10. Red Rose Bouquet

1021 Kata
Ify histeris sejadi-jadinya saat dia melihat ada satu bouquet bunga mawar merah yang ada di dalam tas sekolahnya. Ify tidak tahu siapa yang sudah berani memasukkan bunga itu ke dalam tasnya, tapi dapat dipastikan itu bukan ulah Via. Semua teman sekelas Ify melihat betapa hancurnya Ify saat dia ketakutan kepada bunga mawar, dan itu adalah hal yang paling tidak disukai oleh Ify. Dia benci terlihat lemah di depan orang lain. Via mendekap tubuh Ify seusai membuang satu bouquet bunga mawar merah yang ada di dalam tas Ify tadi. Dia mencoba menenangkan Ify sambil menepuk-nepuk punggung Ify. Via juga membantu Ify meminum obatnya dan berharap Ify akan segera tenang dan kembali sadar. Wali kelas Ify meminta Via untuk membawa Ify ke ruang kesehatan. Mereka berdua menuntun Ify sambil jalan ke ruang UKS supaya tidak mengganggu sesi kelas berikutnya. "Kira-kira siapa yang sudah memasukkan bouquet mawar itu ke tasnya Ify, Vi?" tanya wali kelas mereka berdua. Kepala Via menggeleng, "Saya juga tidak tahu, Bu," jawab Via seadanya. Ify sekarang sudah tidak menangis seperti sebelumnya, dia jauh lebih tenang akibat pengaruh obat yang tadi dia minum. Sekarang, Ify merasa dirinya mulai mengantuk dan dia putuskan untuk tidur saja mengikuti pengaruh dari obat. "Syukurlah Ify sudah tenang," ucap wali kelas mereka. "Tapi Bu, saya sedikit curiga sama Raga," kata Via tiba-tiba. "Kenapa memangnya sama Raga?" Wali kelas Ify dan Via tadi tidak mengerti kenapa yang Via curigai itu malah Raga. "Raga itu anak baru, Via. Mana mungkin dia berani melakukan itu?" kata wali kelas tadi lagi. "Justru karena dia anak baru, Bu. Kita perlu curiga ke dia. Soalnya selama ini 'kan nggak ada yang berani macem-macem ke Ify. Orang yang berani jahil ke Ify itu cuma Raga." Via menjelaskan apa yang sekiranya masuk di akal. Sementara wali kelas tadi masih memikirkan siapa yang berani kepada Ify, berbeda dengan Raga yang tampak puas karena dia bisa menjahili Ify. Kelas berakhir, Raga langsung pulang begitu saja dengan wajah gembira. Dia merasa berhasil karena tidak dicurigai oleh siapapun. Raga bergegas ke kamar mandi dan dia akan pulang lewat sana alias menghilang. Dalam satu jentikan jari, Raga sudah pindah tempat dari kamar mandi sekolah ke kamar mandi rumah milik Axel yang ditempati Rio selama belasan tahun lamanya. Raga berjalan mendekati Rio yang asik menonton televisi di ruang keluarga. "Kamu mau tahu, apa yang sudah aku lakukan ke Ify buat kamu?" tanya Raga memancing Rio. Raga menyilangkan kedua tangannya di depan d**a. Dia menggoyang-goyangkan kakinya guna mengekspresikan rasa bahagianya. "Apa yang kamu lakukan ke gadis itu?" tanya Rio. Sudah Raga duga bahwa Rio akan merespons apabila dia membawa-bawa nama Ify. Benar dugaannya, sekarang Rio menoleh ke arahnya dan melihatnya dengan tatapan penasaran. Raga cuma membalasnya dengan senyuman, membuat Rio kesal jadinya. "Tidak banyak, aku cuma membawa beberapa tangkai mawar dari rumah, terus aku berikan mawar itu kepadanya lewat tas sekolahnya, dan dia histeris parah." Raga menceritakan ulang mengenai apa yang tadi terjadi di sekolah karena dirinya. Rio tidak menyangka kalau Raga akan tega melakukan itu kepada Ify. Selama ini Rio menganggap bahwa Raga hanya menggertaknya saja, tetapi setelah mendengar ini Rio jadi tidak percaya kalau Raga hanya sekadar menggertak. "Kenapa kamu diam saja? Bukankah harusnya sekarang aku mendengar kamu mengucapkan terima kasih buat aku?" Raga menyenggol lengan Rio, dan menunggu teman dekatnya itu untuk berterima kasih kepadanya. "Ucapan terima kasih?" tanya Rio memastikan. Raga mengangguk, "Iya, ucapan terima kasih, tapi kalau kamu mau ngasih hadiah yang lain sih aku pasti akan menerimanya dengan senang hati," jawab Raga. Raut wajah Rio berubah seketika, tapi Raga tidak bisa menangkap perubahan di wajah Rio sekarang. Dia tetap asik pada opininya mengenai apa yang dia lakukan tadi. Rio membanting remote TV ke meja hingga menimbulkan suara yang amat nyaring. Tindakan Rio barusan juga membuat Raga kaget. "Kamu kenapa?" tanya Raga bingung. Rio berdiri, dia menatap marah ke arah Raga. Dia bersiap untuk membuka suara mengenai hal yang sedari tadi dia tahan. "Aku sudah bilang, kamu jangan melakukan apa-apa ke Ify! Jangan ganggu dia dan jangan lakukan apa-apa, Raga!" sentak Rio dipenuhi emosi yang meluap-luap. Raga kaget melihat Rio marah kepadanya. Namun Raga juga tidak bisa membendung rasa kesalnya kepada Rio. "Terus mau sampai kapan kamu begini?" tanya Raga tak kalah membentaknya. "Aku bilang, diam ya diam!" sentak Rio lagi. Rio menarik napasnya dalam-dalam, dia tidak ingin tersulut emosi karena masalah ini. Dia mengatur napasnya supaya emosinya reda. "Aku tidak bisa diam saja hanya dengan melihat semuanya terjadi! Kenapa kamu tidak bisa memahami aku? Aku berusaha membantu kamu, Rio!" Raga marah-marah, dia benar-benar tidak sulit mengendalikan emosinya. Rio diam, dia mencoba sekuat tenaga supaya tidak menanggapi Raga walau sebenarnya Rio juga ingin meluapkan emosinya kepada Raga yang sudah bertindak seenaknya. Panas. Kediaman Rio terasa panas karena efek dari amarah antara Raga dan sang pemilik rumah. Sebenarnya, Raga yang lebih emosi di sini. Sedangkan Rio, dia masih berusaha biasa saja supaya tidak terpancing emosi lagi. Semua karena Raga yang sulit untuk diberi tahu, akhirnya emosi yang diredam dari lama tersiar juga. Kini posisinya, Rio sedang berdiri di samping kursi tempat Raga duduk. Lelaki itu berkacak pinggang sambil mengatur napasnya yang tak beraturan. Ingin rasanya dia mencurahkan segala kemarahannya pada Raga lagi, tapi Rio berusaha sekuat tenaga menahannya. "Kamu Malaikat, jangan biarkan emosimu membakarmu," ujar Rio sebelum akhirnya dia benar-benar meninggalkan Raga di sana sendirian. Langkah kaki Rio begitu lebar, sehingga tak sampai setengah menit dia sudah berada di dalam kamarnya. Tersisa Raga sendiri di ruang tamu dengan tubuhnya yang memanas seolah sedang terbakar. Pasti dia sedang mendapat tiupan angin dari neraka sebagai hukuman dari Tuhan karena sudah marah-marah dan memancing emosi Rio. Sementara Rio, di kamarnya dia terus terngiang-ngiang atas apa yang Raga teriakkan padanya. Suara kencang dari bibir Raga tak bisa berhenti mengusik pikirannya. Bahkan Rio pun sudah beberapa kali menggelengkan kepalanya agar kata-kata Raga menghilang dalam sekejap. Tapi semua itu sia-sia. Rio tetap tidak bisa menghilangkannya, dan semakin memikirkannya. "Aku hanya ingin semua ini berlalu dengan tenang tanpa ada yang merasa dirugikan atau tersakiti lagi," gumam Rio seraya mengusap wajahnya kasar. Rio tahu, Raga melakukan itu karena temannya itu tidak ingin dia menerima hukuman dari Tuhan. Namun Rio tidak ingin Raga berbuat seperti itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN