"Iya, Pak Alvin ada jadwal kencan." angguk Fauzy setelah dia melihat teks yang dikirimkan Alvin lewat pesan.
Mereka memang sedang bersama, tapi komunikasi yang menyebutkan mereka bukan obrolan. Melainkan pesan teks dari Alvin, sementara Fauzy membalasnya dengan suara. Persis seperti barusan.
"Siapa yang nyuruh?" baca Fauzy pada pesan teks berikutnya.
"Yang minta Pak Alvin kencan itu Bos besar, Pak." jawab Fauzy sopan.
Papa yang minta gue kencan? Tapi kenapa? Batin Alvin.
Tak lama kemudian, Alvin melihat ponselnya berdering. Ternyata yang meneleponnya adalah Mr. Stuart. Meski malas, tapi Alvin tetap menerima panggilan dari sang papa.
Alvin mendekatkan ponselnya ke telinga dan menunggu apa yang akan dikatakan oleh Mr. Stuart di seberang sana. Bahkan, Alvin sama sekali tidak mengatakan halo layaknya orang yang menerima panggilan telepon pads umumnya.
"Papa sudah atur pertemuanmu sama putri dari Shang Hai Group. Kamu tinggal datang nemuin dia dan ngobrol apa saja sama dia, tapi yang menjurus ke pernikahan. Kamu nggak perlu khawatir, Papa sudah mengeceknya bahwa dia itu pantas menjadi istrimu. Jadi, kamu tidak perlu memikirkan hal-hal tak penting." kata Mr. Stuart panjang lebar.
Alvin tetap diam, dia tidak menyahuti perkataan Mr. Stuart sepatah kata pun. Alvin sama sekali tidak tertarik pada apa yang sudah dikatakan oleh papanya. Malahan yang ada, Alvin sama sekali tidak ingin mewujudkan apa yang sudah papanya usahakan untuk dirinya.
Tanpa banyak membuang waktu berharganya, Alvin langsung mematikan sambungan telepon karena Mr. Stuart juga tak kunjung bicara. Alvin segera mengetikkan sesuatu lalu dia kirim pada Fauzy yang sedari tadi diam saja melihatnya penuh rasa penasaran.
"Ini seriusan, Pak?" Fauzy tak menyangka akan mendapat tugas seperti ini dari Alvin.
Sebuah anggukan menjadi jawaban untuk Fauzy. Asisten yang sudah bekerja lama untuk Alvin itu segera bangun dan siap melakukan tugasnya sesuai yang Alvin perintahkan padanya.
Alvin benar-benar kejam, dia meminta Fauzy untuk datang ke tempat di mana dirinya akan kencan dengan putri dari keturunan Shang Hai Group, Alvin menyuruh Fauzy agar mengatakan bahwa Alvin tidak ada niatan buat menjalin hubungan dengannya. Apalagi sampai menikah. Jangan harap Alvin mau melakukannya.
Kini di dalam ruangan, hanya tersisa Alvin seorang. Sementara Fauzy, dia sudah tancap gas menuju ke tempat yang sudah dijanjikan. Alvin sendiri, dia tidak akan takut kalau sampai mendapat ocehan dari Mr. Stuart. Lagi pula, Alvin tidak menyangka kalau Mr. Stuart tiba-tiba akan memintanya melakukan acara kencan-kencan begini.
Sekarang, Alvin hanya tinggal menunggu mendapatkan telepon dari Mr. Stuart tentang kemarahannya karena Alvin tidak menuruti apa kata-kata papanya. Lagi pula, sudah lama tidak ada keributan, Alvin kadang merindukan keributan.
Karena tak ingin diam saja, Alvin langsung mencari tahu tentang putri dari pemimpin Shang Hai Group di internet. Dia menemukan beberapa fakta yang salah satunya adalah, gadis itu terkenal manja dan cengeng. Sangat cocok dengan rencana Alvin barusan. Pasti gadis itu tidak akan tinggal diam kalau ditolak. Bahkan tidak langsung oleh Alvin ditolaknya, melainkan lewat asisten pribadinya.
Setengah jam berlalu, Alvin mendapat panggilan dari Fauzy. Asisten pribadinya itu mengatakan bahwa semuanya sudah berjalan dengan lancar. Bahkan Fauzy juga bilang kalau putri dari pemimpin Shang Hai Group itu tadi langsung terlihat menangis sambil berjalan meninggalkan kafe tempat mereka harusnya berkencan.
One, two, three.... Batin Alvin menghitung sebentar lagi akan mendapat panggilan dari Mr. Stuart.
Senyuman tercetak di wajah Alvin saat dia melihat ponselnya berdering sangat kencang. Dugaan Alvin tidak meleset, Mr. Stuart langsung meneleponnya.
"Hallo!" kali ini Alvin menyambut panggilan Mr. Stuart dengan kata halo.
Bukannya senang mendengar sapaan dari putra sulungnya, Mr. Stuart malah terdengar sangat marah. Namun semuanya bukanlah masalah bagi Ify.
"Kamu itu bagaimana sih, Vin? Sudah Papa bilangin kalau kamu harus jadi sama Lingling! Harus nikah sama dia! Tapi malah kamu sakitin hati dia!" sentak Mr. Stuart pada Alvin.
"Aku sibuk, Pa. Sorry."
Sudah bukan hal aneh, kalau Alvin tiba-tiba mematikan sambungan teleponnya. Dia sama sekali tidak mau mendengar ocehan Mr. Stuart yang malah membuatnya kesal dengan sendirinya.
Tak lama kemudian, Alvin menerima pesan dari Mr. Stuart. Alvin langsung membaca apa isinya karena memang penasaran juga..
Kalau kamu belum bawa calon dalam waktu dua bulan ini, kamu harus mau nikah sama perempuan pilihan Papa! Pokoknya, apa pun alasannya, Papa nggak akan terima selain pacar yang kamu kenalkan ke Papa.
Alvin berhasil membaca pesan dari Mr. Stuart dari dalam hati saja. Dia mengabaikan pesan itu karena Alvin kira itu hanyalah sebuah ancaman belaka. Tak lama, Mr. Stuart kembali mengirimkan pesan padanya.
Papa nggak lagi bercanda. Papa serius! Baca Alvin hanya dalam hati lagi.
Terserah Papa aja. Dan Alvin pun cuma membalas dari dalam hati.
Lelaki itu tidak mau berpusing ria tentang pacar, kekasih, hubungan percintaan apalagi pernikahan. Yang Alvin pikirkan hanya satu, kebahagiaan Ify. Itu saja.
Belum sampai Alvin fokus pada pekerjaannya, pintu ruangannya sudah terbuka lebih dulu. Ternyata yang masuk barusan itu adalah Fauzy.
"Beres, Bos." Fauzy memberikan laporan seraya mengangkat kedua jempolnya ke atas.
Sebuah anggukan beserta ucapan oke dari tangan Alvin sudah menjadi balasan untuk Fauzy. Asisten Alvin itu tertawa girang lalu dia kembali duduk di bangkunya.
"Lagian Bos Besar ada-ada aja, masa mau ngejodohin anak laki-laki satunya sama cewek manja kayak gitu. Nanti malah Pak Alvin dijadiin babu sama itu cewek." komentar Fauzy yang sudah lihat langsung bagaimana gadis yang akan dijodohkan dengan Alvin oleh Mr. Stuart.
Alvin menyahuti dengan tawa, sampai membuat Fauzy ikut tertawa. Berarti apa yang tertulis di situs yang dia buka tadi, bukanlah sebuah kebohongan bahwa putri bungsu Shang Hai Group itu manja dan cengeng.
"Sekarang, dia pasti lagi nangis nggak udah-udah di kamarnya." kata Fauzy lagi.
Perkataan Fauzy ternyata bisa membuat Alvin tertawa. Buktinya, sekarang Alvin tertawa terbahak-bahak. Beginilah Alvin, walau dia pelit bicara tapi Alvin tidak pelit dalam hal tawa. Semua itu adalah bentuk dari kebalikannya Alvin dengan Ify. Jika adiknya itu tidak pelit bicara tapi pelit senyum dan tawa.
"Kalau Pak Alvin ada di sana, aku yakin Pak Alvin bakalan ngakak. Ekspresi muka dia itu lucu banget, sampai tadi aku kepengen motret buat ditunjukkin ke Pak Alvin. Tapi sayangnya, tidak keburu karena dia langsung lari cepet banget menuju para bodyguard-nya." kata Fauzy yang belum tahu apa perdebatan antara Alvin dan Mr. Stuart.
