Gelap, terang, gelap, terang. Seperti itu yang Ify rasakan saat dia terus menaik turunkan kacamata hitamnya menunggu Via memilih sepatu kets yang berjajar lebih dari sepuluh pasang. Gadis berpipi chubby itu sudah mencoba semua sepatu di depannya dan selama itu pula, Ify juga Alvin hanya diam menyaksikan Via bertindak sesukanya.
"Menurut kalian, bagusan yang mana dari kesembilan, sepuluh, eh sebelas, eh salah, kesemuanya? Cantikan yang mana di kaki gue?" tanya Via kepada dua orang yang ikut dengannya berbelanja hari ini.
Pandangan Via beralih ke Ify lalu ke Alvin yang tampak sibuk pada dunia mereka masing-masing. Via mendesak pelan karena merasa diabaikan.
"Ify! Bang Alvin!" Via memanggil ulang mereka, tapi kali ini dengan nama.
Tidak ada jawaban dari kakak-beradik yang duduk santai di sofa depannya. Alvin masih fokus ke ponselnya, sementara Ify tetap asik menaik turunkan kacamatanya.
Terlihat jelas kalau Alvin hanya mengedikkan bahunya acuh tak acuh menanggapi Via. Bahkan Alvin pun tidak menoleh sedikit pun ke arah Via, hanya melirik saja juga tidak. Sementara Ify, gadis itu seakan tidak tertarik pada apa yang Via lakukan sekarang. Ify lebih tertarik untuk membuat dunianya jadi terang dan gelap seperti tadi.
"Ih, kalian ngapain nemenin gue shopping kalau cuma jadi beban?!" sentak Via saking kesalnya karena sudah diabaikan sekian lama oleh dua mahkluk yang bahkan tidak bisa dia benci.
Bukannya jawaban yang Via dengar, malah dia melihat Ify dan Alvin sama-sama berdiri. Mereka masih tidak menoleh sedikit pun ke arah Via. Hal itu membuat Via jadi kebingungan dan semakin gondok.
"Kok kalian malah pergi sih?" sentak Via lagi disertai dengan gerakan tangannya yang menahan lengan Alvin dan Ify agar tidak lanjut berjalan pergi.
"Katanya gue sama Alvin cuma jadi beban, ya gue mau balik lah. Ya kali gue mau di sini terus," jawab Ify mewakili kakaknya. Tidak ada nada bentakan, marah, atau ancaman sedikitpun dari bibir Ify, tapi cukup sarkas dan menyayat hati sampai membuat kepala Via mengepul kepanasan.
"Ih, bukan itu yang gue maksud!" teriak Via bagai orang stress menghadapi Ify dan Alvin yang menurutnya sama-sama menyebalkan. Pada akhirnya Via tak tahan lagi sampai-sampai dia benar-benar mencak-mencak pada Alvin dan Ify bagai orang yang hilang akal.
Wajah Via dipenuhi kemarahan, kulit putihnya pun berubah memerah. Kedua tangannya terkepal guna meredam emosinya supaya tidak lebih emosi lagi dari ini. Via tidak tahu, apa yang bisa dia lakukan kepada Ify maupun Alvin kalau emosinya tak dapat dibendung.
"Oh," sahut Ify santai.
Bom di dalam diri Via rasa-rasanya hampir saja meledak cuma karena mendengar respons Ify santai seperti barusan. Tapi tak disangka, Ify maupun Alvin jadi balik kanan dan kembali duduk di sofa tempat mereka duduk semula. Via juga mengikuti dan kembali memilih-milih sepatu yang sekiranya ingin dia beli.
"Gue nanya lagi, mana yang lebih bagus di kaki gue?"
"Semuanya bagus," sahut Ify masih ogah-ogahan.
"Iya gue tahu kalau semuanya bagus, tapi gue bingung mau yang mana?"
"Ya sudah, beli saja semua," jawab Ify lagi untuk yang kedua kali.
Kedua telinga Via kembali keluar asap, darahnya mendidih seketika sampai kepalanya terasa panas. Tanggapan Ify benar-benar hal yang tidak Via harapkan.
"Ifyyy...!" tanpa menghiraukan sekitar lagi, Via seketika berteriak sekencang-kencangnya agar kedongkolan dan kekesalannya pada Ify yang meluap-luap jadi tersalurkan.
Sontak Alvin menutup telinganya sambil menatap tak santai ke arah Via. Tatapan Alvin menandakan seolah-olah dia sedang bertanya apaan sih lo kepada Via, tapi Alvin tetap diam saja. Alvin cuma bisa menyuarakannya lewat tatap mata dan ekspresi saja. Dia terlalu malas kalau harus membuka suara hanya karena masalah barusan.
"Ya gue 'kan cuma bilang apa adanya. Kalau lo suka dan semua itu cantik di kaki lo, ya beli aja semua." Ify membela dirinya karena dia merasa pendapatnya tidak pernah salah.
Via sudah terlanjur kesal hingga akhirnya dia memanggil salah satu pelayan di toko sepatu itu untuk membungkus semua sepatu yang tadi dia jejer rapi dan sudah dia coba satu persatu. Via melakukan itu bukan karena dia menuruti usul dan ide dari Ify, melainkan karena Via sudah lelah berada di toko sepatu bersama Ify dan Alvin.
"Mending sekarang kita ke tempat lain," kata Via masih mencoba meredam emosinya.
Via memberikan alamat rumahnya kepada pegawai toko sepatu tadi karena dia tidak ingin membawanya sendiri. Lagi pula kalau bisa diantar ke rumah langsung, kenapa Via harus repot-repot membawa barang belanjaannya keliling mall.
Alvin masih mengekor di belakang Ify dan Via seperti seorang bodyguard yang menjaga dua anak majikannya. Sedangkan Ify, dia melihat-lihat ke sekitar. Barangkali ada yang menarik perhatiannya nanti Ify akan mampir ke sana.
"Lo mau apa?" tanya Via kepada Ify.
"Bau-baunya kayak ada yang mau nraktir nih," ucap Ify sambil menoleh ke belakang. Alvin mengangguk mengiyakan apa saja yang akan dipilih oleh Ify.
"Gue mau es krim yang waktu itu, Vi," jawab Ify cepat.
Via baru saja teringat akan beberapa minggu lalu saat Ify meninggalkannya sendiri di toko buku. Dia menunjuk wajah Ify pakai jari telunjuknya, kedua mata Via melotot melihat Ify.
"Kenapa?" tanya Ify heran.
"Oh iya, lo belum cerita ke gue tentang siapa co-," perkataan Via terhenti karena Ify sudah lebih dulu membekap bibirnya sambil memelototinya.
Via berusaha lepas dari Ify, tapi gagal. Bibirnya terus dibekap seolah-olah Ify tidak ingin membahas lelaki yang belum Via tahu di depan Alvin. Berulang kali Via mencoba bicara tapi tetap saja tenaga Ify jauh lebih besar ketimbang Via. Padahal kalau dilihat dari badan, Ify lebih kecil dari Via.
"Awas lo berani bilang di depan Alvin. Kalau sampai lo bahas kemarin gue ngejar cowok di depan Alvin, balik dari sini bakal gue rontokin gigi lo biar kayak nenek-nenek," bisik Ify mengancam Via tepat di samping telinganya.
Via mendelik mendengar suara Ify yang menurutnya sangat mengerikan. Sambil berjalan, Via sambil mengangguk menuruti perintah dari Ify.
Kini, mereka bersikap biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa. Ify juga berusaha supaya dia terlihat natural untuk merangkul bahu Via.
Tibalah mereka di kedai es krim yang dimaksud Via dan Ify. Tempat Ify ingin makan es krim. Seperti biasa, Alvin akan menjadi penjaga mereka.
Sebenarnya tidak ada konsep aneh atau yang lain-lainnya, Alvin hanya ingin ikut saja hari ini. Usai mendengar waktu itu Ify dihadang oleh preman, Alvin jadi sedikit over protektif menjaga Ify. Dia memastikan agar adiknya tidak bertemu dengan preman itu lagi. Bahkan Alvin juga akan datang ke sekolah sebelum bel pulang berbunyi agar Ify tidak menunggunya terlalu lama.