Kedua mata Rio dan Ify saling bertemu. Mereka saling tatap, seolah tidak ada yang mau mengalihkan pandangan ke arah lain. Sampai akhirnya, Rio dibuat menoleh ke arah kiri saat Kova tiba-tiba meloncat ke arahnya dan duduk di atas pangkuannya.
Sementara Rio fokus pada Kova, berbeda dengan Ify yang langsung mengecek ponselnya. Dia melihat apakah ada pesan masuk dari Via ataupun Alvin. Ternyata memang ada dari mereka berdua.
Ify melihat pesan dari Via, gadis itu mengeluh tentang kegiatan pramuka yang tiba-tiba diadakan di sekolah. Sedangkan pesan dari Alvin, lelaki itu bilang kalau dia tidak bisa menjemputnya di sekolah karena ada urusan hotel secara mendadak. Dalam hati, sebenarnya Ify senang karena Alvin tidak bisa menjemputnya. Karena itu, jadi otomatis Alvin tidak akan tahu bahwa dia hari ini bolos sekolah dan malah ke rumah seorang laki-laki yang tidak Alvin kenal sama sekali.
Sebelum melanjutkan perbincangannya dengan Rio, Ify lebih dulu membalas pesan mereka agar Via dan Alvin tidak mencemaskannya. Ify melihat ke arah jam di ponselnya, ternyata sekarang sudah pukul lima sore. Tidak heran dia melihat Raga pulang, karena Via bilang di sekolah sedang ada kegiatan pramuka dadakan. Untung saja tadi dia kabur dari pagi, jadi tidak perlu berlama-lama di sekolah yang malah membuatnya bosan.
"Aku baru ingat kalau kamu seharian ini ada di sini, apa kamu tidak lapar?" Rio membuka suara dengan topik berbeda.
Ify mendongakkan pandangannya. Dia melihat Rio yang sangat tulus bertanya padanya. Terlihat jelas dari kedua bola mata Rio, kalau lelaki itu memang orang baik. Tidak seperti dirinya yang sangat-sangat jahat menjadi perempuan. Tapi Ify suka menjadi dirinya sendiri yang begini.
"Gue nggak laper." jawab Ify masih tidak bersahabat, padahal dia sudah cerita ngalor-ngidul pada Rio bagaikan bestfriend yang sudah lama tidak ketemu.
Baru selesai Ify menjawab seperti itu, tak lama kemudian Rio dan Ify sama-sama mendengar suara perut Ify berbunyi khas orang lapar. Rio langsung tertawa sangat kencang, tapi tak lama. Hanya sebentar karena Rio takut nantinya Ify malah semakin malu padanya.
Ini para pasukan cacing di perut nggak bisa diajak kompromi banget sih? Kalau gue jawab nggak laper ya nggak laper, kenapa kalian malah jawab laper sih? Protes Ify pada semua cacing-cacing di dalam perutnya.
"Nggak bisa dibiarin, aku akan buatkan makanan buat kamu. Aku nggak mau kalau sampai kamu kenapa-napa, nanti aku yang disalahkan."
Rio langsung berdiri menuju dapur, dia bersiap untuk membuatkan makanan yang simple saja untuk Ify. Yang penting, tidak membuat Ify menunggu lama.
"Gue nggak apa-apa, gue nggak laper." Ify masih mengelak bahwa dia tidak lapar.
Suara teriakan Ify tidak didengar oleh Rio, lelaki itu terus saja berjalan ke dapur dan mengambil beberapa bahan dari dalam lemari pendinginnya. Karena tidak dihiraukan oleh sang pemilik rumah, Ify akhirnya menyusul Rio ke dapur. Dia melihat Rio sudah mengambil beberapa bahan dan sekarang sedang memakai apron untuk di dapur.
"Sudah, kamu nggak perlu sungkan. Kamu duduk saja di sana." tunjuk Rio pada salah satu bangku yang ada di samping meja pantry.
"Harus berapa kali gue bilang kalau gue nggak laper?"
Rio menatap serius ke arah Ify, namun tak lama dia langsung tertawa pada gadis berdagu tirus itu.
"Aku tidak mau membuatkan makanan buat kamu. Tapi aku mau membuatkan makanan buat cacing-cacing di perut kamu. Kasihan mereka, udah nungguin makanan dari tadi tapi nggak dikasih-kasih makan sama Tuannya." lancar sekali bibir Rio mengatakan ini.
Untuk yang sekarang, Ify tidak bisa membalas perkataan Rio karena dia tidak mau dijuluki cacing. Lagi pula, dia juga bukan cacing. Ify hanya bisa menggeram kesal.
Meski kesal, tapi Ify menuruti apa kata Rio yang memintanya duduk di bangku samping meja pantry. Sebenarnya meja pantry itu tidak terlalu jauh jaraknya dari Rio memasak.
Sekarang, Ify bisa melihat kelihaian Rio dalam bermain pisau dapur. Lelaki itu dengan cepat memotong-motong bahan beserta semua yang dibutuhkan di masakannya. Sementara Ify, dia sama sekali tidak mengerti tentang perkara masak-memasak. Bahkan kadang kala, dia memasak air untuk merebus mie instan saja gosong.
"Lo dulunya sekolah masak?" tanya Ify tiba-tiba di sela-sela keseriusan Rio yang sedang memasak.
"Enggak." Rio menggelengkan kepalanya.
"Lo pernah kerja jadi koki?" Ify masih belum puas dengan jawaban Rio yang sebelumnya.
"Enggak juga."
"Atau lo pernah punya usaha restoran?"
"Enggak, Fy. Aku tidak sekolah memasak, atau bekerja di dapur atau punya restoran. Tidak semuanya. Memangnya kenapa?" Rio balik bertanya.
Dia beneran nggak pernah ngalamin semua itu, atau emang dia lagi mau pamer aja? Batin Ify.
Rio menatap ke arah Ify yang seperti orang melamun. Ini pertama kalinya Rio memasak untuk perempuan, terlebih lagi perempuan itu manusia. Bukan malaikat seperti Shilla.
Benar juga, mengenai Shilla tadi, dia sudah kembali ke surga setelah bermain dengan Kova selama beberapa menit.
"Shil, kamu pernah nggak denger tentang manusia yang memiliki energi khusus?" Rio memberanikan diri bertanya seperti ini pada Shilla, walau dia tahu nantinya Shilla akan lebih banyak bertanya padanya.
"Energi khusus?" Shilla menatap heran ke arah Rio yang sekarang malah menganggukkan kepalanya.
"Energi seperti apa yang kamu maksud?"
Rio menimbang kembali tentang apa yang dia pikirkan. Dia sedikit ragu tapi ingin tahu. Rio cuma tak ingin kalau sampai Shilla bertanya yang tidak-tidak padanya. Apalagi Shilla adalah tipe malaikat yang tidak akan menyerah sebelum mendapatkan jawaban yang dia inginkan.
"Ah, enggak. Lupain aja." kekeh Rio membuat Shilla mengerutkan keningnya.
Belum sampai Shilla bertanya yang aneh-aneh padanya, mereka sudah lebih dulu mendengar suara lonceng milik Shilla berbunyi begitu keras.
"Tuh, dipanggil sama Tuhan." kata Rio mengingatkan.
"Iya-iya, ini juga aku mau langsung ke atas."
Shilla langsung berpamitan pada Kova sebelum dia kembali ke surga untuk memenuhi panggilan dari Tuhan.
"Aku naik dulu." pamit Shilla pada Rio sang pemilik rumah.
"Hati-hati." Rio tetap saja mengucapkan hati-hati pada temannya, karena bagaimanapun juga, Shilla bisa bertemu dengan rintangan saat kembali ke surga.
Shilla sudah menghilang, tersisa Rio dan Kova saja di sana. Tak lama, Rio mendesah lega. Dia berterima kasih sekali pada Tuhan yang sudah menolongnya dari pertanyaan Shilla.
"Salahku juga, kenapa tadi nanya ke Shilla." gumamnya pelan yang menyalahkan dirinya sendiri.
Tapi tak lama, Rio sudah berhenti menyalahkan dirinya karena suara gonggongan Kova. Malaikat setengah manusia itu segera mengajak Kova bermain sambil menunggu Ify terbangun.
"Apa dia gadis yang kehilangan Mamanya tiga belas tahun yang lalu?"
Lagi-lagi, Rio dikagetkan oleh suara. Jika tadi dia kaget oleh suara Shilla, sekarang Rio kaget mendengar pertanyaan Axel. Lelaki paruh baya itu barusan melihat Ify tidur di sofa dengan sangat nyenyak.
"Aku mohon, jangan bahas ini di depan dia." pinta Rio karena tak mau membuat rencananya hancur seketika.
"Oke, aku akan menjaga rahasia itu dan menunggu sampai kamu yang akan membicarakannya sendiri." Axel paham, dia mengangguk lalu kembali ke kebun.
"Rio!" panggil Ify sambil melambaikan tangannya di depan wajah Rio.
"Ah, ya? Kenapa?" Rio seketika tersadar dan kembali ke waktu bersama Ify sekarang.
"Bisa-bisanya lo lagi masak tapi ngelamun. Kalau tiba-tiba kebakaran gimana?" Ify kesal sendiri pada Rio karena lelaki itu tadi tak kunjung menjawab pertanyaannya saat dia memanggilnya berulang kali.
Saat itu juga, Rio meminta maaf pada Ify karena bukan niatnya untuk tidak fokus dan melamun seperti tadi. Lagian, Rio juga tidak tahu kenapa tiba-tiba teringat Shilla.
"Awas aja kalau lo sampai ngelamun lagi, gue bakar beneran ini rumah." ancam Ify, hanya agar Rio tetap fokus pada apa yang dia kerjakan.
Ancaman dari Ify membuat Rio tertawa. Tapi Rio mengiyakan sambil kembali fokus. Bahkan sekarang, Rio sudah selesai memasak. Dengan sigap, lelaki itu menyiapkan dua piring nasi putih ke atas meja pantry yang sudah ada Ify di sana. Tak lupa, Rio juga menghidangkan masakan ala rumahan yang berhasil dia olah tanpa gosong.
Rio duduk di seberang Ify, mereka saling berhadapan dan di tengah-tengah ada makanan. Rio melihat semua masakan yang Rio buat, terlihat menggoda. Bahkan dari aromanya saja, sudah menggugah selera.
"Dimakan, bukan dipelototin doang." titah Rio seraya mengambil sendok yang dia letakkan di atas piringnya.
Ify melihat satu persatu masakan hasil olahan tangan Rio. Dia tidak tahu, kalau Rio berhasil membuat semua itu sendirian dalam waktu singkat.
"Ini seriusan bisa dimakan? Lo nggak naruh racun di sini 'kan?" tanyanya pada sang juru masak.
Rio tidak menjawab, dia langsung mengambil lauk-pauk ke piringnya dan menyuapkan ke dalam mulut. Rio sangat menikmatinya, dia memuji masakannya sendiri.
"Kalau kamu nggak mau makan masakan aku, nggak usah dimakan. Jangan mikir yang enggak-enggak. Lagi pula, ngapain aku naruh racun di masakan yang bakal aku makan sendiri?" tanya Rio balik seraya melirik ke arah Ify.
Gadis itu jadi gelagapan mendengar pertanyaan Rio. Dia tidak mengira kalau Rio bisa juga baper begini. Padahal dari tadi, Ify sudah bicara kasar terus pada Rio tapi lelaki itu selalu menanggapinya dengan tawa.
"Ya elah, cowok kok baperan. Nggak asik lo." kata Ify yang kesal karena Rio.
Ify mengikuti Rio, dia mengambil lauk-pauk dan dia taruh di dalam piringnya. Gadis itu ikut makan. Tanpa Ify duga, di suapan pertama, Ify sudah dibuat takjub oleh rasa masakan Rio. Ini cuma masakan rumahan, tapi Ify bisa bilang kalau masakan Rio jauh lebih enak ketimbang masakan asisten rumah tangga di rumahnya.
Rio mengamati ekspresi Ify yang sepertinya puas pada masakannya. Dalam diam, Rio tersenyum melihat Ify suka dengan masakannya.
"Gimana? Enak 'kan masakan aku?"
"Uhuk-uhuk...!"
Pertanyaan Rio berhasil membuat Ify tersedak. Gadis itu sampai terbatuk-batuk karena tersedak makanannya. Rio sangat tanggap, dia segera menuangkan air putih ke gelas kosong yang ada di sampingnya lalu dia berikan kepada Ify.
"Diminum, Fy."
Satu gelas air putih berhasil Ify habiskan. Gadis itu masih memukul-mukul dadanya sendiri yang terasa sedikit nyeri. Rio jadi meringis, padahal bukan begini niatnya bertanya pada Ify.
"Lo b**o banget sih? Orang lagi makan malah ditanya. Keselek 'kan gue jadinya?" marah Ify pada Rio.
"Ya maaf, aku nggak bermaksud begitu tadi. 'Kan cuma nanya doang."
Tanpa menghiraukan Rio, Ify kembali menuangkan air putih ke gelasnya. Setelah beberapa menit, Ify kembali melanjutkan makannya. Kali ini, Rio akan diam dan tidak akan bertanya apa-apa pada Ify karena takut gadis itu kembali tersedak seperti tadi.
Rio melihat jam dinding, ternyata sekarang sudah jam enam lewat lima belas menit. Tapi Raga belum juga pulang. Jujur saja, Rio khawatir tentang Raga. Tetapi Rio hanya bisa berpikir positif kalau mungkin saja Raga sekarang sedang berada di atas.
"Kamu mau tambah?"
Baru lah, setelah melihat Ify menghabiskan makanannya, Rio baru berani bertanya karena tidak mungkin Ify bakal tersedak lagi.
"Nggak usah, gue udah kenyang." Ify menolak.
Rio mengerti, dia langsung membereskan makanan yang masih tersisa tadi ke dalam lemari pendingin. Dia juga langsung mencuci piring kotor serta peralatan dapur yang tadi dia pakai. Ify melihat saja Rio melakukan itu semua tanpa ada niat membantunya sedikit pun.
"Lo di rumah ini cuma berdua sama Raga?" Ify tidak bisa kalau tidak bertanya, dia kembali mengeluarkan pertanyaan untuk Rio.
"Bertiga." Rio meralat kata dua yang Ify ucapkan.
"Bertiga? Sama siapa lagi?" tanyanya sembari mengingat-ingat siapa lagi yang dia lihat di rumah ini selain Rio dan Raga.
"Ada satu orang lagi. Dia memang jarang di sini, karena kamarnya ada di basement."
Ingatan Ify berputar pada kejadian beberapa hari lalu saat dia melihat ada lelaki tua masuk ke rumah ini. Tidak ada lagi selain lelaki tua itu.
"Ah, Kakek-kakek itu? Dia Kakek lo?"
Rio kembali berjalan ke arah Ify setelah dia berhasil mencuci semua peralatan dapur dan piring kotor.
"Kamu pernah melihatnya?"
"Pernah, pas gue ke sini kemarin gue ngelihat dia." angguk Ify membenarkan pertanyaan Rio.
"Iya, dia Kakekku. Kami bertiga tinggal di sini." Rio mengiyakan, karena memang setiap ada yang bertanya tentang siapa Axel di rumah ini, Rio selalu menjawab bahwa dia adalah kakeknya.
Ify hanya ber-oh ria seraya mengangguk-angguk paham. Gadis itu sampai lupa sekarang sudah jam berapa. Padahal dia sudah seharusnya pulang dan berada di rumah.
"Kamu nggak pulang?" tanya Rio lagi.
Anjir, kenapa gue bisa lupa pulang gini? Mana udah hampir jam tujuh lagi. Gue b**o banget sih, bisa sampai lupa begini? Gerutu Ify dalam hati.
"Iya, gue harus pulang. Gue mau panggil taksi sekarang."
Ify langsung berlari ke arah sofa di ruang tamu dan mencari ponselnya. Saat akan memanggil layanan taksi, ternyata ponselnya sudah mati habis baterai.
"Ish, b**o banget sih." umpat Ify.
"Kenapa?" tanya Rio.
"HP gue mati, gimana caranya gue manggil taksi?" gerutunya lagi.
"Biar aku antar kamu pulang, di sini tidak ada taksi karena memang jalan buntu."
Rio bersedia untuk mengantar Ify pulang, tapi gadis itu malah yang jadi ragu karena takut ketahuan oleh Alvin lalu nanti dia dikira punya hubungan yang spesial dengan Rio.
"Nggak perlu, gue minjem HP lo aja buat manggil taksi." Ify menolak dan masih kekeuh ingin memanggil jasa taksi.
Saat Ify menoleh ke belakang, ternyata Rio sudah tidak ada di belakangnya. Lelaki itu entah pergi ke mana.
"Ayo, aku antar!" ajak Rio sambil menunjukkan kunci mobilnya.
Ify jadi terdiam melihat ini. Dia seperti seorang gadis yang main ke rumah pacarnya lalu diantar pulang. Persis seperti itu. Cuma sayangnya, antara dirinya dan Rio tidak ada hubungan apa-apa.
"Kenapa malah bengong?" Rio membuyarkan lamunan Ify.
"Oh, enggak. Kalau lo maksa ya, gue bisa apa?"
Ify langsung membereskan tasnya dan berjalan ke arah pintu rumah Rio. Tapi hanya sampai depan pintu saja. Ify tidak akan mungkin berani keluar sendirian.