Dengan wajah cemas, Via mengantar Ify pulang ke rumah. Untungnya, hari belum gelap. Ify bangun dari tidurnya saat jam masih menunjukkan pukul empat sore. Tepat di waktu itu juga, Via dan Raga baru saja menutup buku mereka usai mengerjakan tugas kelompok yang wajib dikumpulkan besok. Meskipun kalau telat juga mereka tidak akan mendapat nilai minus karena pengaruh nama Ify, tetapi Via dan Raga tidak mau memanfaatkan nama gadis itu demi nilai mereka sendiri. Betapa beruntungnya Ify, yang memiliki teman seperti mereka.
Via sangat mengkhawatirkan kondisi Ify sekarang. Tadi, Via sudah membujuk Ify untuk mau pergi ke rumah sakit bersamanya, dan sayangnya Ify menolak. Berkali-kali Via membujuk, berkali-kali juga Ify berkata tidak. Kalau melihat Ify sangat keras kepala begini, Via jadi yakin kalau Ify memang masih bisa mengontrol dirinya sendiri. Tapi tetap saja, namanya teman pasti akan tetap merasa khawatir melihat sahabat baiknya tadi terkapar tidak berdaya hingga dilarikan ke ruang UKS.
Saat ini, Via sengaja berjalan di belakang Ify untuk berjaga-jaga apabila gadis itu tiba-tiba pingsan. Via tidak bisa berhenti gelisah, meski ini bukan yang pertama Via melihat Ify sakit seperti ini.
"Via!" panggil Ify.
"Ya?" tanya Via penasaran.
Via yang sedari tadi sangat memerhatikan Ify, dia sedikit kaget ketika melihat gadis itu membalikkan badannya seraya memanggil namanya. Dengan wajah polosnya, Via menunggu apa yang akan Ify katakan setelah memanggilnya. Tidak mungkin Ify memanggilnya hanya untuk mengeceknya apakah Via ada di belakangnya atau tidak?
"Kita ke rumah lo aja. Gue males di rumah nggak ada siapa-siapa." katanya sambil berjalan ke arah gerbang lagi.
Mata Via terbelalak, tapi dia segera mengikuti ke mana Ify melangkah. Satpam yang berjaga langsung membukakan gerbang lagi untuk sang majikan muda. Bahkan sekarang, Ify memanggil layanan taksi untuk menjemput mereka.
"Tapi kenapa lo tiba-tiba pengen ke rumah gue? Bukannya lo mending istirahat di kamar?" tanya Via heran.
Ify menolehkan wajahnya ke arah Via yang sudah berdiri di sampingnya. Wajah bulat Via kini dipenuhi oleh rasa penasaran.
"Gue pengen makan masakan Tante Rima. Gue juga bisa istirahat di kamar lo." sahut Ify santai, padahal dia sekarang sedang menahan rasa sakit di kepalanya.
Dalam hati, Ify tertawa sumbang. Dia masih teringat bagaimana hangatnya suasana rumah yang terjadi semalam, tapi sekarang sudah kembali seperti semula lagi. Mr. Stuart sudah kembali ke Colmar memakai penerbangan pribadinya pada pukul lima pagi tadi. Sementara Nia pun pulang ke Kuala Lumpur karena memang rumahnya sekarang di sana. Sedangkan Alvin, dia bilang kalau hari ini ada pekerjaan di luar kota. Jadi, Ify pikir kalau dia tidak bisa mengatasi rasa sedihnya kalau dia bener-benar sendiri di rumah.
Via menangkap ada raut kesedihan di wajah Ify. Meski Ify tidak mengatakannya, tapi Via bisa melihatnya dari sorot mata Ify yang berbeda dari biasanya.
"Oke, ayo kita ke rumah gue." Via langsung merangkul bahu Ify seraya tersenyum semringah agar Ify tidak merasa sendirian.
Hanya Via yang tersenyum, dan Ify sama sekali tidak tersenyum. Walau hanya menaikkan sudut bibirnya setengah senti pun tidak Ify lakukan. Via kembali dikagetkan oleh tindakan Ify yang tiba-tiba mengambil tas milik gadis judes itu yang sedari tadi ada di lengan Via.
"Lo nggak perlu kayak gini. Lo sahabat gue, bukan babu gue yang harus bawain tas gue segala." kata Ify tanpa menatap wajah Via.
"Tapi 'kan tadi lo lagi sakit, jadi nggak apa-apa. Lagian gue nggak ngerasa sebagai babu lo. Kita sahabat, jadi harus saling bantu membantu kalau lagi ada yang susah." panjang kali lebar Via mengatakan itu semua hanya untuk membela dirinya sendiri.
Lagi-lagi, Ify menatap ke arah Via yang kini sedang berdiri menunggu jawaban darinya. Dari tatapan itu, dapat Ify lihat kalau itu sorot mata yang berbeda. Ify melihat ketulusan di bola mata Via. Dan jauh di dalam lubuk hati Ify, dia bahagia bisa memiliki teman seperti Via.
Keduanya saling mengekspresikan wajah masing-masing, yang satu dengan muka flat bagaikan orang tidak memiliki hati dan perasaan. Sementara yang satu, terus tertawa riang seolah masalah di hidupnya itu telah dihibahkan begitu saja.
Taksi pesanan mereka sampai juga akhirnya, jadi mereka tidak perlu menunggu terlalu lama lagi. Via yang ingin membantu Ify masuk, mengurungkan niatnya ketika Ify mengatakan bahwa dia bisa sendiri. Via juga ikut masuk, dan dia langsung mengucapkan alamat rumahnya kepada sopir taksi.
"Tadi gue denger katanya yang bawa gue ke UKS itu Raga, Vi?" tanya Ify penasaran.
Via menolehkan wajahnya ke arah Ify, tak lama gadis berpipi chubby itu menganggukkan kepalanya.
"Iya, tadi Raga yang gendong lo ke ruang UKS," jawab Via apa adanya.
Ify jadi teringat pada mimpi yang dia alami sewaktu masih koma dulu. Lebih tepatnya saat Raga juga menggendongnya sampai ke ruang UKS. Ify tidak tahu, kalau di kehidupan nyata pun yang menolongnya juga Raga.
"Emangnya kenapa, Fy? Lo marah sama Raga?" tanya Via sedikit was-was kalau Ify marah kepada satu temannya itu.
Ify menggelengkan kepalanya, "Yang penting bukan Rey yang nolongin gue ke ruang UKS," jawab Ify.
Via mengangguk-angguk seraya bergumam pelan. Dia baru teringat, kalau Ify masih saja tidak suka kepada Rey.
"Tadi sih sebenernya Rey juga mau nolongin lo, tapi udah keduluan sama Raga." Via sengaja memberi tahu Ify perkara ini, karena menurutnya Ify juga harus tahu.
Dalam hati, Ify tertawa jahat mendengar kalau Rey kalah cepat dari Raga. Entah kenapa, Ify selalu senang melihat Rey menderita. Namun memang hati tidak bisa dipaksa, Ify tetap tidak suka kepada Rey walaupun laki-laki itu baik kepadanya.
Via mencoba menyelami isi pikiran Ify sekarang, namun tetap saja Via tidak bisa menembusnya. Bagi Via, pertahanan Ify selama ini sangatlah kuat dan ketat. Seakan-akan Via yang notabenenya adalah teman baiknya Ify juga masih diberi batasan di saat-saat tertentu ketika Ify tidak ingin apa yang dia rasakan dibaca oleh Via. Walau nanti juga Ify akan jujur sendiri kepada Via, tetapi bagia Via untuk mencoba membaca Ify itu tidak mudah.
Taksi yang mereka tumpangi sudah tiba di depan gerbang rumah Via. Mereka segera turun dan Ify yang pertama masuk ke dalam rumah. Gadis itu sudah merasa sangat rindu main ke rumah Via. Terutama Ify merindukan masakan Rima, yang menurutnya juga tak kalah enak dari masakannya Kalina dan Nia.
"Tante, aku datang," ucap Ify membuat Rima sedikit kaget melihatnya.
Rima menyambut Ify dengan senyuman cerah bagai matahari yang baru terbit dari ufuk timur. Sebuah pelukan juga Rima berikan kepada Ify sebagai tanda senangnya bisa bertemu lagi dengan Ify.