35. Nenek!

1019 Kata
Tak jauh dari tempat Rio tinggal, ada sebuah sungai yang dilengkapi dengan bebatuan besar. Air di sana pun sangat jernih, hingga apa yang ada di dasar air itu dapat terlihat meski tanpa menyelam. Sungai itu sejajar dengan bagian belakang rumah Rio. Kalau Rio ingin ke sana, dia hanya tinggal berjalan kaki menyusuri jalanan setapak yang dia buat dari paving block. Karena dekat, jadi tentu saja Rio pernah ke sana. Hari ini pun, Rio datang ke sungai itu untuk menaburkan kelopak mawar yang dia petik dari perkebunannya sendiri. Rio selalu datang ke sungai setiap kali dia mengingat hari kematian Kalina, yang Rio lakukan sekarang adalah menebar bunga mawar sambil berdoa kepada Tuhan agar Kalina ditempatkan di tempat yang indah di sisi-Nya. Dari yang Rio dengar, karena Kalina meninggal akibat tidak sengaja melihat malaikat, Tuhan jadi memberinya tempat nyaman. Tetapi itulah rumor yang Rio dengar, sementara Rio sendiri pun belum pernah melihatnya sendiri secara langsung. Semoga saja, rumor itu memang benar adanya. Bukan hanya sekadar penenang belaka untuknya. Tiga belas tahun telah berlalu, tepat di hari ini. Sayangnya, rasa penyesalan di hati Rio tidak pernah hilang barang secuil pun. Malaikat yang dihukum itu selalu mengingat hari di mana Kalina terkena serangan jantung saat terkaget ketika melihatnya yang tak sengaja terlihat di saat Rio akan keluar dari kelopak bunga mawar. Nahasnya, Kalina tidak selamat di perjalanan menuju rumah sakit. "Tuhan, aku yang tidak berani menyebut diriku malaikat. Bahkan aku tidak mampu menganggap diriku sebagai manusia. Aku, Mario, akan kembali meminta agar Engkau memberikan tempat ternyaman untuk mendiang Kalina." kata Rio pelan seraya menaburkan kelopak bunga yang ada di keranjang. Rio kembali melanjutkan bait-bait doanya. Entah Tuhan akan mendengar dan mengabulkan atau tidak, tapi yang penting Rio sudah berdoa dan memohon semampunya. Namun Rio yakin kalau Tuhan pasti mendengarnya, Dia tidak pernah tidak mendengar setiap rintihan yang disanjungkan untuk-Nya. Tanpa terasa, air mata menetes dari kelopak mata Rio. Lelaki itu teringat akan semua dosa yang sudah dia perbuat selama hidup di bumi bagai manusia. Tak dapat dihindari dan dipungkiri, kalau ternyata hidup tidak sebagai malaikat itu banyak sekali godaan untuk berbuat dosa. Dan dosa yang sering Rio lakukan ialah dosa berbohong. "Tuhan, maafkan aku karena aku sering melakukan kebohongan." ujarnya seraya menekan-nekan dadanya yang terasa sedikit sesak. "Aku berbohong dengan mengatakan bahwa aku baik-baik saja di saat aku tidak baik-baik saja. Aku berbohong karena tersenyum pada semua orang, padahal aku sedang terluka. Aku bohong kalau aku bilang sangat bahagia hidup di bumi, sementara kenyataannya aku merindukan kehidupan di surga." Rio tak dapat menahan tangisnya, dia sampai menangis tersedu-sedu ketika mengingat ada lebih banyak kebohongan yang dia miliki dan tak sanggup untuk dia ucapkan semuanya. Rasa sakit di dalam hati Rio semakin tak terbendung, tetapi dia mencoba menahannya karena mungkin itulah caranya dia menebus dosanya yang terus bertambah setiap hari. Kakinya pun mulai goyah dan Rio terjatuh di atas batu tempatnya berdiri. Dia merasa kakinya terlalu lemas untuk menopang tubuh kekarnya. Tanpa Rio tahu, dari kejauhan ada Raga yang melihatnya menangis-nangis di samping sungai. Sayangnya, Raga tidak mendengar apa yang Rio ucapkan. Lagi pula, Raga tidak ingin menganggu dan tak mau tahu. Kalaupun dia nanti akhirnya tahu, Raga mau dia mendengar dari mulut Rio sendiri yang memang ingin didengar olehnya. "Jangan ganggu dia. Lebih baik kita makan mie instan saja!" Tiba-tiba, sebuah suara mengagetkan Raga. Axel datang tanpa aba-aba dan langsung menepuk bahu Raga. Untung saja, Raga tidak berteriak ketakutan. Jadilah, acara pura-pura tidak tahunya tentang apa yang dia lihat tentang Rio tadi berjalan lancar tanpa terkendali. "Bukankah hari ini?" Axel bertanya pada Raga yang duduk di salah satu kursi dekat meja pantry dapur. "Eum, hari ini. Dan aku tadi sempat lupa kalau sekarang itu tanggal meninggalnya wanita itu." curhat Raga pada Axel tentang kejadian di sekolah tadi yang di mana Ify sangat marah padanya. *** "Nenek!" Ify memekik bahagia sesaat setelah pulang dari makam ternyata di rumah dia melihat ada orang tua Kalina yang sedang berkelut di dapur. "Hallo! Bagaimana kabarnya cucu dari Nenek yang paling cantik ini?" seorang wanita paruh baya yang sedang memasak di dapur itu menyambut kepulangan cucunya. Dia bahkan mencium pipi Ify sekilas sebelum akhirnya lanjut memegang pisau. "Aku baik, Nek. Tapi aku kangen sama Nenek. Kangen banget malahan, udah lama nggak main sama Nenek." Ify bergelayut manja di lengan neneknya, dan itu malah mengganggu sang nenek karena pekerjaannya di dapur jadi terhambat. Tetapi, Ify tidak mau berpikir pusing tentang hal itu dan yang dia tahu hanyalah ingin bermanja-manja dengan neneknya. Mr. Stuart dan Alvin ikut menyalami Nia-ibu dari mendiang Kalina. Dalam kata lainnya, Nia adalah ibu mertuanya Mr. Stuart. Wanita paruh baya itu, sudah lama tinggal di Kuala Lumpur. Tapi sesekali dia pulang ke Surabaya untuk mengunjungi Ify dan Alvin serta cucu-cucunya yang lain. Begitu pula hari ini, Nia ingin ziarah ke makam putrinya sekaligus bertemu cucu-cucunya. "Alvin nggak kangen sama Nenek?" goda Nia pada cucu tertuanya yang teramat sangat pendiam. Sebuah kecupan manis Alvin hadiahkan di kedua pipi Nia, secara bergantian. Lelaki itu pun bisa tersenyum tampan apabila di hadapan orang lain apabila suasana hatinya sedang baik. Alvin memang tidak menjawab bahwa dia juga memiliki rasa kangen kepada Nia, tetapi lewat ciumannya tadi maka Nia sudah tahu apa yang Alvin rasakan padanya. "Padahal ngomong kangen doang juga nggak bayar." cibir Ify saat melihat Alvin masih belum mengeluarkan suara walau dari awal mereka tiba. Mr. Stuart dan Nia pun hanya tertawa melihat kelakuan Alvin dan Ify yang sepertinya mereka memiliki cara masing-masing dalam memberikan kasih sayang sebagai kakak dan adik. "Mama kok di sini? Kenapa tadi nggak bilang kalau mau ke sini? Jadi tadi aku bisa minta orang-orang buat jemput Mama di bandara." Mr. Stuart merasa tak enak pada mama mertuanya yang datang dari Kuala Lumpur tapi tidak dijemput. Nia tersenyum kepada Mr. Stuart, dia menepuk bahu menantunya beberapa kali. Bagi Nia, melihat Mr. Stuart masih sehat saja sudah membuatnya senang. "Tidak apa-apa, lagi pula aku bisa ke sini sendiri," jawabnya. Ify mengambil pisau dari tangan Nia, dia langsung mengajak Nia duduk di kursi yang mengitari meja makan. Ify ingin bercerita kepada neneknya, jadi Ify tidak akan membiarkan Nia memasak. Terlebih sampai Ify merasa puas bercerita kepada Nia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN