25. Demi Gue, Vi

2094 Kata
Ini masih jam setengah sembilan pagi, tapi Rio hanya bisa berdiam diri di kamarnya. Lelaki itu tidak bergerak sedikit pun selain bernapas. Kedua matanya terpejam erat-erat, kedua tangannya mengepal selimut kuat-kuat. Keringat dingin tidak berhenti keluar dari tubuhnya. Sekuat tenaga, Rio menahan rasa sakit yang dia dapatkan karena hari ini beberapa bunga mawarnya sudah siap panen untuk dipasarkan dan dikirim ke pabrik. Seperti inilah yang Rio rasakan dan lakukan setiap kali mawar-mawarnya dipanen. Rio akan mengurung dirinya di kamar sampai rasa sakit yang melandanya berkurang. Namun Rio tidak pernah mau secara terbuka bilang kepada Axel ataupun Raga bahwa dia begitu kesakitan. Malaikat yang dihukum itu selalu bilang kalau dia baik-baik saja dan dia hanya meminta waktu untuk sendiri. Dan tentu saja, Rio tidak melulu izin istirahat kalau mawarnya dipanen. Ada kalanya, Rio juga melawan rasa sakitnya dan ikut memanen mawar-mawarnya. Tapi itu hanya terjadi di waktu-waktu tertentu saja. Seperti saat lima pada sebelum dan setelah bulan purnama, maka Rio bisa ikut panen. Selain itu, Rio akan merasa energinya terkuras habis. Tanpa Rio tahu, di luar kamarnya ada Axel yang menunggunya dalam diam. Lelaki paruh baya itu hanya diam, tanpa memanggil ataupun mengganggu Rio. Dia tahu kalau di dalam sana Rio sedang kesakitan. Selama ini Axel dan Raga juga tahu, kalau Rio itu kesakitan dan hanya pura-pura baik-baik saja di depan mereka berdua. Namun tidak ada yang menyinggungnya setiap kali mereka bersama. Keduanya sama-sama pura-pura tidak tahu untuk menghargai keputusan Rio yang lebih memilih menyembunyikannya ketimbang memberi tahu mereka. Setelah satu jam berdiri di depan pintu kamar Rio, Axel memilih untuk kembali ke ladang mawar dan ikut memanen bersama para petani lainnya. Dia tidak bisa terus-menerus menunggu Rio keluar. Lagi pula, kalau nanti Rio keluar dan tahu dirinya ada di depan pintu, yang ada malah Rio akan merasa canggung juga malu padanya. Jadi menurut Axel, sudah cukup satu jam saja dia menunggu Rio di sana. "Kenapa dia keras kepala sekali? Apa susahnya untuk melakukan syarat yang diberikan Tuhan agar dia bisa kembali ke kehidupannya sebagai malaikat dan dicabut hukumannya." Axel tidak henti-hentinya mendesah sembari menggeleng-gelengkan kepalanya yang tidak dapat memahami isi pikiran Rio selama tiga belas tahun tinggal bersamanya. "Padahal selama ini dia punya waktu yang cukup lama untuk manusia, tapi dia menyia-nyiakannya dan memilih menderita sendirian." lagi dan lagi, Axel hanya bisa mendesah karena tidak tahu harus berbuat apa untuk membantu dan menolong Rio. Bagi Axel, tiga belas tahun bukanlah waktu yang singkat untuk menyelesaikan syarat yang diberikan Tuhan agar Rio bisa kembali menjadi malaikat. Begitu pula dengan waktu manusia, satu tahun saja itu sudah bisa dibilang lama. Apalagi tiga belas tahun? Sangat lama untuk melakukannya satu per satu. Tapi Rio tidak melakukannya satu pun. Dia hanya diam, menerima hukuman dari Tuhan. Berbeda dengan kondisi Rio di kamarnya yang sedang kesakitan. Ify di kelasnya terus diledek oleh Via. Tak henti-hentinya Via menyenggol lengan Ify sambil berbisik tentang Rio dan Raga. Sedangkan Ify, dia hanya bisa memejamkan mata sambil pura-pura tidak dengar apa yang keluar dari bibir Via. Gadis itu sama sekali tidak menanggapi Via, meski hanya satu kata saja. "Lo suka sama Rio?" tanya Via berbisik tepat di samping telinga Ify. Tidak ada jawaban. Ify tetap diam di posisinya tanpa bergerak satu inci pun. Gadis itu seolah-olah tidak peduli, padahal sebenarnya Ify sangat takut kalau tiba-tiba Via mengatakannya pada Raga. Gue pastikan, kalau sampai mulut Via bocor ke Raga, bakal gue rajam mulutnya tanpa sisa. Batin Ify yang sudah mulai terganggu oleh ocehan Via yang tiada hentinya. "Lo mau ke rumahnya Rio lagi?" Via tidak menyerah, dia masih saja bertanya ini dan itu tanpa lelah. Dalam hati, Ify sudah tidak sabar untuk menyumpal mulut Via pakai kaos kaki. Tapi Ify masih menahannya karena dia tidak mau ketahuan kalau sebenarnya dia memang tertarik pada Rio. Tapi jangan salah paham, ketertarikan Ify pada Rio itu bukan karena suka. Melainkan karena rasa penasarannya yang tidak paham, kenapa Rio bisa ada di dalam bunga tidurnya selama dia koma satu bulan kemarin. "Ini pertama kalinya lo suka sama cowok 'kan, Fy?" Beberapa kali, Via melirik ke arah Raga yang fokus dengan buku paketnya. Sebenarnya, Via juga takut kalau sampai Raga mendengarnya secara tidak sengaja membicarakan tentangnya dan Rio. "Lo pasti lagi ngerasain fall in love at first sight sama Rio 'kan? Ngaku lo sama gue!" Karena tak tahan juga berlama-lama digoda oleh Via, akhirnya Ify membuka matanya dan menoleh ke arah Via. Ify menatap tajam sahabat karibnya itu sampai Via mendelik. Bola mata Ify sangat tajam, bahkan Via merasa kalau tatapannya itu bisa menusuk jantungnya hingga sulit bernapas. Ify mendekatkan wajahnya ke arah Via tanpa kata. Saat ini, Ify seperti vampire yang haus darah. Dia mendekatkan kepalanya ke samping telinga Via seolah-olah dia ingin mengigit Via lalu menyedot darahnya. Dalam sekejap, Via merasakan aura berbeda. Tubuhnya berubah jadi panas dingin sendiri menghadapi Ify. Padahal, ini bukan yang pertama bagi Via. Via menahan deru napasnya agar tidak terdengar oleh Ify. Bahkan, Via kesulitan menelan salivanya sendiri. Hingga akhirnya, Via bisa merasakan embusan napas Ify menghangat serta menggelitik di samping leher mulusnya. "Jangan macem-macem lo, Fy." katanya memperingati Ify. Suara Via membuat Ify tersenyum sinis. Sudut bibir kanannya terangkat ke atas sebelah menertawakan Via yang ketakutan karenanya. "Di dalam tas gue ada pisau, cukup tajam buat motong lidah lo yang kepanjangan." dengan santainya Ify berkata seperti ini, tanpa pandang bulu kalau yang dia ancam itu adalah Via. Leher Via naik turun mendengar ancaman Ify. Saat Ify menjauhkan tubuhnya dari Via, gadis itu hanya bisa nyengir kuda menatap ke arah Ify yang juga tersenyum padanya. Tapi, bagi Via itu bukannya senyum cantik melainkan senyum menakutkan yang cukup mematikan. "Hati-hati dalam bicara, bestie." lanjut Ify sambil mengusap-usap pipi Via. Tak lama, senyuman menakutkan di wajah Ify hilang sudah. Ify kembali ke mode semula. Wajah yang antagonis dan tanpa mengintimidasi. "Hehehe... Gue kunci rapat-rapat pokoknya." angguk Via seraya menarik kedua jarinya di depan bibirnya seolah dia sedang mengunci mulutnya sendiri. "Bestie gue emang cantik." Mendapat pujian dari Ify itu, bagaikan sebuah petaka bagi Via. Dia tahu, Ify tidak akan benar-benar memujinya seperti ini. Kalaupun Ify memujinya, itu bukan sebuah pujian, melainkan sebuah ancaman yang mengerikan. Ify kembali ke posisinya semula, sementara Via malah memikirkan bagaimana caranya dia tahu apa yang Ify pikirkan sekarang. Meski Via takut pada ancaman Ify, dia tetap saja penasaran. Tak selang lama, Ify kembali menolehkan wajahnya ke arah Via. Hal ini membuat Via menaikkan sebelah alisnya karena dia tidak paham pada arti dari tatapan Ify. "Apaan?" tanyanya yang bingung. "Kita ke ruang musik." Tanpa ada angin, tiba-tiba Ify mengajak Via ke ruang musik dan itu membuat Via semakin keheranan. Gadis berdagu tirus itu berjalan lebih dulu lalu diikuti oleh Via di sampingnya. Ify sudah tidak peduli lagi pada pelajaran hari ini. Dia ingin berbagi cerita pada Via tentang Rio yang dia tahu selama ini. Bel masuk kelas telah berbunyi. Semua murid sudah berbondong-bondong masuk kelas, terkecuali Ify dan Via yang malah berjalan santai menuju ruang musik. Kebetulan, jarak antara kelas dan ruang musik sekolah lumayan jauh. Jadi mereka harus berjalan sekitar dua menit, baru sampai. Saat tiba di ruang musik, di sana ada murid kelas lain beserta guru yang mengajar. Tak segan-segan Ify menyuruh guru tadi keluar ruangan hanya menggunakan gerakan dagunya saja. Sungguh perbuatan yang tidak sopan dan tidak pantas ditiru. Tapi sekali lagi, gadis itu adalah Ify. Sudah hal biasa dia melakukan hal-hal semacam ini. Tanpa banyak tanya, guru musik tadi langsung mengajak muridnya belajar teori saja di kelas. Guru itu lebih sayang pada pekerjaannya daripada harus berdebat dengan Ify lalu nanti dia sulit mendapatkan pekerjaan di tempat lain. Kini, hanya tersisa Ify dan Via saja di dalam ruang musik. Hanya mereka berdua, tidak ada yang lain. Ify mengecek segala sudut buat memastikan kalau di dalam sana benar-benar tidak ada yang lain selain mereka. Via sampai dibikin bingung oleh tingkah Ify kali ini. "Kenapa kita ke sini?" tanya Via semakin penasaran. Sebenarnya Via tidak ingin mengumbar rasa penasarannya, tapi tingkah Ify membuat Via tidak bisa lagi berpikir kalau di antara Ify dan Rio tidak ada apa-apa. "Ada yang mau gue ceritain ke lo." Ify menjawab pertanyaan Via tanpa menoleh ke arah temannya sama sekali. Setelah memastikan bahwa di dalam ruang musik benar-benar tidak ada siapa-siapa, Ify duduk di salah satu kursi yang tersedia di sana. Via pun mengikuti apa yang Ify lakukan, duduk di samping sahabatnya yang tampak mencurigakan. Ify memejamkan matanya, dia menarik napas dalam-dalam sebelum menceritakan tentang Rio pada Via. Usai memastikan bahwa ini adalah pilihan yang tepat, Ify mulai membuka mulutnya. Ify yakin, dia tidak salah. Lagi pula, ketimbang dia ditanya terus-terusan oleh Via lalu nanti Raga tidak sengaja mendengar malah lebih membuat Ify malu. "Lo ingat 'kan? Gue ke mana-mana bawa pisau. Kalau sampai mulut lo kayak rem blong, bakal gue ir-," "Iya, iya. Gue nggak bakal ngomong ke siapa-siapa." sela Via cepat sebelum dia mendengar Ify mengatakan kalimat yang membuatnya merinding lagi. Ify mengangguk-angguk, dia percaya pada sahabat dekatnya dari zaman kecil itu. Lagi pula, Ify yakin kalau dia bisa mengendalikan Via. "Tentang Rio, ada yang mau gue bahas." Ify mulai buka suara tentang hal yang membuat Via penasaran. Via melebarkan telinganya agar dia bisa mendengar setiap kata yang terucap dari bibir Ify. Bahkan, Via sampai mengeluarkan ponselnya dan dia bersiap merekam apa saja yang nanti diceritakan oleh Ify. "Lo kepengen HP baru?" Via mendelik, dia langsung mengambil ponselnya yang tadi dia letakkan di atas piano. Mana mungkin Via rela melihat ponselnya dihancurkan oleh Ify secara cuma-cuma. "Maksud gue ngerekam itu, biar gue paham. Lagian emang lo mau cerita dua kali kalau gue kurang paham?" Via memberanikan diri untuk speak up tentang niatnya, daripada dia sendiri yang rugi. Ify menghela napas, dan akhirnya dia mengangguk membiarkan Via buat merekam apa yang akan dia ceritakan. Via tersenyum menang, dia kembali meletakkan ponselnya ke atas piano lagi dan menunggu Ify bercerita. "Sebenarnya ada apa antara lo sama Rio?" Ify menarik napas dalam-dalam untuk ke sekian kali. Dia sedikit kesulitan untuk bicara tapi Ify bertekad buat memberi tahu Via. "Gue juga sebenarnya nggak kenal siapa Rio. Gue nggak tahu dia siapa dan dari mana. Cuma, dia itu muncul di dalam mimpi gue selama gue koma satu bulan kemarin." Ify mulai membuka suara. Via tidak melepaskan pandangannya dari wajah Ify. Dia memerhatikan sahabatnya bercerita karena tidak mau ada yang terlewat satu kata pun. Apalagi, cerita yang Ify bawakan itu sangat seru. Via mendengar dan mencernanya perlahan demi perlahan. Kisah yang diceritakan Ify barusan, bak kisah dalam negeri dongeng. Tapi Via percaya, kalau Ify tidak akan mengada-ada. Terlebih lagi, ini ada sangkut pautnya dengan laki-laki. Ify bukan tipe orang yang akan mengada-ada cerita hanya supaya dikenal. Ify menceritakan semuanya. Dari yang dia alami saat masih ada di alam bawah sadarnya, sampai pada dia benar-benar melihat bahwa ada laki-laki yang wajahnya mirip dengan laki-laki di alam mimpinya. Bahkan, namanya pun sama. Tempat yang masuk ke mimpi Ify dan tempat yang dia datangi kemarin itu sama. Semuanya sama! Tidak ada yang berbeda setitik pun! Hanya keberadaan Raga saja yang tidak ada. Raga tidak pernah muncul di mimpi Ify, walaupun seperti yang mereka tahu sekarang ini. Bahwa ternyata Raga memiliki hubungan dengan Rio. "Lo ngelihat Mama lo di kebun mawarnya Rio?" Via tak habis pikir, dia sampai membekap mulutnya sendiri karena bertanya seperti ini. Kepala Ify mengangguk. Dia yakin betul kalau yang dia lihat di dalam mimpinya dulu itu adalah Kalina-mamanya yang sudah lama tiada. "Jadi, gue mau minta lo deketin Raga dan bilang kalau lo mau main ke rumah dia." akhir-akhirnya, Ify meminta bantuan dari Via, walaupun dia tidak mengatakan tolong pada Via. Via mendelik mendengar kalimat terakhir Ify. Dia tidak percaya kalau Ify tega memintanya mendekati laki-laki. "Tapi gue cuma nganggep Raga sebagai temen doang, Fy." katanya lirih sambil mendesah karena Via enggan kalau harus menjadi perempuan centil. Ify memutar bola matanya malas. Ify tidak habis pikir kalau Via malah mengira bahwa dirinya meminta Via buat mendekati Raga dalam tanda kutip. "Sebagai temen juga nggak apa-apa, Vi. Yang penting kalian bisa deket gitu. Lagian lo lebih deket sama dia, ketimbang gue 'kan?" "Nanti kalau dia ngiranya beda, gimana?" Via benar-benar takut kalau nanti Raga mengira dirinya suka pada lelaki itu. "Demi gue, Vi." pinta Ify lagi. Via terdiam, untuk pertama kalinya Via melihat Ify memohon padanya. Padahal selama ini yang Via tahu, kalau Ify tidak akan pernah mau merendahkan harga dirinya demi meminta bantuan orang lain. Sayangnya tidak pada kali ini. "Oke, gue bakal bantuin lo. Tapi, lo harus janji kalau lo nggak boleh kasar sama gue." Via mengajak Ify bernegosiasi sebentar. Ify membentuk bulatan pada jarinya sebagai jawaban dan persetujuan. Begitu pula dengan Via yang mengangguk setuju.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN