Semua orang menikmati hidangan yang sudah dipesan. Selain cake, Rizaldy kembali memesan camilan lainnya. Bahkan, tadinya Rizaldy juga menawarkan apakah Alvin dan Ify mau makan sekarang. Tetapi Ify menjawab tidak perlu, sedangkan Alvin pun menggelengkan kepalanya. Jadilah, mereka akan makan di jam makan siang nanti saja.
Ketika sedang menikmati kentang goreng, Via tiba-tiba teringat pada Raga. Gadis itu memekik kaget karena dia lupa kalau hari ini Raga sedang ada pertemuan dengan Ray. Padahal, Raga sudah menceritakan dengan jelas pada Via mengenai ini kemarin.
Karena saking senengnya gue bakal ketemu Bang Alvin, gue sampai lupa kalau hari ini Raga ketemu sama Ray. Umpat Via dalam hatinya.
Bloon banget sih gue! Bisa-bisanya gue lupa begini. Via masih memaki-maki dirinya sendiri dalam hati.
Duh, gimana nih caranya keluar dari sini? Mana gue belum sempet cerita ke Ify pula.
Ify sadar kalau Via sedang gelisah. Beberapa kali dia melihat Via menggoyangkan ujung kakinya. Itulah ciri khas Via jika sedang memikirkan sesuatu. Tetapi, Ify masih diam dan bersikap seolah dia tidak tahu apa-apa. Bahkan, sekarang Ify juga sadar kalau Via beberapa kali melirik-lirik ke arahnya.
"Kenapa, Vi?" Rima sadar kalau ada yang mengganggu anak gadisnya, sehingga dia bertanya untuk memastikan.
Via terkesiap mendengar pertanyaan Rima barusan. Gadis berambut pendek sebahu itu hanya bisa nyengir sambil menggelengkan kepalanya ke arah mamanya, menandakan bahwa dia baik-baik saja. Tetapi, Ify tidak percaya pada jawaban Via barusan.
Ini anak kenapa sih? Kayak orang lagi kena tetanus aja. Tanya Ify dalam hati sambil melirik ke arah Via yang masih menggoyangkan ujung kakinya.
"Vi, anterin gue ke toilet dong!" pinta Ify agar dia bisa mendengar apa yang Via pikirkan sekarang.
Seketika, Via mengangguk sambil mengiyakan. Mereka pamit ke toilet kepada Rima lalu segera menuju ke tempat tujuan. Selama berjalan ke arah toilet, Ify tidak berhenti memerhatikan gerak-gerik Via yang mencurigakan.
"Lo mau cerita atau gue cari tahu sendiri?" tanya Ify yang sudah mulai kesal karena Via hanya diam saja.
Mereka tiba di toilet, Via langsung mencuci wajahnya beberapa kali di wastafel. Ify masih menunggu Via bercerita tapi dia juga tidak bisa menunggu terlalu lama. Stok kesabaran Ify tidak sebanyak itu meski untuk Via, sahabatnya sendiri.
Sebelum bercerita, Via memilih mengeringkan wajahnya dulu pakai tisue yang disediakan. Kini, Via menatap Ify lekat-lekat. Tentu saja, hal ini membuat Ify jadi semakin penasaran dan bingung.
"Sebenarnya, Fy. Postingan punya Ray yang gue tunjukin ke lo kemarin itu...."
"Kemarin, Ray tiba-tiba ngedatengin gue dan bilang kalau dia minta gue ngejauhin Ify." Raga mulai menceritakan apa yang dikatakan Ray kemarin pada Via.
"Terus, lo jawab apa?" Via mulai penasaran. Tidak, ralat, Via memang sudah penasaran dari awal makanya dia bertanya agar mendapatkan penjelasan dari Raga tentang apa yang sebenarnya terjadi.
"Ya gue jawab aja, bukan urusan dia kalau gue mau jadi temennya Ify. Lagi pula, dia bukan Ify yang bisa ngelarang gue buat nggak jadi temennya Ify." cerita Raga.
Dua acungan jempol Via berikan pada Raga sebagai apresiasi atas jawaban yang diberikan Raga untuk Ray. Karena memang begitu adanya, Ray bukan Ify yang bisa melarang-larangnya untuk tidak berteman dengan Ify. Sedangkan Ify sendiri saja, tidak pernah meminta Ray untuk mengatakan itu pada Raga.
"Eh, dia nggak terima pas gue jawab begitu. Dia emosi, dan ngajak gue tanding basket hari minggu besok. Terus, dia juga bilang yang kalah harus jauhin Ify."
"Jadi maksud lo, yang menang boleh ngedeketin Ify begitu?" tanya Via memastikan.
Raga mengangguk sambil meneguk es teh miliknya. Wajah Via sudah memerah sekarang. Dia antara kesal dan marah pada Ray, karena berani-beraninya lelaki itu menjadikan Ify sebagai tawanan.
"Terus Vi, Ray juga bilang kalau gue nggak mau diajak tanding sama dia. Dia anggep gue kalah dan dia menang, jadi dia yang boleh ngedeketin Ify."
Kedua tangan Via sudah terkepal kuat-kuat, dia yang tadinya sudah emosi pada Ray jadi semakin emosi usai mendengar cerita Raga.
"Gue sih santai ya, Vi. Tapi dia nganggepnya serius. Menurut lo, gue mending nurutin kemauan dia buat tanding atau enggak?" Raga meminta pendapat Via, karena bagaimanapun juga Raga takut kalau nanti dia malah semakin jauh dari Ify kalau dia menuruti kemauan Ray.
"Tanding aja, kalahin dia kalau bisa. Bikin dia malu sama omongannya sendiri."
"Tapi gue takut kalau semisal nanti Ify malah marah sama gue. Lagi pula, gue juga nggak yakin bisa ngalahin dia."
"Udah, masalah Ify biar gue yang urus. Gue berani jamin, Ify nggak akan marah sama lo. Kenapa lo nggak percaya diri? Gue yakin, lo bisa ngalahin dia kok. Jangan minder deh." sebisa mungkin Via mencoba menyemangati Raga agar mau bertanding dengan Ray dan mengalahkan lelaki itu.
"Kemarin-kemarin masih bisa gue maklum, tapi lama-lama nggak bisa gue maklum lagi ni anak. Makin lama didiemin makin ngelunjak." emosi Via menggebu-gebu karena Ray.
Via menatap Ify yang melihatnya dengan wajah tak terbaca. Bisa Via pastikan kalau Ify pasti marah setelah mendengar ini. Terbukti dari kedua tangan Ify yang terkepal kuat-kuat.
"Di mana mereka tandingnya?"
"Di sekolah. Pokoknya lo harus kasih pelajaran ke Ray, Fy. Biar dia nggak seenaknya sama lo begini."
Ify langsung keluar dari toilet begitu saja, diikuti oleh Via yang juga berjalan di belakangnya. Bahkan, Ify terlihat seperti orang setengah berlari sekarang.
"Om, Tante, kayaknya aku sama Via harus pulang duluan deh." Ify langsung pamit pada Rizaldy dan Rima karena tidak mungkin dia pergi begitu saja tanpa pamit.
"Loh kenapa memangnya, Fy? Ada apa?" tanya Rizaldy yang heran dengan Ify karena datang-datang dari toilet langsung pamit pulang.
"Mau ngerjain tugas kelompok, Pa. Aku sama Ify tadi sama-sama lupa kalau masih ada tugas kelompok yang harus dikumpulin besok." Via juga membantu menjelaskan agar mereka bisa pergi dari sini.
Kalau sudah menyangkut dengan tugas, Rizaldy dan Rima juga tidak bisa apa-apa selain mengizinkan mereka berdua pulang lebih dulu. Ify dan Via juga pamit pada Alvin yang sudah bersiap untuk bermain golf lagi.
Meski harus berbohong tentang tugas, yang penting sekarang mereka bisa menyusul Raga di lapangan. Karena mungkin pertandingan sudah dimulai. Apalagi Raga bilangnya kalau Ray meminta tanding di jam delapan pagi. Sementara sekarang sudah jam sembilan. Sudah satu jam lewat dari jam yang ditentukan.
Kedua gadis itu segera menyetop taksi yang lewat. Kebetulan, saat mereka baru keluar, ada taksi kosong yang melewat. Tanpa membuang waktu, mereka langsung saja naik.
"Semoga belum selesai." doa Via sambil terus berusaha memanggil Raga, tapi tidak mendapatkan jawaban dari lelaki itu.
Emosi Ify benar-benar tidak bisa dibendung lagi. Kemarahannya pada Ray sudah sampai puncak. Ingin rasanya dia melemparkan bomnya di depan Ray yang sudah semena-mena.