Segerombolan iblis yang berhasil ditangkap oleh Allius dari bumi, kini sedang berjalan beriringan depan belakang. Tangan mereka terikat satu sama lain agar tidak ada yang bisa melepaskan diri. Malam ini, Allius berhasil menangkap sekitar sembilan iblis yang masih berkeliaran di bumi. Kebanyakan dari mereka, paling suka membuat celaka para pengendara di jalan raya. Dengan kata lain, karena merekalah banyak nyawa melayang di waktu yang tidak seharusnya.
Hawa panas dari kobaran api neraka sudah terasa dari jarak seribu lima ratus meter. Saat ini, mereka sedang berjalan di atas jembatan yang di bawahnya ada lautan hewan buas. Kalau mereka kurang beruntung, mereka bisa menjadi dalam sekejap mata.
"Cepat!" Allius tiba-tiba berteriak agar para iblis itu lebih mempercepat langkahnya dan mereka segera tiba di neraka.
Samar-samar, suara iblis kepanasan sudah mulai terdengar. Dia mempercepat langkahnya, begitu pula dengan iblis hasil buruannya. Dari kejauhan, Allius melihat apa yang sedang dilakukan Andreas. Malaikat penjaga neraka itu sedang menendang iblis yang berusaha kabur dari neraka dengan penuh emosi.
Sebelum menyerahkan kesembilan iblis yang dia bawa, Allius lebih dulu berdeham agar Andreas sadar akan kedatangannya. Usaha Allius membuahkan hasil, malaikat yang sering emosi pada penghuni neraka itu menolehkan wajahnya ke arah Allius sembari menepuk-nepuk kedua tangannya seolah-olah dia sedang membersihkan kotoran di telapak tangannya.
"Ternyata ini gara-garanya Raga menurunkan hujan? Panasnya terasa sampai bumi." komentar Allius saat tahu kalau di sekitar neraka sangatlah panas, mungkin bisa lima kali lipat panasnya dengan di bumi.
Andreas hanya tertawa mendengar sindiran yang diberikan Allius. Dia melihat kesembilan iblis yang berhasil ditangkap Allius, mereka semua sedang berontak dan ingin kabur dari sana. Cuma sayangnya, penjaga di area neraka sangatlah ketat. Terlebih lagi, kalau mereka putar balik, yang ada mereka akan dicambuk sebanyak seribu kali terlebih dahulu sebelum dicemplungkan ke dalam neraka.
"Aku hanya melakukan tugasku, jadi aku tidak tahu kalau kekacauan ini akan terasa sampai bumi panasnya."
Kedua malaikat itu sama-sama terkekeh pelan. Andreas berjalan ke arah kesembilan iblis yang tampak marah dan ketakutan dimasukkan ke dalam neraka. Satu persatu dilihat oleh Andreas dari ujung kepala sampai kaki. Hanya dengan melihat begini, Andreas bisa tahu seberapa parahnya mereka mencelakai manusia di bumi.
"Ini, data yang dikeluarkan oleh Tuhan setelah masa penimbangan." Allius memberikan selembar kertas beralaskan clipboard pada Andreas.
Malaikat penjaga pintu neraka, yang dikenal super kejam dan adil itu menerima datanya serta dia baca satu persatu agar tidak ada yang keliru atau salah menerima hukuman.
"Oke, terima kasih sudah membuatku semakin sibuk." Andreas mengangguk usai memeriksa data pemberian Allius.
Kata-kata Andreas membuat Allius tertawa sambil menurunkan tangannya yang tadi menyilang di depan d**a. Allius menepuk bahu Andreas sebanyak tiga kali.
"Kamu akan bertambah sibuk kalau nanti aku kembali sambil membawa lebih banyak iblis lagi." katanya sambil melambaikan tangan meninggalkan Andreas bersama kesembilan iblis yang dia bawa tadi.
"Bawa yang lebih banyak lagi kalau bisa!" seru Andreas dari kejauhan, agar Allius bisa mendengarnya.
Lambaian tangan menjadi jawaban dari perkataan Andreas. Kini, Allius sudah tidak terlihat lagi dan giliran Andreas yang memasukkan kesembilan iblis di depannya itu ke dalam neraka. Tentu saja Andrea dibantu oleh beberapa pengawalnya yang membantu pekerjaannya di sini.
***
"Fy, lo jujur ya sama gue. Kenapa tadi lo bisa ada di kebun mawarnya cowok itu? Lo kenal sama tuh cowok? Soalnya nggak mungkin banget lo nyasar sejauh itu gitu loh?" tak henti-hentinya Via terus bertanya tentang bagaimana caranya Ify bisa sampai di kebun mawar milik lelaki yang tidak mereka kenal.
Sebanyak Via bertanya, Ify tetap enggan buat menjawabnya. Gadis berdagu tirus itu tetap diam membisu. Dia tidak berniat sama sekali untuk berbagi kisah dalam mimpinya ketika koma pada Via. Ify lebih baik memendamnya sendiri dan hanya dia yang tahu.
"Lo nggak jadi penguntit 'kan, Fy?" tanya Via heran, karena takutnya Ify sengaja mengikuti laki-laki tadi.
"Apa jangan-jangan, lo suka sama cowok tadi terus lo ikutin tapi lo nggak berani bilang kalau lo suka?"
Tak henti-hentinya Via menebak ini dan itu. Dari tadi, bibirnya masih saja mengoceh dan tidak bisa diam. Ify bahkan sampai melirik ke arah Via dan menatapnya penuh tatapan mengintimidasi, sehingga membuat Via kembali mendesah pasrah.
"Gue yakin, yang tadi itu bukan pertama kalinya lo ketemu sama dia 'kan?"
"Bilang ke gue, Fy. Di mana dan kapan pertama kali lo ketemu atau ngelihat cowok tadi?" Via masih belum merasa takut, karena dia sampai menggoyang-goyangkan lengan Ify.
Sungguh, Via seperti bicara dengan patung atau boneka sekarang ini. Sekalipun Ify tidak pernah menjawab kata-katanya, atau hanya sekadar berdeham atau menggumam pun tidak. Sama sekali tidak!
Untung saja, Via sangat sabar menghadapi Ify yang kadang juga seperti orang bisu seperti ini. Tapi biasanya, kalau Via bercerita pasti Ify masih menyahutinya dengan gumaman semata. Tapi kali ini, tidak ada Ify yang berdeham atau menggumam.
"Fy, jawab kenapa sih? Gue ngomong sendirian nih." Via akhirnya menuntut jawaban dari Ify, karena dia kesal lama-lama didiamkan dan tidak dianggap ada oleh Ify seperti ini.
Ify mendesah, dan itu membuat Via tersenyum senang. Karena setidaknya dari tadi Ify juga mendengarnya. Meski Ify tidak memberi respons, yang penting Ify mendengar semua yang keluar dari bibirnya.
"Gue mau tidur."
Harapan Via pupus sudah. Dia pikir Ify mau menjawab semua pertanyaannya tadi, tapi ternyata itu hanyalah sebuah angan belaka. Sekuat tenaga, Via menelan kekesalan dan kemarahannya pada Ify yang sudah membuatnya seperti orang yang sedang naik roller coaster.
"Lo beneran nggak mau jawab pertanyaan gue, Fy? Lo seriusan mau bikin gue penasaran sampai besok?" Via tak tinggal diam, dia merengek seraya menggoyang-goyangkan bahu Ify bagai anak kecil yang merengek pada ibunya saat minta jajan.
Ify menolehkan wajahnya, dia menatap tajam ke arah Via sampai membuat Via mau tak mau akhirnya melepaskan tangannya dari bahu Ify karena tidak ingin mendapat serangan dari sahabat baiknya.
"Oke, gue diem." lagi-lagi Via kalah, dia lebih baik cari aman daripada mendapat jawaban tapi malah tulang-tulangnya patah semua.
Perlahan-lahan Via berdiri dari ranjang dan beralih duduk di kursi belajar Ify, dia lebih baik menyelesaikan tugasnya saja ketimbang meminta penjelasan dari Ify tapi hasilnya zonk.
Ish, kalau bukan Ify, gue cites udah. Dengus Via dalam hati.
"Gue tahu apa yang lo pikirin."
Mata Via mendelik mendengar Ify bicara seperti itu barusan. Dia jadi takut sendiri, kalau-kalau Ify sebenarnya bisa membaca hati dan pikiran orang. Contohnya barusan, Ify menyahut setelah Via bicara dari dalam hati saja.
"Eng-enggak kok, Fy. Gue lagi mikirin tugas sekolah." sahutnya sambil terkekeh pelan agar tidak terlalu mengganggu Ify.
Jantung Via masih berdetak kencang. Dia pun juga merasa kalau badannya berubah jadi panas dingin sendiri karena Ify. Semuanya karena Ify.