***
Hari sudah semakin sore, tapi Via dan murid yang lainnya belum juga pulang dari sekolah. Hari ini ternyata ada latihan pramuka dadakan untuk menambah nilai. Dan semua kelas tidak diperbolehkan pulang. Mereka masih harus berada di area sekolah.
Via jadi kesal sendiri, karena dia bisa-bisa gagal ke rumah Rio untuk menemui Ify dan memastikan apakah teman baiknya itu masih bisa ditolong di sana?
"Ish, kita jadi gagal main ke rumah lo. Ify doang yang selamat." gerutu Via.
Bukan hanya pramuka yang tiba-tiba latihan. Melainkan semua guru mengadakan ulangan dadakan. Tapi entahlah, hari ini banyak yang dinilai sampai Via lupa, sudah berapa kali dia mengambil kertas kosong dari dalam laci di mejanya.
"Ya mau gimana lagi? Aku nggak bisa pulang gitu aja karena aku butuh nilai tambahan." gumam Raga pelan supaya tidak didengar oleh kakak pembina di depan sana.
Banyak sekali yang diterangkan oleh kakak pembina di depan. Tetapi sayangnya Via sudah enggan mendengarkan. Dia hanya ingin segera pulang dan berbaring di atas tempat tidurnya. Kalau tak lama lagi sekolah dipulangkan, Via tidak akan ikut Raga ke rumah Rio. Melainkan Via akan langsung pulang ke rumahnya sendiri.
"Ini masih lama enggak sih?" tanya Via kepada salah satu temannya yang duduk di depannya.
"Nggak tahu, gue juga udah males di sini. Pengen cepet-cepet pulang." jawab Vana, teman yang tadi ditanyai oleh Via.
Via mendesah pelan, dia hanya bisa menerima keputusan dari kakak pembina. Pandangannya kini beralih ke arah jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. Ternyata sekarang sudah pukul setengah lima sore tapi belum ada tanda-tanda kakak pembina akan memulangkan mereka dalam waktu dekat.
"Ini mau pulang jam berapa sih? Udah jam segini masih betah aja ngoceh di depan." gerutu Via yang benar-benar sudah tidak betah berada di sekolah, ingin segera pulang dan menyantap sepiring masakan yang diracik oleh Rima.
"Seketika, gue pengen tukeran tempat sama Ify." gumam Via pelan seraya menyandarkan kepalanya ke punggung Vana.
Oh ya, besok 'kan minggu. Bang Alvin 'kan bilang kalau dia bakal mau diajak main golf sama Papa. Kalau gitu gue harus ikut ke tempat golf sama Papa. Tekad Via dalam hati.
Pokoknya kalau besok Ify ngajakin hal yang aneh-aneh, nggak akan gue mau nurutin dia. Pilihan terbaik emang ikut sama Papa biar bisa ketemu sama Bang Alvin. Gumam Via di dalam hati lagi.
Semangat Via yang tadinya sempat kendor, jadi kembali seperti semangat pagi hanya karena mengingat bahwa besok Rizaldy punya janji main golf dengan Alvin seperti apa yang dikatakan Rima kemarin.
Benar! Semuanya karena Alvin seorang. Seberapa lelah pun Via menjalani kehidupannya. Seberapa berat pun beban yang ditanggung di pundaknya, Via akan kembali tersenyum dan semangat setiap kali dia mengingat satu nama, Alvin.
Karena terlalu asik membayangkan dan memikirkan tentang Alvin, Via sampai tak sadar kalau sekarang kakak pembina di depan sudah mengatakan bahwa mereka boleh pulang. Via langsung berlari secepat kilat menuju gerbang sekolah usai mengatakan bahwa dia tidak jadi ikut dengan Raga untuk ke rumah. Via akan pulang menaiki taksi untuk sampai ke rumahnya lalu dia akan langsung mempersiapkan apa yang akan dia pakai dan bawa untuk bermain golf besok.
***
Kedua kelopak mata Ify bergerak-gerak khas orang baru bangun tidur. Ya sudah dua jam Ify tertidur di atas sofa ruang tamu milik Rio. Gadis itu bahkan tidak sadar kalau saat ini dia sedang berada di rumah orang lain.
Saat baru pertama kali membuka mata, Ify melihat ke langit-langit di atasnya. Dia masih belum tersadar. Sekuat tenaga Ify mengingat-ingat sedang berada di mana dia sekarang? Karena rasa rasanya ini bukanlah kamarnya.
Saat Ify berusaha bangun, dia melihat ada selimut kotak-kotak yang menutupi tubuhnya. Ify merasa tidurnya barusan sangat nyenyak hingga membuat Ify lupa kalau kedatangannya ke sini tadi untuk menanyakan hal yang dia mimpikan semalam pada Rio.
"Bagaimana tidurnya? Nyenyak, Tuan Putri?" tanya Rio sembari membawa segelas air minum untuk Ify dari dapur.
Ify langsung menolehkan kepalanya ke arah sumber suara. Ketika melihat orang yang bertanya barusan itu adalah Rio, Ify seketika tersadar bahwa saat ini dia sedang berada di rumah lelaki itu. Otomatis tangan Ify menepuk keningnya sendiri karena bisa-bisanya dia lupa kalau dari tadi dia ada di rumah Rio.
Rio duduk di single sofa yang juga ada di sana. Dia memberikan segelas air minum yang dia bawa tadi kepada Ify. Wajah lelaki itu menampilkan sebuah senyuman yang membuat Ify merasa aneh karena tidak biasanya dia bangun tidur terus yang dilihat adalah senyuman.
Buat apa Rio senyum ke gue? Itulah kira-kira pertanyaan Ify yang hanya bisa tersampaikan dari dalam hati saja.
"Lo lama banget sih mandinya! Gue sampai jamuran tahu, nungguin lo selesai mandi!"
Ya beginilah Ify, selalu sewot dan judes kepada siapa saja. Termasuk kepada Rio yang ingin dia mintai tolong. Rio malah terkekeh melihat ekspresi wajah Ify yang menurutnya itu menggemaskan.
"Apa yang kamu bilang barusan? Jamuran?" tanya Rio dengan nada khasnya.
"Iyalah, jamuran. Orang mandi udah kayak anak perawan lagi kasmaran aja." semprot Ify sambil meletakkan gelas berisi air putih yang ada di tangannya ke meja.
"Jamuran apa ketiduran?" bukannya marah, Rio malah kembali menggoda Ify seperti sebelum-sebelumnya.
Ify menggeram kesal karena lagi-lagi, Rio mengeluarkan jurus gombal di depannya. Ify tidak menjawab pertanyaan Rio karena memang dia sengaja tidak ingin menjawabnya. Lebih tepatnya lagi, sebenarnya Ify malu harus mengakui bahwa dia memang keenakan berbaring di sofa milik Rio sampai tak sadar kalau dia tadi sampai ketiduran.
Ekor mata Ify sesekali melirik ke arah pipi kiri Rio yang tadi dia tonjok dengan begitu kencang. Ify meringis sendiri melihatnya.
Mantap juga pukulan gue tadi, bisa sampai bikin pipinya memar begitu. Batin Ify setelah memastikan bahwa pipi kiri Rio memang memar.
"Oh ya, tadi kamu mau bilang apa? Nggak mungkin 'kan kamu ke sini cuma mau numpang tidur?"
Kedua tangan Ify kembali terkepal kuat-kuat. Ingin rasanya dia memukul wajah Rio lagi. Tapi Ify tidak mau kalau tangannya sakit. Ify kesal kalau mengingat pertanyaan Rio barusan.
Sok ganteng banget sih ini orang. Dikira dia doang apa yang ganteng? Sorry, Alvin lebih ganteng dari dia ke mana-mana. Desah Ify lagi yang tak bisa dia ungkapkan selain hanya di hati.
"Sebenarnya ada yang mau gue ceritain ke lo." Ify menggigit bibir bawahnya sendiri, dia tidak percaya kalau dia akan membagi mimpinya kepada orang yang baru dia kenal.
Kalau bukan karena Mama, gue nggak mungkin mau nyeritain tentang ini ke dia.
"Cerita? Emang apa yang mau kamu ceritakan ke aku? Emangnya ada hubungannya sama aku?" wajar saja kalau dia bertanya seperti ini, kecuali kalau dia tidak bertanya malah ada nanti Ify lebih curiga dan berpikir yang aneh-aneh tentangnya.
Sebelum memulai cerita, Ify lebih dulu menarik napas beberapa kali hanya demi agar dia bisa tenang sebelum menceritakan apa yang dia mimpikan dalam beberapa bulan terakhir ini.
"Sebelumnya, gue boleh nanya dulu nggak ke lo?" tanya Ify sedikit lirih.
"Boleh." jawab Rio seraya menganggukkan kepalanya.
"Lo pernah nggak mimpiin gue? Sekali aja?" dengan frontalnya Ify bertanya seperti ini.
Usai bertanya, Ify seketika merutuki pertanyaannya sendiri. Dia memejamkan matanya dan menahan rasa malu di depan Rio. Ify tidak mau kalau sampai Rio berpikir yang aneh-aneh tentangnya apalagi pertanyaannya ini sangat frontal.
Ify berharap kalau Rio tidak menganggap dirinya cewek nakal atau perempuan murahan yang sedang menggoda laki-laki.
Bukannya sebuah jawaban yang Ify dapatkan, tapi sebuah gelak tawa yang Rio berikan. Sebenarnya sudah dapat ditebak oleh Ify kalau Rio pasti akan tertawa seperti ini. Buktinya lelaki itu menertawakannya sampai terbahak-bahak.
Ingin rasanya Ify menyumpal mulut lelaki itu menggunakan kaos kaki yang sedang dia pakai sekarang. Tapi sayangnya Ify tidak mau kehilangan kaos kakinya. Dia lebih sayang pada kaos kakinya ketimbang pada mulut Rio.
"Lo bisa diem nggak sih? Gue cuma nanya!Kalau misalkan lo pernah mimpiin gue, ya udah jawab aja pernah. Kalau misalkan lo nggak pernah atau belum pernah mimpiin gua, ya udah jawab aja nggak gitu nggak pernah. Nggak usah kayak orang b**o kayak gitu!" teriak Ify yang sudah setengah malu karena pertanyaannya sendiri.
Rio berusaha keras menghentikan tawanya. Bahkan kedua mata Rio pun kini mengeluarkan air mata, khas seseorang yang tertawa lepas. Setelah sekian detik Rio berusaha, akhirnya dia bisa benar-benar berhenti tertawa. Tetapi sekarang Rio jadi menatap ke serius ke arah Ify.
Jelas saja, mendapatkan tatapan seperti ini membuat Ify jadi bingung apa yang akan Rio lakukan padanya.
"Lo mau ngapain?" tanya Ify tergagap.
Rio semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Ify sampai Ify bisa melihat dengan jelas wajah Rio dari jarak paling dekat.
"Jujur saja, kamu suka 'kan sama aku?" tanya Rio yang sengaja menggoda Ify lagi.
Kedua mata Ify membelalak, dia dorong d**a Rio sekuat tenaga sampai lelaki itu kembali terjatuh ke tempatnya tadi duduk.elaki itu kembali meringis karena Ify.
"Lo gila ya? Ya kali gue suka sama lo!" teriak Ify tak kira-kira sampai seisi rumah terisi oleh suara teriakannya Ify semua.
Rio jadi heran, dia menggaruk kepalanya sendiri. Padahal tadi dia habis keramas dan tentu saja kepalanya tidak terasa gatal sedikit pun.
"Ya kalau kamu nggak suka sama aku, kenapa kamu tanya begitu?"
Ify memejamkan kedua matanya, dia berusaha meredam emosinya yang sudah memuncak sampai ke ubun-ubun. Darahnya pun berubah menjadi mendidih sekarang. Ify ingin pergi saja dari sana tapi mengingat dirinya sudah berusaha keras agar sampai ke dalam rumah Rio, Ify jadi mengurungkan niatnya. Dia baru akan pulang kalau Rio sudah memberikan jawaban seperti yang Ify inginkan dan harapkan.
"Gue cuma nanya Rio, bukan suka sama lo." ujar Ify menegaskan setiap kata yang barusan dia ucapkan.
"Kalau kamu nggak suka sama aku, kenapa kamu mikir kalau aku mimpiin kamu? 'Kan aku nggak suka sama kamu. Buat apa aku mimpiin kamu? Atau jangan-jangan, kamu yang udah mimpiin aku? Kalau kamu mimpiin aku, kamu yang suka sama aku berarti."
Dengan polosnya, Rio mengatakan semua hal itu pada Ify secara langsung. Padahal dia sudah tahu kalau yang membuat Ify memimpikannya itu adalah dirinya sendiri. Bukan karena kemauan Ify yang ingin memimpikan dirinya.
Napas Ify tercekat tiba-tiba, dia terbatuk-batuk karena apa yang barusan dikatakan oleh Rio. Air minum yang tadi dia letakkan di atas meja kini kembali diambil oleh Ify. Dia sangat butuh mendinginkan pikirannya agar tidak meledak.
Ya bener sih, gue yang mimpiin dia. Tapi 'kan gue enggak suka sama dia. Gue juga enggak ngarepin dia datang ke mimpi gue. Tapi kenapa dia datang terus ke mimpi gue? tanya Ify dalam hati.
"Kamu bisa jujur kok, Fy. Kamu suka sama aku?" tanya Rio lagi bagaikan orang bodoh yang tidak bisa membaca raut wajah Ify, padahal sebenarnya Rio yang sengaja bertanya seperti ini.
Rio hanya ingin menekan Ify sampai gadis itu mengatakan semuanya padanya.
"Udah gue bilang berapa kali sih? Kalau gue nggak suka sama lo, Rio! Gue nggak suka!"
"Oke, anggep aja kamu emang nggak suka sama aku. Tapi apa hubungannya dengan mimpi kamu sama mimpi aku?"
Ify kembali menatap Rio, dia baru akan membahas ini kalau Rio sudah bisa menerima bahwa dia memang tidak mencintai lelaki itu.
"Sebelum gue ketemu sama lo, gue sempet koma selama satu bulan." Ify mulai bercerita.
"Koma? Memangnya kamu kenapa?"
"Lupain tentang gue kenapa bisa koma. Tapi yang mau gue pastiin, selama gue koma satu bulan itu, mimpi gue full tentang gue, lo sama Mama gue dan tempat ini. Padahal waktu itu, gue nggak tahu ada tempat ini dalam kehidupan nyata. Gue kira, semuanya cuma berada di alam bawah sadar gue doang."
"Tarik napas dulu, Fy!" titah Rio menghentikan cerita Ify.
Ify menurut karena tak enak rasanya kalau dia bercerita tapi Rio malah tidak mendengarkannya.
"Sampai gue nggak sengaja lihat lo keluar dari ruang guru waktu di sekolah."
Ify kembali menceritakan apa yang sudah dia lalui demi untuk berkenalan dengan Rio secara langsung. Seseorang yang tadinya dia anggap hanyalah ilusi semata. Seseorang yang tidak pernah dibayangkan ada oleh Ify, tapi nyatanya ada di kehidupan nyata.
Rio mendengarkan dengan seksama. Dia ingin mendengar dari versi Ify selain dari versi yang dia buat. Karena Rio hanya tahu dari versinya saja, bukan dari sudut pandang Ify. Memang penting baginya untuk mengetahui tentang segala sudut pandang.
"Dan semalam, lo juga ada di mimpi gue."
"Tadi malam?"
Kepala Ify mengangguk, dia lagi-lagi menceritakan apa yang dia mimpikan semalam. Di sini, Rio menjadi pendengar yang sangat baik, dia sama sekali tidak memotong apa yang Ify katakan. Bahkan untuk bertanya pun, Rio memilih waktu yang pas agar tidak terkesan kurang ajar.
Dari sana ke sini Ify ceritakan dengan lancar. Ini pertama kalinya Ify bicara sangat-sangat banyak seusai kematian Kalina. Padahal biasanya Ify tidak pernah begini. Dia orang yang sangat tertutup, meski dengan kakak dan sahabatnya sendiri.
"Kalau aku boleh tahu, kenapa kamu takut sama bunga mawar?" tibalah Rio di tahap ini, akhirnya dia bisa bertanya pada Ify langsung tentang kenapa.
Ify terdiam mendengar pertanyaan Rio. Untuk yang satu ini, Ify tidak akan semudah itu membahas dengan Rio. Tapi entahlah kalau tiba-tiba Ify berubah pikiran.