53. Iblis Bicara

1116 Kata
"Haduh, malah jadi begini. Maafin Om sama Tante ya, nggak bisa nemenin sampai selesai." Rizaldy dan Rima merasa tak enak pada Alvin karena mereka juga harus pamit pulang. Padahal mereka yang mengajak Alvin buat main golf di hari minggu ini. Baru saja, Rima mendapat telepon dari asisten rumah tangga di rumah bahwa kakek dan neneknya Via baru saja datang dari Tasikmalaya. Orang tua Rima, selalu saja datang tanpa pemberitahuan dan dadakan begini. Jadi sudah tidak heran untuk Rizaldy dan Rima kalau mereka akan mendapatkan kabar dadakan begini dari rumah. Sebuah senyuman tampan serta anggukan diberikan oleh Alvin kepada sepasang suami istri di depannya guna menenangkan mereka yang sepertinya sangat merasa tak enak padanya. Sebenarnya, Alvin juga tidak merasa keberatan kalau dia harus bermain sendiri. Hanya Rizaldy dan Rima saja yang merasa sangat tidak enak hati. "Nanti kapan-kapan, kita bisa main bareng lagi. Om benar-benar minta maaf untuk kali ini ya?" "Iya, Om." jawab Alvin dibarengi kekehan tawanya yang membuat Rizaldy jadi lega. "Kamu nikmati saja mainnya, biar Om yang bayar tagihannya." tiga tepukan Rizaldy berikan di bahu Alvin. "Makasih, Om." Rizaldy dan Rima sebenarnya kurang percaya pada apa yang selalu Via ceritakan padanya mengenai Alvin yang pelit bicara. Nyatanya setiap kedua orang tua ini mengajak Alvin bicara, Alvin selalu menyahutinya walau tidak panjang. Singkat memang, tapi bukan berarti Alvin tetap diam dan hanya berinteraksi melalui gerakan saja. "Tidak perlu sungkan, nikmati saja." balas Rizaldy lagi. "Kalau begitu, kami pamit dulu, Vin." kedua orang tua itu kembali berpamitan sebelum benar-benar meninggalkan Alvin sendiri di lapangan golf. Alvin mengangguk, dia juga melambaikan tangannya saat Rizaldy dan Rima mulai diangkut oleh golf cart. Dan sekarang tersisa Alvin bersama caddy golf saja di area sana. Setelah orang tua Via sudah tidak terlihat lagi, Alvin kembali mulai permainan. Ini bukan kali pertamanya Alvin bermain golf sendirian, bahkan dia lebih sering sendiri ketimbang dengan rekan kerja atau keluarga. Hanya kadang sesekali kalau keluarga Rizaldy mengajak, barulah Alvin mengiyakan. Ketika Alvin akan memukul bola, gerakannya tiba-tiba dihentikan oleh suara deringan ponsel yang ada di dalam sakunya. Alvin segera mengambil ponselnya dan ternyata yang meneleponnya barusan itu adalah Mr. Stuart. Tanpa curiga, Alvin langsung menerima panggilan dari Mr. Stuart. "Bagaimana? Kamu sudah menemukan gadis yang akan kamu nikahi belum?" Belum juga Alvin menyapa papanya, dia sudah lebih dulu ditanya dengan pertanyaan yang memusingkan begini. Kalau tahu Mr. Stuart akan membahas masalah pernikahan lagi, Alvin jelas tidak akan menerimanya dan lebih memilih bermain golf. "Aku sibuk, Pa." cuma ini yang bisa Alvin katakan sebelum dia memutus sambungan telepon dari Mr. Stuart. Karena sudah terlanjur kesal, Alvin jadi mematikan ponselnya agar dia bisa fokus bermain golf tanpa gangguan sama sekali. *** Setibanya di sekolah, Ify dan Via langsung berlari-lari menuju lapangan basket yang jaraknya lumayan jauh dari pintu gerbang. Bahkan, Via sampai ngos-ngosan mengejar Ify yang larinya sangat cepat bagai orang kesetanan. Setelah berlari-lari sekian menit, sampai juga mereka di lapangan basket. Ify mengedarkan pandangannya ke sekeliling tapi di lapangan basket itu hanya ada satu orang saja. "Apa pertandingannya sudah selesai?" tanyanya pada siapa saja yang bisa menjawabnya. Ify segera berlari ke arahnya untuk meminta penjelasan atas apa yang dia lihat. Tak lama, Via juga sampai. Dia langsung menyusul Ify dan Raga yang duduk di sisi lapangan. Via pun tidak paham, ada di momen apa sekarang mereka ini? "Apa maksud lo?" Itu yang Via dengar dari bibir Ify, sebuah pertanyaan untuk Raga yang masih duduk sambil memotong-motong dedaunan setengah kering di tangannya. "Kenapa? Gimana, Fy? Pertandingannya udah selesai? Atau gimana?" tanya Via yang ikut panik karena dia benar-benar tidak tahu apa-apa. Raga berdiri dari duduknya, dia menatap Ify dan Via secara bergantian. Via jadi bermain mata dengan Raga karena dia takutnya ada hal-hal yang tak diinginkan terjadi. "Tenang aja, gue sama Ray nggak jadi tanding kok." katanya dengan santai. Mendengar ini, Ify hampir tak percaya karena Ray bukan tipe orang yang mau menyerah begitu saja. Terlebih lagi, pertandingan ini sudah menyangkut harga dirinya sebagai laki-laki. Jadi sudah jelas, mustahil untuk Ray membatalkan pertandingan ini begitu saja. "Lo apaain Ray?" tanya Ify. "Nggak gue apa-apain kok, cuma gue kasih ini aja." Raga menunjukkan satu botol air mineral pada Ify dan Via. Kening Via mengerut, dia tidak paham akan maksud dari Raga itu apa. Tapi sepertinya tidak dengan Ify, gadis itu langsung paham pada apa yang dimaksud Raga. "Udah berapa kali dia bolak-balik?" Via saja sudah dibuat bingung pada apa yang Raga tunjukkan, sekarang dia semakin dibuat pusing saat mendengar pertanyaan Ify. Memangnya siapa yang bolak-balik dan bolak-balik ke mana? "Kalau nggak salah, ini udah yang ketujuh dia bolak-balik. Tujuh kali selama satu jam." kekeh Raga merasa dirinya hebat. "Fy, jelasin napa deh?" Raga mengalah, dia akhirnya menjelaskan semuanya pada Via kalau sebenarnya tadi dia dengan sengaja memberikan obat pencahar ke minuman Ray yang tentunya tanpa sepengetahuan orangnya. Dan alhasil, setelah minum air mineral yang dipegang Raga itu, Ray jadi bolak-balik toilet dan tidak jadi tanding. Barulah sekarang Via paham setelah dijelaskan. "Woo... Raga hebat." Via memberikan dua jempolnya pada Raga sebagai tanda pujian. "Emang harus dikasih pelajaran tuh orang sekali-kali." lanjut Via lagi, sambil membayangkan betapa lucunya Ray yang tidak bisa menahan sakit perutnya dari tadi. Dari kejauhan, Ify melihat Ray kembali dari arah toilet. Ify masih santai menunggu Ray seraya menyilangkan kedua tangannya di depan d**a. "Kita tunda dulu pertandingannya jadi minggu depan. Gue sakit perut banget." kata Ray dari kejauhan, saat dia belum tahu kalau di sana ada Ify dan Via. "Nggak perlu minggu depan, karena pertandingan ini nggak akan pernah ada." tanpa ragu, Ify langsung menyahut bagai petir menyambar di kala hujan. Suara Ify berhasil membuat Ray kaget. Lelaki itu hampir saja terjengkang ketika dia melihat Ify berdiri di depan Raga. Pantas saja tadi dia tidak melihat, karena badan mungil Ify tertutup oleh Raga. Wajah Ray langsung memerah, dia bahkan tergagap saat akan menyahuti Ify yang menatapnya tajam bak pinggiran silet yang siap menyayat kapan saja. Ray tidak tahu, kenapa bisa ada Ify di sini. Tapi dia rasa, pasti semua ini ulah Raga yang sudah memberi tahu Ify. "Lo ngasih tahu Ify? Jangan-jangan, lo juga yang udah jahil ke gue dengan masukin apa-apa ke minuman gue? Iya?" Ray langsung mencecar Raga tanpa takut pada Ify yang akan membuatnya bisa kehilangan status murid SMA Golden's. "Itu artinya Raga masih punya otak. Nggak kayak lo." Catat, yang barusan bicara bukanlah Raga! Jelas, bukan Raga! Itu suara Ify. "Tapi kenapa, Fy?" Ray masih belum sadar bahwa dia salah. "Sekali lagi lo sok b**o di depan gue, bakal gue bikin lo b**o beneran." ancam Ify langsung pada Ray. Via dan Raga sampai merinding mendengar Ify mengatakan kalimat barusan. Singkat memang, tapi cukup untuk membuat Via dan Raga bergidik ngeri. Mereka seolah-olah baru saja mendengar iblis baru selesai bicara.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN