah Rio. Bibir Ify masih berat untuk terbuka, padahal dari hatinya, Ify sudah sangat ingin bicara.
"Gue nggak nyari Raga." kata Ify pelan, tapi cukup bisa didengar oleh Rio.
"Terus?" Rio sengaja, dia akan terus memancing Ify untuk mengatakan bahwa gadis itu memang mencarinya.
Selama Ify belum bicara bahwa dia sengaja mencari Rio ke sini, maka selama itu pula Rio akan berpura-pura bodoh dan tidak tahu. Memang inilah rencananya dari awal. Membuat Ify jadi bergantung padanya agar semuanya bisa berjalan lancar sesuai rencana yang sudah dia susun sedemikian matang dalam beberapa hari terakhir.
"Gue ke sini nyari lo." berbekal keberanian tinggi, Ify akhirnya berhasil mengatakannya walau dia harus menahan rasa malu.
Untuk yang ke sekian, Rio tak sengaja mengerutkan keningnya setiap kali dia mendengar kata-kata yang membuatnya heran. Walaupun Rio sudah tahu kalau Ify akan mengatakan ini, tapi ternyata setelah mendengarnya langsung, rasanya berbeda. Ada sensasi berbeda di dalam d**a Rio karena kata-kata Ify.
"Nyari aku? Kenapa? Ada apa?" Rio sampai menunjuk dirinya sendiri menggunakan jari telunjuknya, ditambah berekspresi seperti orang kaget.
Ify memejamkan matanya, dia meyakinkan dirinya bahwa ini semua benar. Demi menemukan jawaban atas mimpinya, Ify akan membenarkan semua tindakannya.
"Sebenarnya, gue ke si-,"
Kata-kata Ify tiba-tiba terhenti oleh suara batuknya Rio. Lelaki itu terbatuk-batuk dan membuat Ify jadi berhenti bicara. Tentu saja ada rasa kesal di hati Ify, karena di saat dia sudah berani untuk bicara malah dikacaukan begini oleh Rio.
"Maaf, aku lagi nggak enak tenggorokan. Bagaimana kalau kita ngobrol di dalam saja?" ajak Rio seraya menunjuk ke arah rumahnya yang memang ada di area dalam perkebunan.
Ify hanya diam tak menjawab. Sebenarnya, dia mau-mau saja kalau bicara di rumah. Sayangnya, Ify takut untuk masuk dan dia masih gengsi kalau harus minta Rio buat menuntunnya seperti waktu itu.
Please, tawarin gue dong. Gengsi banget 'kan kalau semisal gue minta digandeng duluan. Batin Ify sambil melihat ke arah tangan Rio.
"Ya ampun, aku lupa kalau kamu takut sama bunga mawar." Rio menepuk keningnya sendiri.
"Mau pegangan tanganku?" tanyanya mencoba berbaik hati pada Ify.
Untung dia peka. Ify merasa lega sekarang.
"Atau kamu mau tunggu di sini dulu? Biar aku mandi, ganti baju terus kita ngobrol di luar?" Rio mengganti tawarannya karena Ify tak kunjung memberi jawaban.
"Gue ikut ke dalam aja. Ya kali, lo nyuruh gue nungguin lo sendirian di sini kayak orang minta-minta. Mana harus panas-panasan lagi. Lo pikir, lo orang spesial yang pantes gue tungguin?"
Rio terkekeh mendengar yang dikatakan Ify barusan. Menurutnya, gadis di depannya itu lucu juga. Meski Ify terkenal garang, tapi sisi gadis remajanya tetap melekat dan tidak berbeda jauh dengan remaja-remaja lainnya.
Ini orang dikit-dikit ketawa, dia kira segala sesuatu tuh lucu apa? Hati kecil Ify kembali menggerutu hanya karena melihat Rio yang kembali tertawa.
Ify melihat Rio membuka sarung tangannya lalu dia masukkan ke kantong apron yang menempel di tubuhnya. Tangan kekar itu, yang pernah menggenggam jemari Ify. Dan, Ify masih ingat betul bagaimana rasanya. Hangat dan menenangkan.
"Ayo!" ajak Rio seraya mengulurkan tangannya.
Perlahan-lahan, Ify juga mendekatkan tangannya ke arah tangan Rio. Tapi belum sampai Ify menggenggamnya, Rio sudah lebih dulu menarik dan menggenggam jemarinya. Kedua mata Ify sampai terbelalak karena tindakan Rio barusan.
"Jangan ragu-ragu." itu yang Rio katakan sebelumnya akhirnya dia membuka gerbang menuju rumahnya.
Kalau begini, tentu saja Ify hanya bisa pasrah. Dia langsung memejamkan matanya dan mengikuti ke mana Rio menarik tangannya. Meski tak melihat, tapi tangan kanan Ify berhasil menemukan tangan kirinya yang sedang digenggam oleh Rio. Tanpa sengaja, tangan kanan Ify balik menggenggam punggung tangan Rio.
"Tapi ngomong-ngomong, kenapa kamu tidak sekolah? Apa kamu hari ini bolos?" Rio baru ingat, kalau saat ini Ify mendatanginya dengan seragam sekolah melekat di tubuhnya.
"Jangan banyak tanya!" sentak Ify yang sudah sekuat tenaga menahan rasa takutnya.
