36. Lo Belum Mati 'Kan?

1762 Kata
Ify berubah seratus delapan puluh derajat setiap kali datang di tanggal kematian Kalina. Lebih tepatnya, ketika Ify sedang berada di dalam lingkup keluarganya saja. Semacam di mobil hanya dengan keluarga, di rumah atau di tempat liburan yang private. Seperti halnya yang terjadi hari ini. Gadis itu menyambut Nia dengan senyuman, tawa dan keceriaan. Bahkan, Ify tidak pernah lepas dari bayang-bayang Nia. Hanya saat di kamar mandi saja, Ify sendirian. Selebihnya, Ify akan melekat di samping neneknya. Acara hari ini, diadakan di rumah saja. Mereka tidak berlibur ke villa atau makan di luar. Nia sudah menyiapkan semua makanan kesukaan cucu dan menantunya. Jadi, Mr. Stuart tidak akan tega mengajak anak-anaknya makan di luar. "Harusnya kamu main ke tempat Nenek, sekali-kali minta Alvin buat nemenin ke sana." pinta Nia pada Ify, yang merasa sedih karena Ify sudah jarang mengunjunginya di Kuala Lumpur. "Eum, nanti kapan-kapan aku bakal ajak Alvin ke rumah Nenek di sana. Aku juga pengen jalan-jalan ke banyak tempat, belanja ini itu, kulineran dan ke tempat bermain sama Nenek." sahut Ify seraya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dalam diam, Alvin tidak berhenti memerhatikan Ify. Sambil makan, Alvin sambil melihat adiknya tertawa pelan. Ingin sekali rasanya Alvin terus melihat senyuman Ify yang seperti sekarang, tapi sayangnya Ify tidak akan bertahan dengan sifat sebaik itu lebih dari satu hari. "Pekerjaanmu di sana gimana, Stuart?" Nia ganti bertanya pada Mr. Stuart yang sedari tadi hanya diam mendengarkan perbincangan antara nenek dan cucu itu. Mr. Stuart menarik kedua sudut bibirnya ke atas sebelum dia mengelap bibirnya dengan lap bersih yang disediakan di atas meja makan. Sampai sekarang pun, Mr. Stuart masih menganggap Nia adalah mama mertuanya. "Seperti biasa, Ma. Aku masih sibuk dengan ini dan itu. Tapi sekarang, aku lagi fokus untuk pembangunan hunian mewah di Marseille, Annecy sama di Eguisheim." Nia mengangguk-angguk paham, dia balas tersenyum pada Mr. Stuart yang sudah semakin menua. "Mama selalu dukung apa pun pilihan kamu. Tapi satu, jangan lupa jaga kesehatan. Mama ingin, kamu selalu sehat." "Mama nggak perlu khawatir. Rian selalu mengingatkan aku untuk tidak lupa makan." sahut Mr. Stuart diiringi senyuman ramahnya. Obrolan mereka masih menyambung. Nia juga bertanya pada Alvin tentang ini dan itu, tapi namanya Alvin tetaplah Alvin. Walaupun lelaki itu sudah digoda beberapa kali, dia tetap tidak banyak bicara. Benar-benar dia irit kata-kata. Makan malam bukanlah akhir dari acara hari ini. Mereka lanjut menonton film bersama-sama dan bahkan mereka menghabiskan dua judul film dalam semalam. Tadi siang, setelah Nia selesai masak, mengisi jam kosong dengan bermain game bersama di teras belakang. Tidak, lebih tepatnya bertiga yang bermain game karena Alvin lebih memilih berenang. Sekarang, hari sudah semakin gelap. Ify berada di kamar bersama Nia. Gadis itu sengaja meminta sang nenek agar tidur bersamanya. Namun, mereka belum juga tidur meski waktu sudah menunjukkan pukul setengah satu dini hari. "Aku kangen Mama, Nek." ujarnya lirih. Belaian lembut Nia berikan di rambut panjang cucunya. Beberapa kali, Nia juga mengecup kening Ify agar cucunya bisa lebih tenang dan menerima kenyataan. Nenek saja kangen banget, Fy. Apalagi kamu. Batin Nia yang juga merasa miris mendengar keluhan Ify. "Kalau kamu kangen, kamu harus doain Mama. Karena cuma doa yang bisa nyampein kangen kamu ke Mama." dengan lembut, Nia berkata demikian. Kepala Ify mengangguk. Dia selalu mendengarkan apa yang Nia katakan. "Nenek tahu nggak kenapa aku betah banget meluk Nenek?" Nia menatap Ify, dia melihat cucunya yang kini juga melihat ke arahnya. Mereka saling adu pandang sekarang. "Karena Nenek wanginya kayak Mama kamu. Iya 'kan?" Nia sengaja menggoda Ify agar cucu gadisnya bisa kembali tersenyum. Usaha Nia tidak sia-sia. Ify benar-benar tersenyum lagi karena godaannya. Bagi Nia, tidak ada yang lebih membahagiakan selain melihat Ify tersenyum seperti sekarang ini. "Kok Nenek tahu sih?" "Kamu lupa? 'Kan dulu kamu pernah bilang sendiri ke Nenek, kalau Nenek itu wangi Mama." Kening Ify seketika mengerut, dia seperti mengingat-ingat apakah dulu dia pernah mengatakannya atau tidak. "Masa sih aku pernah bilang gitu ke Nenek?" "Ish, kamu pelupa banget sih." Ify tertawa pelan sekarang, dia malah semakin mengeratkan pelukannya di tubuh Nia. Sebenarnya, Ify ingat kalau dulu dia pernah bilang begitu pada Nia. Tadi dia hanya pura-pura lupa saja karena ingin bercanda dengan neneknya. "Aku mau dinyanyiin lagu pengantar tidur lagi sama Nenek." pinta Ify tiba-tiba. "Mau?" tanya Nia untuk memastikan. "Eung, mau." bagai anak kecil, Ify mengangguk sembari tersenyum gembira mendengarnya. Nia seketika mengiyakan permintaan Ify. Wanita paruh baya itu pun membantu cucunya berbaring dan menyelimutinya hingga sebatas d**a. "Oh ya, Nenek kapan pulang ke KL?" "Besok Nenek sudah harus pulang, Kakek nggak bisa ditinggal lama-lama." "Jam berapa, Nek?" "Penerbangannya jam sembilan pagi." "Aku ikut nganter Nenek ke bandara ya kalau gitu?" Nia menggelengkan kepalanya, dia tidak membiarkan Ify ikut mengantarnya ke bandara. Raut wajah Ify pun seketika berubah menjadi suram. Senyuman yang tadinya terlihat jelas, seketika berganti menjadi raut kesedihan saat mendengar jawaban Nia. "Kenapa? Aku bisa izin nggak ke sekolah kok. Lagian itu juga sekolah punya Papa, Nek." Ify tidak berhenti merengek pada Nia. "Nenek bakal marah kalau kamu ngerengek ikut nganter ke bandara. Nenek mau, kamu tetap mengutamakan sekolah, kalau masalah ketemu sama Nenek itu bisa nanti kapan-kapan lagi." Bibir Ify maju saat itu juga. Dia tidak terima dengan larangan dari Nia karena Ify rasa tidak apa-apa kalau hanya bolos sekolah satu kali. Lagian dia tidak akan langsung dikeluarkan hanya karena sekali alpa. "Jangan cemberut dong, nanti cantiknya hilang." sebisa mungkin, Nia membujuk Ify agar mau mendengarkannya. Setelah beberapa kali membujuk dengan iming-iming ini dan itu, akhirnya Ify mau mendengarkan Nia dan nurut untuk masuk sekolah. "Sekarang nyanyiin lagu pengantar tidur, Nek." pinta Ify lagi karena kesempatannya tadi terputus oleh pertanyaannya sendiri. Nia kembali tersenyum dan mulai membelai lembut surai panjang Ify sambil menyanyikan lagu pengantar tidur yang selalu dinyanyikan oleh Nia untuk Ify. Perlahan-lahan, Ify mulai merasakan kantuk seiring alunan lagu yang dinyanyikan Nia hingga tak lama kemudian Ify benar-benar terlelap dalam tidurnya. Nia mengamati cucunya yang begitu cantik nan nyaris sempurna, tetapi Nia juga bersedih karena dia tahu bahwa Ify seperti ini hanya di hari kematian Kalina saja. "Maafin Nenek yang nggak bisa terus-terusan nemenin kamu di sini, Fy." dengan hati sedih, Nia meminta maaf pada Ify yang terpaksa dia tinggal karena urusan pekerjaan di Kuala Lumpur. *** Aura hangat di hari kemarin sudah berubah menjadi dingin seperti hari-hari biasa. Itulah yang terjadi pada Ify. Tidak ada lagi raut wajah ceria, tawa, senyum dan keramah tamahan yang dapat dilihat dari Ify. Gadis itu kembali menjadi iblis yang ditakuti semua orang di sekitarnya. Hari-hari yang dijalani Ify tidak berbeda dari hari satu ke hari yang lainnya. Semuanya tampak sama, dan bagi sebagian orang itu terlihat membosankan. Hanya Via yang tidak bosan akan kehidupan sehari-hari Ify. Hari ini pun, Via masih menempel di samping Ify bagaikan aksesoris yang tak pernah Ify lupakan. "Ini hari terakhir kita harus ngerjain tugas kelompok. Lo jadinya mau ikut satu kelompok sama gue sama Raga atau sendiri?" tanya Via berbisik di samping telinga Ify. Via yakin, kalau Ify sekarang ini sedang mendengarnya. Walaupun gadis itu tidur di kelas, tapi kedua telinganya tidak benar-benar tuli kalau dia tidak mendengarkan musik di earphone-nya. Maka dari itu, Via sangat percaya diri kalau Ify pasti mendengarnya. "Kemarin gue sama Raga udah ngerjain sedikit. Kalau lo ikut kelompok kami, ntar tinggal bagian lo doang yang belum digarap. Tapi kalau lo sendiri, gue bakal lanjut ngerjain bareng sama Raga ntar. Lo ngerjain semuanya sendiri." Via kembali membuka suara karena dia belum puas apabila belum mendapat jawaban dari Ify. Ify masih bergeming dan tidak bergerak satu senti pun. Gadis itu diam bagaikan orang tunarungu. Sedangkan Via, dia sesekali menatap ke arah Raga yang juga menunggu kepastian dari Ify apakah mau tetap bergabung dengan kelompok yang sudah ditetapkan oleh guru atau mau sendiri. "Raga tadi nitip pesen, kalau sepulang sekolah nanti dia mau bilang sesuatu ke lo." Via terkikik sendiri karena mengerjai Ify. Padahal Via juga sudah tahu, strategi apa yang Raga mainkan agar lelaki itu bisa meminta maaf langsung dengan Ify. "Lo belum mati 'kan, Fy?" Karena kesal terus-terusan didiamkan oleh Ify, akhirnya Via memakai pertanyaan pamungkasnya agar Ify mau menjawabnya. Namun sayangnya, Ify tetap tidak menyahut. Tak lama, Via melihat ada keanehan dari Ify. Tidak biasanya Ify seperti ini. Via memberanikan diri memegang kening Ify hanya untuk sekadar mengecek suhu badan sahabat karibnya. Betapa terkejutnya Via ketiga tahu, tubuh Ify sangat panas. Kepanikan melanda Via, dia segera memberi tahu guru yang mengajar bahwa Ify demam. "Via, bisa bantu Ibu buat gendong Ify ke UKS?" tanya guru kimia yang tadi sedang mengajar. "Biar saya yang gendong Ify ke UKS saja, Bu." Raga berbaik hati dengan menawarkan diri untuk menggendong Ify ke ruang UKS. Ray kalah cepat dari Raga, dan itu membuatnya kesal serta marah. Tangannya sudah terkepal kuat-kuat, seperti orang yang akan meninju sesuatu. "Kamu tidak keberatan?" "Enggak kok, Bu." Setelah mendapat persetujuan, Raga langsung menggendong Ify di punggungnya menuju ruang UKS, diikuti oleh Via yang membawakan barang-barang Ify. Sungguh, Via tidak menyangka kalau Ify akan sakit pagi ini. Padahal tadi saat jam pelajaran belum dimulai, Via yakin bahwa Ify baik-baik saja. Beberapa murid dan guru yang kebetulan melihat, mereka jadi menanyakan kondisi Ify pada guru yang mengajar di kelas Ify. Kebanyakan dari mereka, terlihat senang ketika tahu Ify sakit. Raga berhasil menggendong Ify sampai di ruang UKS. Perlahan-lahan dia membaringkan Ify di atas kasur UKS yang disediakan. Seorang petugas kesehatan yang sedang piket pun segera memeriksa kondisi Ify untuk mengetahui apakah sakit yang diderita itu itu mengkhawatirkan atau tidak. "Bagaimana kondisinya, dok?" tanya Via yang sangat cemas akan kondisi Ify. "Ini hanya demam biasa karena kelelahan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Biarkan dia istirahat sebentar dan kalau bisa jangan dibangunkan." jelas dokter yang piket di hari itu. Via mengangguk, dalam hati dia merasa lega karena Ify hanya demam biasa. Setidaknya tidak ada yang perlu dikhawatirkan secara berlebihan mengenai kesehatan Ify. "Terima kasih dokter." ucap Via disertai dengan senyuman lega usai mendengarnya. "Beri obat ini ke Ify, kalau dia sudah siuman nanti. Dan jangan lupa, kasih dia makan terlebih dulu." Lagi dan lagi, Via mengangguk berterima kasih. Via janji, dia tidak akan beranjak sedikitpun dari jangkauan Ify. Bahkan kalau nanti Ify belum siuman sampai sore, Via akan tetap menemaninya di sini. Raga kembali dari kantin, dia menyodorkan sebotol air mineral untuk Via. Gadis itu menerima botol pemberiannya dan segera meminumnya agar rasa cemasnya bisa sedikit berkurang. Itulah yang dilakukan ketika sedang gugup. "Ah, bentar. Gue mau ngabarin kakaknya Ify dulu." Via baru teringat tentang Alvin. Tentu saja Raga mengiyakan. Lagi pula, mana mungkin dia melarang Via buat mengabari keluarganya Ify. Gue nggak tahu kalau sebenarnya lo semenderita ini setelah kejadian itu. Batin Raga seraya memandangi wajah Ify.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN