Satpam yang menjaga rumah Mr. Stuart langsung menutup mulutnya rapat-rapat ketika dia melihat orang yang memencet bel rumah tadi adalah Ify. Jelas saja, satpam itu mendapat ancaman dari Ify, makanya dia diam. Sedangkan Ify, dia sengaja berhenti di pos satpam untuk melepas jaket milik Rio lalu dia masukkan ke dalam tas.
"Syutt...!" titah Ify lagi pada satpam yang jaga sambil melotot sambil meletakkan jari telunjuknya di depan hidung dan bibirnya.
Otomatis satpam tadi pun cuma mengangguk-angguk paham bahwa dia diminta diam dan tidak mengatakan pada Alvin tentang Ify. Apa pun itu dilarang, kalau satpam tadi mau selamat.
Usai memasukkan jaket Rio ke dalam tas, Ify langsung berjalan menuju pintu utama. Dia berusaha bersikap biasa saja agar Alvin nanti tidak curiga dan mengintimidasinya pakai tatapan tidak mengenakkan.
Tadi, Ify melihat ke lantai atas tapi di bagian kamar Alvin lampunya belum nyala. Berarti ada kemungkinan kakaknya itu masih ada di lantai satu. Ya betul, itulah harapan Ify.
Dengan satu dorongan, pintu utama berhasil dibuka. Ify masuk perlahan-lahan sambil mengatur langkahnya supaya sepatunya tidak menimbulkan bunyi ketika bersentuhan dengan lantai. Setelah Ify memastikan di ruang tamu tidak ada siapa-siapa, Ify segera menuju ke dapur. Siapa tahu, Alvin ada di sana sedang mencari sisa-sisa makanan. Mungkin saja.
Tebakan Ify tidak salah, Alvin ada di dapur dan terlihat sedang mengambil nasi ke piring. Seperti biasa, di atas meja makan pasti ada makanan yang sudah disiapkan oleh asisten rumah tangga. Biasanya, akan ada notes di meja agar Alvin atau Ify buat menghangatkan makanannya kalau sampai jam enam sore belum ada yang pulang.
Mae, dia adalah wanita paruh baya yang bekerja di rumah Mr. Stuart sebagai asisten rumah tangga selama bertahun-tahun. Bahkan dari Alvin masih kecil, saat itu Ify baru berusia lima bulan. Jadi, Mae sudah hapal dengan selera kedua putra-putri majikannya. Hanya saja, Mae tidak ikut tidur di rumah ini karena dia harus pulang dan mengurus keluarganya juga. Jam kerja Mae dari jam enam pagi sampai jam enam sore, makanya kalau di jam itu belum ada yang pulang, maka Mae akan menempelkan notes di meja makan bersama makanan yang sudah dia masak.
Seperti malam ini, sepulang kerja Alvin langsung memanaskan lauk-pauk yang ada di atas meja. Barulah sekarang, Alvin akan menyantap makanannya. Saat akan duduk, lelaki bermata sipit itu melihat Ify berjalan ke dapur. Alvin mengangkat piringnya ke arah Ify sebentar, lalu dia duduk dan mengambil lauk-pauk yang dia inginkan. Sedangkan Ify, dia berjalan melewati meja makan menuju lemari pendingin.
"Gue udah makan." sahut Ify menjawab tawaran makan dari Alvin.
Sambil minum, Ify sambil melihat tangan Alvin yang membentuk tanda OK. Dalam hati, Ify masih ketar-ketir takut kalau semisal tadi Alvin melihatnya sedang berdiri di sisi jalan bersama laki-laki.
Untuk memastikan, Ify memilih duduk di seberang Alvin lalu tangannya mengambil sepotong ayam goreng dan dia makan begitu saja tanpa nasi. Ify melirik-lirik ke arah kakaknya dan tetap diam.
Saat Ify membuka mulut akan menyuapkan daging ayam yang baru saja dia suwir, tak tahunya malah sudah keduluan oleh Alvin yang menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. Hingga mau tak mau, Ify jadi mengunyah nasi yang barusan Alvin suapkan.
"Gue udah makan." kata Ify lagi mengulangi perkataannya tadi, barangkali Alvin tidak mendengarnya.
Alvin cuma menatapnya sebentar lalu fokus lagi ke makanannya tanpa menghiraukan Ify yang kembali menikmati sepotong ayam gorengnya tadi. Hanya saja, Alvin menurut untuk tidak menyuapi Ify seperti barusan.
Kayaknya Alvin nggak lihat deh. Syukurlah kalau dia emang nggak lihat. Batin Ify lega karena dia lolos dari pertanyaan demi intimidasi yang bakal Alvin lakukan.
"Lo tadi udah baca pesan dari Via?" Ify tetap saja penasaran dan langsung bertanya.
Kepala Alvin mengangguk beberapa kali, menandakan bahwa dia memang sudah membaca pesan yang dikirimkan Via padanya mengenai Ify akan pulang telat karena latihan pramuka dan main ke mall sebentar untuk mencari apa yang dia perlukan lusa buat praktik di laboratorium kimia.
"Gue mau mandi, bye!" setelah memastikan kalau Alvin tidak melihatnya di sisi jalan sama Rio, Ify langsung memutuskan buat ke atas daripada nanti malah Alvin curiga padanya. Itu bakal membuat Ify merasa terancam.
Tidak ada jawaban dari Alvin, tapi Ify yakin kalau lelaki itu pasti mendengarnya. Jadi malam ini Ify aman. Dia tidak ketahuan.
Cepat-cepat Ify masuk kamar dan langsung mandi seperti apa yang dia katakan pada Alvin tadi kalau dia ingin mandi. Tak lupa, Ify mengunci pintu kamarnya agar tidak ada siapa-siapa yang masuk. Padahal di rumah ini tidak ada siapa-siapa selain dirinya, Alvin dan satpam.
Tanpa memikirkan yang lain-lain lagi, Ify segera membuka seragam dan masuk ke kamar mandinya. Badannya sudah terasa lengket-lengket semua, tapi untungnya Ify masih tercium wangi aroma parfum yang dipakai Dimas.
Dua puluh menit berikutnya, Ify sudah selesai mandi dan berhasil mengganti kimono handuknya dengan baju tidur. Sebelum berbaring, Ify lebih dulu mengecek ponselnya yang sudah dia isi daya. Walau belum penuh, tapi ponselnya sudah bisa menyala.
Banyak pesan masuk silih berganti, dan Ify melihat itu semua pesan ada yang dari Alvin, Via, Raga dan Ray. Hanya empat orang yang mengirimkan pesan padanya, tapi rasanya sudah seperti ratusan karena berisik.
"Njir, dah kayak pasar aja ini HP." gumam Ify ke dirinya sendiri biar lebih singkat.
Ify membukanya satu persatu, mulai dari Alvin, Via, Raga dan terakhir milik Ray. Jika pesannya Alvin, Via dan Raga, semua dibaca oleh Ify, sementara pesan dari Ray langsung diabaikan dan bahkan dihapus oleh Ify. Dia terlalu malas untuk membaca apalagi membalas pesan dari Ray.
"Nggak penting banget," desah Ify. Bagi Ify, daripada dia membaca pesannya Ray maka lebih baik dia tidur saja. Itu lebih bermanfaat untuk dirinya ketimbang memikirkan Ray. Namun sayangnya, Ify malah jadi teringat kepada Rio.
Bayangan mengenai perlakuan manis Rio kepadanya tadi membuat Ify sulit lupa. Ify benar-benar hampir terlena oleh perhatian yang Rio berikan. Terlebih lagi, Ify belum pernah merasakan hal yang dia rasakan kepada lelaki lain seperti yang dia rasakan jika bersama dengan Rio.
"Gue mikir apaan sih? Pokoknya gue nggak boleh mikir yang aneh-aneh," Ify berulang-ulang menggelengkan kepalanya sendiri supaya pikirannya tentang Rio bisa sirna.
Semakin Ify mencoba melupakan, tapi bayangan yang Rio berikan terlalu kuat sehingga Ify tidak dapat mengeluarkan Rio dari isi pikirannya.