Samar-samar, Ify kembali mendengar Rio tertawa pelan. Sungguh, demi apa pun Ify tidak tahu apa yang membuat Rio sangat suka tertawa. Padahal, mereka tidak sedang menonton lawak.
"Kita masih jauh?" kali ini ganti Ify yang bertanya.
"Syut... Jalan aja, jangan banyak nanya." balas Rio dengan suara lembut nan pelan.
Tubuh Ify memanas seketika mendengar jawaban Rio barusan. Dia antara malu dan kesal karena jawabannya tadi dibalikkan kepada dirinya sendiri. Sayangnya, Ify juga tidak bisa berbuat macam-macam karena dia sedang berada di sekeliling bunga mawar.
"Awas, ada tangga." Rio memberi aba-aba agar Ify tidak terjatuh.
Mendengar bahwa di depannya ada tangga, Ify jadi merasa sedikit lega karena mereka sudah sampai di rumah Rio. Bahkan sekarang, Ify juga mendengar suara Rio membuka pintu.
Ify berhasil masuk ke rumah Rio, dia bisa bernapas lega sekarang. Kelopak matanya juga perlahan-lahan terbuka. Pemandangan pertama yang Ify lihat adalah wajah Rio yang tersenyum manis padanya.
"Selamat datang." ujar Rio memberi ucapan selamat pada Ify.
"Selamat, selamat." balas Ify sinis.
Bener, dia punya energi yang nggak biasa. Buktinya, saat aku menggenggam tangannya kali ini pun aku kembali merasakan ada energi yang mengalir ke tubuhku. Batin Rio yang berhasil memastikan bahwa Ify bisa menyalurkan energi padanya yang bahkan Rio sendiri tidak tahu bagaimana caranya.
"Fy, aku mau mandi." kata Rio tiba-tiba seraya menaikkan kedua alisnya.
Kedua mata Ify memicing, dia tidak tahu kenapa Rio mengatakan itu padanya.
Apa jangan-jangan, dia ngira kalau gue cewek murahan? Pekik Ify dalam hati.
"Lo m***m anjir!" teriak Ify.
Satu pukulan dari tangan kanan Ify mendarat sempurna di pipi Rio sampai membuat lelaki itu meringis kesakitan.
"Aw..." Rio meringis karena tinjuan dari Ify barusan benar-benar kuat.
"Sukurin lo! m***m sih lo!" teriak Ify lagi.
"Siapa yang m***m, Fy? Aku cuma bilang kalau aku mau mandi." Rio mencoba membela dirinya karena tidak terima harga dirinya kembali ditindas oleh Ify.
Mata Ify melebar lagi, dia sudah hampir melayangkan tinju kedua untuk Rio tapi berhasil ditepis oleh lelaki manis di depannya dan itu membuat Ify semakin kesal.
"Ya itu, lo ngomong begitu tuh artinya lo mau ngajak gue mandi 'kan?"
Rio bengong jadinya. Dia terdiam seketika mendengar kefrontalan Ify. Ternyata itu alasan Ify meninju wajahnya.
"Aku ngajak kamu mandi?" Rio malah jadi bertanya.
Bola mata Ify bergerak-gerak tak menentu, dan dia mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Rio. Tapi malah yang ada, Rio tertawa sejadi-jadinya usai melihat Ify mengangguk.
"Udah m***m, sekarang jadi sinting pula." gerutu Ify menanggapi Rio yang masih terbahak-bahak.
"Aku nggak ngajak kamu mandi, Fy." akhirnya Rio bisa mengendalikan tawanya.
"Terus?" tanya Ify sambil melirik Rio dari samping.
Rio mengangkat tangan kanannya dan memperlihatkan pada Ify bahwa mereka masih saling bergenggaman tangan. Hanya bedanya, Rio sudah membuka genggaman tangannya, tapi tidak dengan Ify. Gadis itu masih menggenggam tangan Rio dengan erat.
Ify langsung menghempaskan tangan Rio begitu saja. Wajah Ify memerah seketika. Dia dibuat malu oleh kebodohannya sendiri. Gadis itu langsung menyilangkan kedua tangannya di depan d**a dan mengalihkan pandangan ke arah lain. Ify tidak tahu kenapa dia bisa sebodoh ini. Mungkinkah karena ini pertama kalinya datang ke rumah laki-laki sendirian tanpa ditemani Via? Entahlah, Ify juga tidak mengerti.
"Tidak perlu malu. Namanya juga manusia, ada kalanya kita salah." kata Rio berusaha membuat Ify tidak canggung padanya.
"Siapa juga yang malu." sahut Ify pelan tapi bisa didengar oleh Rio.
"Anggap saja rumah sendiri. Aku mau mandi dulu." kata Rio lagi.
"Oh ya, aku mau mandi. Bukan mau ngajak kamu mandi." secara sengaja, Rio menggoda Ify.
"Hah! Udah mandi sana cepetan!" teriak Ify yang sangat kesal karena digoda Rio.
Suara tawa kini sudah memenuhi rumah Rio, siapa lagi yang tertawa kalau bukan pemilik rumahnya sendiri. Ify benar-benar malu kalau harus berhadapan dengan Rio. Dia bahkan tidak berhenti menyalahkan dan mengumpati dirinya sendiri.