22. Hujan

1779 Kata
Secangkir kopi s**u menjadi teman Rio malam ini. Malaikat yang sudah lama dihukum oleh Tuhan itu sedang terpikirkan atas apa yang sudah dia katakan pada Ify tadi siang. Rio tidak menyangka akan melakukan itu pada Ify. Sebenarnya, tadi Rio tahu kalau Ify mengikutinya dari masih sama-sama di area sekolah. Hanya saja, Rio pura-pura tidak tahu dan terus melanjutkan niatnya yang ingin menarik Ify ke kebun mawarnya. Usaha Rio tidak sia-sia, Ify benar-benar mengikutinya sampai depan gerbang. Mulanya, Rio tidak ingin mengajak Ify ke tempat tinggalnya dengan cara seperti ini. Bahkan, Rio juga tidak berniat untuk melakukan apa-apa. Rio hanya ingin diam tanpa keributan, seperti apa yang sudah dia lakukan selama tiga belas tahun ini. Tetapi kata-kata Axel kala itu tidak bisa hilang dari pikiran Rio begitu saja. Meski Rio sudah berusaha mengabaikannya, semuanya berakhir sia-sia. Walau tiba-tiba Rio berubah pikiran dan ingin mengajak Ify ke kebun mawarnya, Rio tidak ingin melakukan hal itu secara terang-terangan. Jadilah, Rio memilih jalan seperti yang telah terjadi tadi siang. "Karena tidak mungkin dia tidak penasaran padaku setelah apa yang aku lakukan di alam mimpinya selama satu bulan penuh." gumamnya lirih, dibarengi dengan tangannya yang memegang cangkir kopinya. Rio melihat cangkir kopinya sebentar sebelum akhirnya dia menyesap isinya. "Argh, dingin." keluh Rio ketika dia baru meminum satu teguk, ternyata kopinya sudah dingin. Niat untuk menikmati kopi s**u hangat gagal sudah. Rio kehilangan momen tersebut, dan dia sudah tidak nafsu lagi untuk menikmati secangkir kopi s**u hangat. Kini, Rio memutuskan untuk ke dapur buat meletakkan cangkir kopinya ke wastafel dan dia ingin memejamkan mata segera. "Bagaimana? Kamu sudah menyelesaikan administrasinya?" Sebuah suara menghentikan gerakan Rio. Siapa lagi kalau bukan Raga? Hanya malaikat penurun hujan itu yang tinggal bersama Rio di sini, selain Axel tentunya. Namun bedanya, Axel tinggal di ruang bawah tanah dan di sana peralatannya lengkap. Jadi Axel tidak perlu ke atas untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. "Kamu yang ingin sekolah, kenapa aku yang harus mengurus administrasinya?" Rio membalikkan badan sambil melemparkan pertanyaan pada Raga. Benar, keperluan Rio ke SMA Golden's siang tadi untuk mengurus semua administrasi yang harus dibayar untuk biaya sekolah Raga. "Kamu lupa? Aku di dunia ini tidak punya siapa-siapa apalagi uang. Aku tidak bekerja karena aku masih pelajar. Jadi, otomatis kamu yang menjadi waliku. Sebagai wali, tentu saja kamu harus memenuhi semua kebutuhanku." Wajah Raga dipenuhi senyuman saat sedang menjawab sekaligus menjelaskan pertanyaan Rio. Akibat dari penjelasannya tadi, Rio jadi menahan napas sejenak guna mengendalikan kekesalannya pada Raga. "Rio, ayolah, kamu banyak uangnya. Kamu diberi hadiah kebun mawar berhektar-hertar sama Tuhan. Uangmu sudah bertumpuk, jadi tidak ada salahnya kalau kamu beramal padaku. Lagi pula, aku melakukan ini juga untuk kamu 'kan? Jadi, anggap saja apa yang kamu keluarkan untukku itu adalah bayaranku." Suara dentuman keras dari kaleng soda yang dihentakkan ke meja membuat Raga menaikkan kedua alisnya. Dia menatap Rio yang sepertinya sedang emosi dan kesal padanya. "Oke, kalau begitu bekerjalah dengan baik sesuai harga yang aku keluarkan untuk kamu." kata Rio pelan seperti orang tak bertenaga. "Ish, kamu sengaja membuat telingaku geli." Raga menjauh dari Rio sambil mengusap-usap telinganya yang kegelian karena barusan Rio sengaja bicara di samping telinganya. Tanpa banyak kata-kata lagi, Rio langsung meninggalkan Raga di dapur sendirian. Raga menghela napas lega, karena setidaknya Rio tidak benar-benar marah padanya. "Oke, karena kamu sudah mengeluarkan uangmu untuk keperluanku, akan pastikan kalau aku bakal melakukannya dengan baik." tekad Raga yang sudah bulat dengan keputusannya untuk membantu Rio. Raga melihat ke arah luar, dia keluar setelah mengambil satu kaleng kopi dingin dari dalam kulkas. Malaikat itu duduk di bangku bekas Rio tadi duduk. Pandangannya kini tertuju ke awan yang telah berubah menjadi gelap. "Ah, indahnya hidup di bumi." gumamnya seraya memejamkan mata. Tak berapa lama setelah Raga memejamkan mata, tangannya kini membuka kopi kalengnya dan meminum beberapa teguk. Padahal, Raga tahu kalau tanpa kopi pun dia tetap bisa terjaga sepanjang malam karena dia malaikat yang tidak mudah lelah. "Kenapa cuaca malam ini panas sekali?" keluh Raga karena meski dia berada di luar rumah, tubuhnya terasa berkeringat. Padahal kondisi malam hari. "Apa sebaiknya aku turunkan hujan saja?" tanyanya pada diri sendiri. Raga melihat-lihat ke arah langit, dia ingin naik sebentar untuk memastikan apa yang terjadi. Tapi rasa malas juga sedang melandanya. "Ah, tidak perlu ke atas. Aku tinggal menurunkan hujan saja dari sini." Satu jentikan jari yang Raga lakukan, satu petir menyambar langit. Senyuman tercetak di wajahnya saat dia melihat garis merah menyala, khas ketika suara petir menyapa. Raga tidak berhenti, dia kembali menjentikkan jarinya lagi. Malaikat satu itu, memang lebih suka bermain-main terlebih dulu sebelum akhirnya dia menjatuhkan rintik demi rintik air ke bumi. "Biar saja, biar Andreas dengar kalau keributannya di neraka membuat bumi ikut panas." gumamnya pelan. Raga tidak mau berhenti, dia terus saja menjentikkan jarinya berulang kali sambil sesekali tertawa terbahak-bahak. Begitu terus sampai berjalan sekitar dua menit. "Jangan banyak basa-basi, kamu mau melihatku mati?" Raga meringis kesakitan ketika kepalanya dipukul cukup kencang oleh Axel yang entah kapan datangnya. Tangannya kini sibuk mengusap-usap kepalanya yang terasa sakit. "Ish, aku hanya ingin bermain-main sebentar." Raga mendengus ketika Axel memarahinya. Dari tempatnya, Raga melihat Rio tertawa-tawa di dalam rumah sambil sesekali menjulurkan lidah kepadanya. Ingin sekali rasanya Raga mematahkan leher Rio agar tidak bisa meledeknya lagi. Tapi Axel sudah lebih dulu marah-marah. "Iya, iya, aku turunkan hujannya sekarang." Raga kalah jadinya. Malaikat satu itu akhirnya menjentikkan jari di kedua tangannya secara bersamaan, dan turunlah hujan seketika. Tanpa mendung, tanpa gerimis sama sekali. Hanya diawali dengan sambaran petir saja. Raga melihat Axel sudah kembali masuk ke dalam rumah. Keisengannya tidak berhenti sampai di sini saja. Malaikat itu tiba-tiba menepukkan kedua tangannya hingga terjadilah guntur yang sangat kencang menggelegar. "Dasar, anak kurang ajar!" Satu pukulan keras kembali Raga dapatkan dari Axel. Hanya bedanya, kali ini Axel memukulnya menggunakan tongkat sekop yang kebetulan ada di sekitar sana. Bahkan, Axel tidak hanya memukul kaki Raga satu kali saja, melainkan beberapa kali sampai Raga saja mencoba melarikan diri dari serangan Axel. Jika Raga dan Axel sedang sibuk berlari-larian di teras sambil sesekali terkena cipratan air hujan, Rio di dalam rumah sedang tertawa-tawa karena melihat kelakuan kedua lelaki yang terpaut usia sangat jauh itu. Raga juga, beberapa kali mengaduh kesakitan ketika tongkat sekop yang diayunkan oleh Axel mengenai tubuhnya. Jarang-jarang Rio bisa melihat pemandangan seperti ini. *** "Lah, lah, kok hujan sih?" Cepat-cepat Via membereskan buku-bukunya yang ada di meja lalu dia bawa masuk ke dalam kamarnya Ify. Malam ini, Via memang menginap di rumahnya Ify. Dia bilang kalau ada PR yang akan dikerjakan bersama. Tapi nyatanya, Ify malah sudah lebih dulu menyelesaikan tugasnya tanpa berdiskusi dengan Via. Parahnya lagi, Ify tidak menemani Via mengerjakan tugas. Gadis itu malah asik sendiri dengan acara melamunnya. Via berhasil menggeser pintu kamar Ify usai berlari-lari di bawah air hujan. Gadis itu menggerutu karena hujan yang tiba-tiba turun, tanpa mendung maupun gerimis terlebih dulu. "Telinga lo udah nggak berfungsi? Ada petir bolak-balik dari tadi tapi lo nggak paham sama peringatan mau turun hujan?" cibir Ify pada Via yang sekarang hanya bisa nyengir kuda. "Oh, udah ada petir toh tadi? Gue nggak tahu hahaha...." tawanya membuat Ify malas menatapnya. "Cringe anjir." Tanpa memedulikan Via lagi, Ify langsung keluar