55. Dirty Mind

2088 Kata
Via yang sudah setengah lelah karena dikejar oleh Ify, akhirnya dia mengalah dan membiarkan Ify mendapatkan kotak pensil yang sebenarnya berisi alat pemotong. Via mengangkat kedua tangannya ke atas sembari berkata bahwa dia lelah. Ify kembali duduk di tempatnya semula setelah tadi dia sempat berdiri demi menghindari Via. Mereka duduk berdua di sana seraya menikmati semilir angin sepoi-sepoi yang menyejukkan. Saking kencangnya angin siang ini, sampai membuat rambut panjang Ify yang lurus bak perosotan itu jadi bergoyang mengikuti ke mana arah angin membawanya. Gadis itu melupakan pertanyaan Via sejenak, dan lebih memilih menikmati suasana yang tidak mesti dia dapatkan. Tanpa sepengetahuan Ify, Via diam-diam mengarahkan kamera ponselnya ke wajah Ify. Gadis berdagu tirus itu benar-benar seperti bule asli. Didukung dengan rambutnya yang berwarna seperti kulit jahe. Coba saja Ify menggunakan bahasa Inggris setiap harinya, fiks dia akan dikira bukan orang Indonesia. Sedangkan Ify memakai bahasa Indonesia saja, kadang dia masih dikira bule oleh orang-orang. Satu cekrekan berhasil Via dapatkan. Dia bersorak dalam hati, karena berhasil mengambil fotonya Ify. Via cepat-cepat menyembunyikan ponselnya ke dalam saku rok supaya Ify tidak bisa mengambilnya dengan mudah. "Kirim ke gue!" Via terkaget-kaget usai mendengar apa yang Ify katakan. Dia mendelik saat Ify membuka kelopak matanya yang tadi terpejam. Sebuah cengiran kuda Via berikan pada Ify demi menyelamatkan dirinya sendiri. "Apanya yang dikirim, Fy?" Via sengaja berlagak bodoh di depan Ify. "Fotonya! Gue tahu, lo barusan motret gue." Ify mendekatkan wajahnya ke arah Via, dia usap pipi chubby sahabatnya sampai Via memundurkan tubuhnya sedikit demi sedikit karena takut Ify akan melakukan hal yang aneh-aneh padanya secara tiba-tiba. "Hehehe... Oke, gue kirim. Tapi lo jawab dulu pertanyaan gue." Via masih sempat-sempatnya bernegosiasi di saat situasi tidak menguntungkannya. Segala amarah yang Ify miliki, semuanya berkumpul di ubun-ubun. Dia menyesali keputusannya sabtu malam kemarin karena sudah menarik jaket Rio dan menyembunyikan tubuh mungilnya di balik badan kekar lelaki itu. Kalau tahu Rio akan banyak bicara begini, Ify akan memikirkan cara lain. "Lo mending cerita atau tetep ngebiarin gue salah paham?" tuntut Via lagi sembari menaik turunkan alisnya. Ify kembali ke posisi semula. Menyandarkan tubuhnya ke pohon kersen sambil menyilangkan kedua tangannya di depan d**a. Dia menghela napas panjang sebelum memutuskan buat mengambil jalan mana yang akan dia pilih. "Tapi lo janji, nggak akan bocor ke Alvin?" tanya Ify untuk memastikan terlebih dulu kalau Via bisa menjaga rahasianya. Dua anggukan Via berikan sebagai jawaban. Via bahkan menaikkan dua jarinya menjadi simbol huruf V sebagai janjinya pada Ify. Bola mata Ify melirik-lirik ke arah Via, mencoba mencari keseriusan di wajah sahabatnya dan Ify mendapatkan apa yang dia cari. "Sebenarnya...." Satu persatu Ify ceritakan semuanya kepada Via tanpa ada yang tertinggal. Semuanya, termasuk tentang Ify yang ketiduran di rumah Rio dan Ify yang sempat makan malam di sana. Via hampir tidak percaya mendengar Ify bisa tertidur di rumah laki-laki asing yang baru dia temui sebanyak tiga kali. Itu buka tipikal Ify sekali. Tapi kenapa dengan Rio, Ify jadi seperti orang yang berbeda dari biasa yang Via lihat selama ini? Itulah yang membuat Via heran. "Kenapa lo nggak ngumpet di balik mobilnya aja, kalau lo nggak mau Kak Rio salah paham?" Via mencoba mencari pertanyaan yang mungkin saja tidak Ify pikirkan. "Nggak ada waktu, jarak gue sama mobilnya lumayan jauh. Yang malah nanti, gue keburu ketahuan sama Alvin sebelum gue berhasil sembunyi." Tangan kanan Via terangkat, dia menepuk-nepuk bahu Ify, mencoba menenangkan Ify yang pastinya sekarang jadi menahan malu kalau ketemu Raga karena kesalahpahaman Rio. Via melirik jam tangannya, sudah lama juga mereka di sana. Pasti bel jam istirahat kedua sudah sudah berbunyi. Tak terasa, berjam-jam ada di sini, hanya buat mendengarkan cerita Ify sambil bersantai ria. "Balik kelas yuk, udah jam istirahat kedua nih." ajak Via. Pandangan Ify kini tak tentu arah. Dia hanya bisa memikirkan caranya memarahi Rio. Saat Via mengajaknya ke kelas, Ify langsung ikut berdiri dan berjalan beriringan menuju kelas mereka. Dari kejauhan, Raga bermain kode pakai mata dengan Via seolah dia meminta penjelasan mengenai Ify dan Rio. Tetapi Via hanya meminta Raga diam untuk beberapa hari ke depan. Via segera mengirimkan pesan kepada Raga kalau dirinya akan menceritakan semuanya nanti saat tidak ada Ify. "Gue balik duluan." Ify tiba-tiba pamit begitu saja pada Via tanpa penjelasan yang pasti sebenarnya dia akan ke mana. Untuk ke sekian kalinya, Ify tidak mendengarkan suara panggilan dari Via, Raga apalagi dari Ray. Gadis itu langsung melenggang meninggalkan area sekolah. Di wajahnya sudah memancarkan aura kemarahan yang begitu kuat, seakan-akan dia siap menerjang air satu lautan. "Gawat nih, pasti Ify mau nemuin Rio." Via jadi panik sendiri karena ulah Ify. Raga juga ikutan panik, dia langsung mengambil ponselnya dan berusaha menghubungi Rio agar temannya itu bisa waspada kalau-kalau Ify benar mencari Rio ke rumah. Dari auranya saja, sudah terlihat menyeramkan. Apalagi kalau berhadapan langsung dengan Ify, bisa-bisa Rio akan babak belur dibuatnya. "Gimana? Diangkat nggak sama Rio?" Kepala Raga menggeleng, dia menatap kasihan pada Via memikirkan bagaimana nasib sahabat baiknya di rumah. "Kita susul Ify sekarang juga." Tanpa pikir panjang, Via langsung mengambil tasnya dan menarik tangan Raga ke luar sekolah. Mereka tidak lagi memedulikan pelajaran selanjutnya. Padahal Raga sudah sempat meminta Via agar menunggu sampai pelajaran usai. Tapi Via bilang kalau ini darurat dan tidak bisa ditunda lagi. *** Tibalah Ify di depan gerbang rumah Rio. Kebetulan saat Ify turun dari taksi, di depan gerbang ada Rio yang baru pulang dari perkebunan. Lelaki itu masih memakai pakaian khas berkebunnya seperti hari itu. "Kamu merindukanku?" Rio berusaha menggoda Ify dibarengi senyuman tampan yang dia miliki. Sudut bibir kanan Ify terangkat ke atas, dia tersenyum sinis ke arah Rio. Hal ini membuat Rio jadi mengerutkan keningnya ke arah Ify, karena tak paham pada ekspresi yang Ify berikan. Ify membuka kotak pensil yang tadi dia rebut dari Via. Dia mengambil pisau lipatnya dan menodongkan ke arah Rio. Tindakan Ify kali ini semakin membuat Rio bertanya-tanya dalam hati, sebenarnya ada apa dengan Ify sampai gadis itu menodongkan pisau ke lehernya? "Fy, ini bahaya. Kita bisa bicara baik-baik, nggak perlu pakai kekerasan kayak gini." Rio yang ketakutan jadi berusaha menghindari pisau itu. "Lo bilang ke Raga kalau malam itu, gue sengaja meluk lo?" tanya Ify seketika membuat Rio menganggukkan kepalanya tapi dia langsung berganti jadi menggelengkan kepala saat sadar bahwa Ify marah karena hal itu. "Mulut lo nggak bisa dijaga banget ya! Minta dipotong tuh lidah?" Sebisa mungkin Rio menghindari Ify, dia juga berusaha mencari waktu yang tepat buat mengambil alih pisau lipat di tangan Ify. Tapi Ify terus saja memojokkannya. "Fy, jangan kayak gini. Gue bisa terluka." pinta Rio sedikit tergagap. Rio langsung berlari begitu saja, dia menjauhi Ify tapi jelas Ify akan mengejarnya. Tanpa melihat sekitar, tiba-tiba Ify tergelincir oleh potongan ranting pohon yang ada di sisi jalan sehingga membuat tubuhnya limbung. Rio balik arah, dia akan berusaha menolong Ify karena tak ingin gadis itu terluka akibat mengejarnya. Dalam satu tangkapan, Rio berhasil menolong Ify dan membuat gadis itu tidak jadi terjatuh. Namun sayangnya, Ify malah tak sengaja menggoreskan pisau lipatnya ke lengan Rio hingga darah merah keluar dari luka sayatan itu. Melihat ini, Ify syok. Padahal tadi niatnya, dia hanya ingin menakut-nakutiku Rio saja tanpa berniat menyakiti Rio secara nyata. "Da-darah...." kata Ify sambil menunjuk lengan Rio yang terluka. Suara denting pisau yang mengenai aspal terdengar jelas. Tanpa sadar, Ify merasa tubuhnya lemas seketika dan pisau di tangannya jadi terjatuh begitu saja. Dia benar-benar melukai Rio sekarang. Rio ikut melihat lengannya yang terluka, dia berubah jadi gugup seketika. Secepat mungkin Rio langsung berusaha mengalihkan pandangan Ify, tapi tidak berjalan sesuai rencana. Ify sudah terlanjur melihatnya. "Lu-luka lo...." kata Ify tergagap-gagap sambil menunjuk ke arah lengan Rio. Saat itu juga, tubuh Ify ambruk dalam pelukan Rio. Dengan sengaja, Rio menjentikkan jarinya untuk membuat Ify pingsan. Rio tidak akan membiarkan Ify melihat semuanya. Mumpung Ify baru melihat sedikit, jadi Rio bergegas membuat Ify tak sadarkan diri. Sebelum membawa Ify masuk ke rumah, Rio terlebih dulu mengambil pisau lipat Ify yang tadi terjatuh ke aspal. Kini, Rio langsung menggendong Ify dan berjalan cepat bagai angin agar cepat sampai rumah. Tak harus berlama-lama, satu detik sudah cukup untuk Rio membawa Ify dari depan gerbang hingga ke kamarnya. Kali ini, Rio tidak membiarkan Ify berbaring di atas sofa lagi, melainkan dia baringkan di atas ranjangnya. Rio memandang Ify lama, dia sedang berseteru dengan hatinya sendiri. Bahkan Rio sampai mondar-mandir bagai setrikaan panas. Pandangan Rio kini beralih ke lengannya yang tadi terluka. Tidak ada bekas sayatan di sana, bahkan bercak darah pun tidak ada walau hanya setetes. Lukanya tadi sudah tertutup dengan sempurna dalam waktu sekejap. Pandangan Rio beralih ke Ify lagi dan Rio membulatkan tekadnya untuk melakukannya pada Ify. Perlahan-lahan Rio duduk di samping ranjang, tangan kanannya bergerak sedikit demi sedikit ke arah wajah Ify. Rio bahkan sampai menahan napas hanya karena dia ingin menyentuh ubun-ubun Ify. "Maafkan aku, Fy. Aku harus melakukan ini ke kamu karena aku tidak mau kamu tahu siapa aku sebenarnya." gumamnya pelan sebelum Rio berhasil menempelkan telapak tangannya ke puncak kepala Ify. Rio memejamkan matanya sejenak, dan dia dengan sengaja menghapus ingatan Ify tentang perbuatan gadis itu yang tadi sempat menyerangnya. Yang terpenting, Rio ingin menghapus ingatan Ify di bagian gadis itu yang melihat lukanya tertutup sendiri. "Untuk sementara, kamu tidak akan ingat tentang apa yang terjadi di depan gerbang tadi." kata Rio setelah berhasil menghapus sebagian ingatan Ify. Sekarang, Rio langsung mengambil pisau lipat Ify dan membersihkannya karena terkena sedikit darahnya. Akan jadi percuma usahanya kalau Rio tidak membersihkannya, nanti yang ada Ify akan bertanya-tanya. Selesai membersihkan darah di pisau lipat milik Ify dan memastikan tidak ada yang terlewat, Rio langsung memasukkan kembali semua alat pemotong tadi ke dalam tas Ify. Setelah memastikan Ify tidak kenapa-napa, Rio langsung keluar dari kamar. Sebelumnya, dia sudah membawa pakaian ganti dan Rio akan mandi di kamar mandi luar sambil menunggu Ify bangun. Saat sadar nanti, Ify hanya akan ingat kalau tadi dia pergi ke rumah Rio, dan bisa Rio pastikan kalau Ify akan kebingungan karena terbangun di atas ranjang. Terlebih lagi, itu di dalam kamar Rio. "Dia kenapa?" tanya Axel tiba-tiba saat Rio baru akan masuk ke kamar mandi. "Tidak kenapa-napa, hanya terjadi insiden kecil saja di depan." jawab Rio yang tentunya akan menutupi apa yang sebenarnya terjadi. Axel mengangguk-anggukkan kepalanya, dia percaya pada apa yang Rio katakan. Baginya, Rio tidak pernah berbohong sama sekali dan tidak ada yang perlu dicurigai dari Rio dan Ify. "Oke, kalau begitu aku kembali ke kebun." pamit Axel yang mendapatkan anggukan dari Rio. Tanpa menunda lagi, Rio langsung masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri. Dia masih kepikiran tentang alasan Ify ke sini tadi yang hanya untuk menanyakan tentang apa yang dia katakan pada Raga. "Harusnya aku tidak usah bilang apa-apa ke Raga." desahnya pelan seraya menyampo rambut pendeknya. Tak perlu berlama-lama, Rio sudah selesai mandi dalam waktu lima belas menit. Ketika dia baru keluar kamar mandi dan sedang mengeringkan rambut basahnya, dia dikagetkan oleh suara pintu yang dibuka tiba-tiba. Kening Rio mengerut ketika melihat yang datang barusan itu adalah Raga dan Via. "Kalian kok sudah pulang?" tanya Rio berbasa-basi. Via celingak-celinguk ke sana kemari mencari keberadaan Ify tapi tidak dia temukan. Rio yang melihatnya ikut bingung akan tingkah Via. "Dia kenapa?" tanya Rio pada Raga. "Ify ada ke sini nggak?" Raga malah ganti bertanya, tanpa mengindahkan pertanyaan Rio mengenai Via yang seperti orang kebingungan. "Ada." angguk Rio santai. "Terus, di mana dia sekarang?" kali ini Via yang bertanya karena tak kunjung menemukan batang hidung sahabatnya. "Ada di kamar." jawab Rio lagi sambil menunjuk ke arah pintu kamarnya. Via seketika membekap mulutnya sendiri, matanya melebar sempurna mendengar jawaban Rio. Tak beda jauh dengan Raga yang juga terkaget-kaget akan jawaban Rio. Mereka berdua bagai tersambar petir di siang bolong, padahal jelas-jelas Raga tidak sedang menjentikkan jarinya untuk membuat petir. "Di kamar lo?" Via kembali memastikan karena dia takut salah tanggap. "Iya." kepala Rio mengangguk-angguk beberapa kali untuk meyakinkan mereka berdua bahwa Ify memang ada di dalam kamar. Jantung Via serasa hampir copot. Apalagi sekarang Via melihat Rio baru selesai mandi dan sedang berusaha mengeringkan rambut basahnya. Pikiran Via jadi tidak normal, ingin rasanya berpikir positif tapi sudah terlanjur traveling ke mana-mana. Please, gue harap cuma otak gue doang yang kotor. Batin Via sambil berdoa dalam hati. Rio sama Ify nggak habis ngapa-ngapain, 'kan? Pikiran gue kenapa kotor banget sih? Tanya Via lagi yang semakin lama makin kesal karena terus berpikir yang tidak-tidak tentang apa yang habis dilakukan Rio dan Ify di dalam kamar. "Kalian kenapa?" tanya Rio merasa heran dan aneh akan ekspresi Raga dan Via, terutama pada ekspresi Via yang sangat mirip orang linglung tak tentu arah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN