"Yo, gue pinjem HP dong." pinta Ify seraya menengadahkan tangannya ke arah Rio.
"Mau apa lagi? 'Kan sekarang udah aku anter pulangnya." wajar saja Rio bertanya begini, karena dia yang punya HP. Jadi tentu saja Rio berusaha menjaga privasinya.
"Lo niat bantu nggak sih? Gue cuma mau ngabarin Via doang. Bukan mau aneh-aneh."
Mendengar nama Via disebut, Rio jadi tidak berpikir aneh-aneh tentang Ify. Dia langsung memberikan ponselnya pada gadis yang duduk di sebelahnya itu. Begitu pula dengan Ify yang langsung mengetik pesan lalu dia kirim ke nomornya Via. Kebetulan, Ify hanya hapal nomor ponselnya Mr. Stuart, Alvin dan Via saja.
Kenapa Ify milih mengabari Via, dan bukan Alvin. Ya tentu karena dia tidak mau Alvin curiga pada nomor ponselnya Rio yang dia pakai sekarang. Ify paling malas kalau sudah diinterogasi pakai tatapan tanpa henti oleh Alvin.
Ify juga mendapatkan pesan balasan dari Via. Usai mengabari Via, tak lupa Ify langsung menghapus pesan teks yang dia lakukan bersama Via barusan agar Rio tidak tahu apa yang dia bicarakan dengan Via.
"Nih, gue balikin." Ify seketika memberikan ponsel di tangannya tadi ke pemiliknya.
Rio mendesah pelan seraya menerima ponselnya dan dia masukkan kembali ke saku jaketnya. Dia melirik ke arah Ify yang terus-menerus menatap ke arah jendela.
"Kamu mau mendengarkan radio?" tawar Rio kembali berbaik hati.
Ify tetap bergeming, dia hanya menoleh ke arah Rio sebentar lalu kembali fokus ke jendela. Suara musik sudah terdengar, Rio benar-benar menyalakan radio agar tidak terlalu canggung meski Rio juga tidak tahu apa yang membuat keadaan jadi canggung begini.
Ini mending jaketnya Rio gue balikin atau gue bawa aja dengan alibi lupa? Tanya Ify pada hati kecilnya.
Ekor mata Ify terus melirik-lirik ke arah lelaki di sampingnya yang fokus menyetir. Hatinya sekarang sedang berperang, hanya karena masalah jaket Rio yang menempel di badannya. Bisa se-overthinking ini Ify pada hal sepele kalau dia sedang bingung.
Mobil sudah semakin dekat dengan kompleks perumahan elite tempat Ify tinggal. Gadis itu segera mengambil topinya dari dalam tas. Rio sedikit heran pada Ify, karena tiba-tiba saja gadis itu menutupi sebagian wajahnya dengan topi dan masker.
Udah lah, gue bawa aja jaketnya biar gue punya alasan yang kuat buat ketemu lagi sama Rio nanti-nanti. Tekad Ify mencoba berpura-pura lupa bahwa sekarang ini dia memakai jaket milik lelaki yang mengantarnya pulang.
Eh anjir, tapi pikiran gue genit amat sumpah. Bisa-bisanya gue mikir begini?
Keputusan Ify barusan ternyata bukanlah sebuah akhir. Dia masih saja berperang dengan dirinya sendiri.
"Kamu kenapa kayak orang gelisah begitu, Fy?"
Ternyata Rio menyadari perubahan sikap Ify barusan. Walaupun Ify tetap berusaha tenang, tapi nyatanya tidak bisa. Apa yang Ify lakukan sekarang sangat terlihat jelas bahwa dirinya itu sedang gelisah seperti takut ketahuan.
"Enggak. Gue nggak kenapa-napa." Ify menggelengkan kepalanya.
Sebenarnya, Ify ingin menanyakan Alvin ada di mana tapi dia baru ingat kalau baterai ponselnya lowbat.
"Udah, Yo. Henti di sini aja!" pinta Ify lagi secara tiba-tiba.
Kening Rio mengerut, dia melihat gelagat aneh Ify yang seperti orang takut ketahuan selingkuh dari pacarnya. Ditambah lagi, Ify kembali meminta agar dia berhenti di sini.
"Tapi ini belum sampai di rumah kamu."
"Ish, gue bilang henti di sini ya di sini. Nggak usah nego segala."
Perlahan-lahan, Rio memelankan laju mobilnya seraya menghidupkan lampu sein ke arah kiri. Ketika mobil sudah berhenti, Ify langsung melepas sabuk pengamannya dan keluar begitu saja tanpa mengucapkan terima kasih kepada Rio.
Rio sampai menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Ify. Dia segera turun dari mobil dan mengikuti ke mana Ify. Saat ini, Rio sudah persis seperti laki-laki yang mengejar pacarnya yang sedang marah.
"Fy, tunggu!" Rio berhasil menarik pergelangan tangan Ify sampai membuat kedua mata gadis itu melotot.
Ify tak tahu kalau ternyata Rio mengejarnya. Tadinya dia kira, Rio sudah langsung pulang. Ify jadi melihat ke sekitar, berharap tidak ada yang melihat dan memerhatikannya bersama Rio.
"Lo ngapain ngikutin gue? Bukannya langsung pulang." tanya Ify heran karena Rio malah mengejarnya.
"Kamu kenapa sembunyi-sembunyi kayak gini? Kamu sembunyi dari siapa?" Rio masih saja penasaran pada apa yang dilakukan Ify.
Berulang kali Ify mencoba melepaskan genggaman tangan Rio di pergelangan tangannya, tapi Rio terlalu kuat menahannya hingga membuat Ify menghentikan aksinya. Gadis itu benar-benar kesal, karena Rio bukannya langsung pulang malah membuatnya semakin takut.
Dari kejauhan, Ify tak sengaja melihat ada mobil Alvin yang akan melintas. Sontak saja Ify takut kalau Alvin melihatnya di sisi jalan bersama laki-laki.
Gue harus gimana? Tanya Ify dalam hati.
Sejudes-judesnya, senakal-nakalnya, sengeselin-ngeselinnya dan seiblis-iblisnya Ify, gadis itu masih punya rasa takut pada Alvin. Bukan takut karena dimarahi oleh Alvin, Ify hanya takut kalau tindakannya bisa membuat Alvin kecewa padanya. Ify tidak mau membuat lelaki yang sudah menjaganya dari kecil kecewa karena dirinya. Seburuk-buruknya Ify, setidaknya Ify sangat ingin menjaga perasaan Alvin. Dan dulu, Alvin pernah berkata kalau dia tidak boleh dekat dengan laki-laki manapun sebelum lulus SMA. Ify tidak mau merusak kepercayaan kakaknya kalau tiba-tiba Alvin melihatnya mendekati Rio karena alasan mimpi yang setiap malam datang menghantuinya. Walaupun konteks mendekati yang Ify maksud di sini bukanlah menjurus ke hal negatif, tetap saja Ify berusaha buat melakukannya secara diam-diam dari Alvin.
Mobilnya Alvin makin deket. Pikirin sesuatu, Fy! Sentak hati kecil Ify pada dirinya sendiri.
Ketika Ify sedang menunduk dan memikirkan cara bagaimana agar tidak terlihat oleh Alvin, gadis itu melihat jaket yang dipakai Rio. Saat itu juga, Ify menempelkan tubuhnya ke tubuh Rio seraya menarik jaket lelaki di depannya itu agar menutupi tubuhnya yang mungil.
Posisi mereka sekarang, Rio seperti sedang memeluk Ify. Padahal nyatanya, Ify yang menarik jaket Rio sampai tubuh mereka saling menempel satu sama lain. Ditambah lagi, kali ini Rio sedang memakai jaket sepanjang paha bawahnya. Jadi otomatis, sebagian rok seragam Ify pun ikut tertutup.
Bola mata Rio melebar sempurna. Dia benar-benar tak mengira kalau Ify akan melakukan hal ini. Apalagi sekarang posisinya sedang ada di sisi jalan raya. Selain memikirkan tentang keberadaan mereka, Rio juga memikirkan tentang tubuhnya yang seketika berubah menjadi panas. Dia juga merasakan ada keringat yang mengalir di punggungnya.
Tanpa Ify sadari, kepalanya sedari tadi menempel di d**a bidang Rio. Tindakan Ify barusan, membuat topi yang tadi dia pakai jadi terjatuh.
"Please, jangan sampai Alvin lihat gue di sini." gumam Ify masih dalam posisi yang sama.
Kening Rio mengerut saat dia mendengar Ify mengatakan nama Alvin. Rio bisa mendengarnya dengan jelas, kalau Ify membahas nama itu.
"Fy, kamu masih lama?" dengan polosnya, Rio bertanya seperti ini.
Pertanyaan Rio langsung menyadarkan Ify bahwa barusan dia melakukan hal yang tidak seharusnya dia lakukan.
"Kalau begini, jangan salahkan aku kalau aku terus mengira kamu beneran suka sama aku." kata Rio lagi dengan nada pelan.
Tanpa pikir panjang, Ify langsung melepaskan jaket Rio dan mendorong lelaki itu agar menjauh darinya. Rio terkekeh melihat apa yang Ify lakukan.
"Aku kayak cowok yang kamu jadikan pelampiasan aja ya?" gumam Rio membuat kedua bola mata Ify melebar.
"Apaan? Cowok pelampiasan? Lo kira, kita punya hubungan apa?" Ify sudah marah-marah pada Rio karena kata-kata lelaki itu.
Rio lagi-lagi hanya terkekeh. Dia bisa melihat jelas wajah Ify meski sekarang dalam kondisi gelap.
"Kamu tiba-tiba datang ke rumahku, tidur dan makan di rumahku, aku anterin pulang juga, terus barusan kamu tiba-tiba narik aku supaya bisa kamu peluk. Itu namanya apa kalau bukan pelampiasan?" Rio mengatakan secara rinci apa saja yang dilakukan Ify tadi dari pas masih di rumahnya sampai sekarang.
"Sinting lo! Pelampiasan Mbahmu."
Tak lama, Rio meringis kesakitan saat kakinya dengan sengaja diinjak sangat kencang oleh Ify. Rio bahkan sampai mengangkat kakinya dan berdiri pakai satu kaki. Tak hanya itu, Rio juga melompat-lompat guna mengekspresikan rasa sakit di kakinya. Sementara Ify, dia sudah lebih dulu berlari menjauh dari Rio tanpa memikirkan bagaimana yang Rio rasakan sekarang.
Saat Rio sedang melompat-lompat, dia tidak sengaja menginjak sesuatu di bawah sana. Giliran dilihat, Rio menemukan topi yang tadi Ify pakai ternyata masih tergeletak di bawah. Rio langsung mengambil topi milik Ify dan membawanya ke mobil. Wajahnya masih meringis-ringis menahan nyeri di kakinya karena gadis yang barusan dia antar.
"Kenapa? Apanya yang salah sama perkataanku barusan? Bener 'kan kalau aku cuma dijadikan pelampiasan saja sama dia?" gerutu Rio yang tidak terima karena diperlakukan begini oleh Ify.
Pandangan Rio sekarang beralih ke topi berwarna putih yang berubah jadi kotor karena dia injak-injak secara tidak sengaja.
"Pakai kotor lagi ini topi." desah Rio sambil menghela napas agar tidak terlalu kesal.
Rio masih berdiam di sana, menunggu sampai kakinya tidak terlalu sakit lagi barulah Rio akan kembali ke rumah.
"Ngomong-ngomong, tadi Ify ngirim pesan apa ke Via?"
Rio mulai penasaran tentang pesan yang dimaksud Ify tadi. Dia langsung mengambil ponselnya dan mengecek daftar pesan teksnya. Tapi tidak ada percakapan dengan nomor baru.
"Ternyata Ify pinter. Pesannya langsung dihapus gitu aja." gumam Rio sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Saat sedang memasukkan ponsel ke saku, Rio tiba-tiba jadi teringat dengan adegan tadi saat Ify menarik jaketnya dan bersembunyi di balik tubuhnya. Rio masih ingat betul, bagaimana rasa hangatnya ketika badan mereka menempel. Bahkan, Rio merasa seperti ada aliran listrik menjalar ke tubuhnya. Sebuah perasaan yang belum pernah dia rasakan.
"Eh, nggak mungkin aku suka sama anak bayi." kata Rio lagi yang berusaha menampik apa yang dia rasakan tadi.
Rio yang masih berusaha menolak dugaannya, dia tiba-tiba dikagetkan oleh deringan ponselnya. Saat dilihat, ternyata yang menelponnya itu Raga. Karena Rio juga mengkhawatirkan kondisi Raga, dia langsung menerima panggilan dari teman baiknya itu.
"Hallo." ucap Rio layaknya orang yang sedang menerima panggilan.
"Kamu di mana? Kenapa tidak ada di rumah?" tanya Raga lewat telepon.
"Kamu udah kayak anak kecil baru bangun tidur yang langsung nyari Ibunya aja, ditinggal sebentar udah kelabakan." goda Rio kepada temannya yang malah dia anggap seperti anak kecil.
"Nggak biasanya kamu keluar malam-malam begini."
"Bukan tidak biasanya, tapi selama kamu di rumah memang aku malas keluar."
"Kenapa?"
"Karena pengeluaranku nanti jadi dua kali lipat."
"Astaga, Ya Tuhan. Jangan biarkan bibir hamba yang suci ini mengeluarkan kata-kata kotor hanya karena babik satu itu."
Suara tawa Rio menggema, dia memang suka menggoda orang. Entah itu Raga atau Ify atau siapa saja yang dia kenal. Baginya, menggoda orang itu lucu dan bisa membuatnya tertawa. Walau tidak semua tawa Rio itu asli seperti yang terlihat.
"Kapan kamu pulang?"
"Sebentar lagi aku pulang."
Belum sampai Rio memutus sambungan, Raga sudah lebih dulu mematikan panggilannya. Rio cuma bisa melihat layar ponselnya sambil menghela napas.
Tanpa Rio minta, ingatan Rio lagi-lagi kembali ke kejadian tadi. Dia jelas-jelas mendengar Ify mengatakan nama Alvin.
"Apa Alvin itu pacarnya?" tanya Rio entah kepada siapa.
Hanya karena nama Alvin, Rio jadi overthinking. Tak henti-hentinya dia menanyakan siapa Alvin sebenarnya. Bahkan sampai saat Rio perjalanan pulang pun, dia masih bertanya-tanya siapa Alvin?
"Rio sadar! Ada apa denganku? Tidak biasnya aku begini." beberapa kali Rio sengaja menggeleng-gelengkan kepalanya agar tidak lagi mengingat apa yang membuatnya bingung.