kamar. Gadis itu berjalan menuju dapur ingin mengambil minuman dingin. "Tungguin gue!" Via langsung berlari menyusul Ify, disertai nada riangnya karena dia bisa melihat Alvin malam ini. Gue yakin, gue bakal mimpi indah malam ini. Gumamnya pelan sambil sesekali memainkan rambut panjangnya. Via sangat bersemangat, dia bahkan bernyanyi ketika jalan ke arah tangga. Kakinya menari-nari ke kanan dan ke kiri. Itulah yang dilakukan Via saat sedang bahagia. Ketika sedang asik-asik bernyanyi, tidak sengaja kaki Via keseleo saat dia turun di tangga pertama dari atas. Via sudah menjerit dan tangannya berusaha meraih pegangan tangga yang ada di sisi tapi sepertinya tidak sampai. Tubuh Via sudah limbung dan dia tidak tahu apakah nanti dia masih hidup atau pindah alam kalau dirinya sampai jadi jatuh terguling dari atas tangga rumahnya Mr. Stuart. Ketika Via sudah memejamkan mata, bersiap untuk jatuh dalam kondisi mata terpejam. Tiba-tiba Via merasa seperti ada yang menarik lengannya dalam sekali tarik. Sungguh, Via merasakan badannya ditarik dan tidak jadi menggelinding dari tangga. Bang Alvin? Tanya Via dalam hati, karena dia juga belum tahu siapa yang menarik tangannya barusan. Hanya saja, Via memiliki firasat bahwa yang menariknya barusan itu Alvin. Via kembali menajamkan indra penciumannya. Dia rasa kalau tebakannya kali ini tidak meleset. Via hapal betul wangi parfum yang dikenakan Alvin setiap hari. Perlahan-lahan Via membuka matanya. Dalam hati, tadi Via berharap kalau Alvin bakal memberikan ekspresi cemas pada kondisinya. Sayangnya, ekspektasi Via tidak menjadi kenyataan. Wajah Alvin tetap datar dan dingin, seperti hari-hari biasa. "Lepas!" Via malah melongo, dia terkesima oleh suara Alvin. Inginnya dia melihat wajah cemas Alvin, tapi malah Via bisa mendengar suara Alvin tanpa diduga. Tampangnya sekarang sudah seperti orang bodoh, hanya karena apa yang dikatain Alvin barusan. Karena Via tak kunjung melepaskan pegangannya di tubuh Alvin, alhasil Alvin jadi melepaskan tubuh Via begitu saja. Hal itu membuat Via hampir saja terjatuh. Untung saja, Via punya keseimbangan tubuh yang bagus. Ish, untung sayang. Dengusnya kesal karena Alvin melepaskannya begitu saja, tapi kekesalannya hanya berselang selama tiga detik, tidak lebih. Via segera menyusul Alvin dengan riang. Wajahnya tidak bisa berhenti tersenyum jika mengingat hikmah dari insiden barusan. "Makasih udah nolongin gue, Bang." ucap Via yang kini berjalan di belakang Alvin. Jangan harap Alvin akan menjawab menggunakan bibirnya. Namanya juga orang pelit bicara. Via juga sudah tidak heran kalau Alvin jarang menyahuti ucapannya. Tapi setidak, Via tahu kalau Alvin mendengarnya. Tibalah mereka berdua di dapur. Di sana ada Ify yang sedang menikmati roti bakar sendirian. Via langsung berlari dan duduk di samping sahabatnya. "Jahat banget lo, bikin roti bakar sendirian." komentarnya. Ify menunjuk seplastik roti tawar beserta selai di atas meja pantry. Via mendesis mengetahui apa yang dimaksud Ify, kalau dirinya disuruh membuat sendiri. Via kembali berdiri dan mengambil minuman dingin dari dalam kulkas. Dia merasa tubuhnya kembali segar usai menyiram kerongkongannya dengan air dingin. "Ah, seger. Pantesan hujan ya, orang hari ini panas banget." gumam Via seraya berjalan ke arah di mana roti tawar berada. Ketika Via akan membuat roti bakar, sebuah guntur menggema sangat kencangnya. Ify sampai tersedak roti bakarnya karena saking kagetnya. Sedangkan Via, roti tawar yang dia pegang sampai terlepas dari tangannya. Hanya Alvin yang tidak kaget ketika guntur mengagetkan terjadi. "Hampir aja jantung gue copot." desah Via dibarengi gerakan tangannya yang mengusap-usap dadanya. "Ish, ganggu orang lagi makan aja." Ify pun menggerutu setelah dia berhasil meredakan batuknya karena tersedak roti bakar. Tanpa mereka tahu, bahwa yang membuat hujan dan guntur secara dadakan itu adalah teman sekelas mereka, alias Raga. Laki-laki yang tadi pagi ribut dengan Ify di kelas sampai hampir kena pukul tangan Ify namun gagal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN