"Rapat selesai."
Fauzy, lelaki yang menjadi sekretaris pribadi Alvin memberi tahu kepada semua yang datang ruang rapat siang ini. Baru saja, Alvin memberikan selembar kertas bertuliskan kalau dia sudah jenuh dengan rapat yang begitu monoton. Sehingga, Alvin meminta Fauzy untuk menghentikannya. Alvin rasa, dia lebih baik istirahat ketimbang mendengarkan ocehan mereka-mereka yang lebih sibuk sendiri.
Semua orang yang sedang berdiskusi namun tidak juga menemukan solusi itu tercengang. Bibir mereka terdiam seketika, mau tak mau mereka pun langsung membereskan berkas-berkas yang mereka bawa ke ruang rapat. Sementara Alvin, dia sudah keluar ruangan dari tadi usai Fauzy mengatakan bahwa rapat selesai.
Banyak dari karyawannya Alvin yang mencibir lelaki berusia dua puluh lima tahun itu karena pelit sekali bicara. Sebagian dari mereka bahkan ada yang meremehkan kemampuan Alvin sebagai pemimpin. Sayangnya, semakin banyak orang yang tidak menyukai Alvin, semakin ingin Alvin menyumpal mulut mereka dengan bukti-bukti kesuksesan yang sudah dia raih di usia muda.
Memang seperti itulah manusia. Tahunya hanya saat berhasil, tanpa tahu ketika masih sedang berproses. Tidak sedikit yang menganut sekte itu.
Sampailah Alvin di ruang kerjanya, diikuti Ozy yang berjalan di sampingnya. Alvin memikirkan Ify, dia langsung mengambil ponselnya dan menelepon Ify. Tak lama, kening Alvin mengerut ketika nomor yang dia hubungi tidak aktif. Saat Alvin akan menelepon adiknya lagi, Fauzy sudah lebih dulu menyelanya dan memperlihatkan agendanya untuk satu minggu ke depan serta memberikan beberapa berkas untuk ditandatangani.
Di kursi kejayaannya, Alvin memerhatikan juga membaca dengan teliti agar tidak ada yang salah. Di mejanya, ada sekitar empat berkas yang harus dia tandatangani. Satu persatu dia pelajari dan tangannya mulai membubuhkan tinta hitam di atas kertas. Tiga puluh menit berlalu, Alvin selesai dengan keempat berkas tadi. Ada satu berkas yang bermasalah dan Alvin segera meminta Fauzy untuk membenahinya.
Pandangan Alvin kembali fokus ke arah ponselnya. Lelaki itu kembali menelepon adiknya. Kali ini panggilannya tersambung tapi tidak diterima oleh Ify. Sebuah kerutan kembali tercetak di keningnya karena Ify yang tidak menerima telepon darinya.
Kekhawatiran Alvin mulai muncul, dia ganti menelepon Via. Baru juga dering pertama, Via sudah menerima panggilan darinya.
"Hallo!" sapa Via khas dengan suara cemprengnya.
Alvin masih diam, menunggu apa yang sekiranya akan Via katakan lagi padanya.
"Hallo, Bang Alvin!" Via kembali bersuara.
Meski sudah dipanggil, Alvin tetap diam. Lelaki itu antara malas bicara dan tidak tahu mau bicara apa.
"Kalau nggak ngomong, gue tutup nih."
"Ify?"
Ancaman Via akhirnya membuahkan hasil. Meski hanya satu kata yang keluar dari bibir Alvin, tapi setidaknya Via bisa tahu apa yang ingin Alvin ketahui.
***
Via sedang gelisah di dalam taksi sambil menerima panggilan dari Alvin. Dia kesal karena Alvin tak kunjung bicara.
Untung gue sayang sama lo, Bang. Kalau enggak, udah gue pites lo dari lama. Batin Via yang emosi menunggu Alvin bicara.
Via menepuk bahu sopir taksi tadi lalu menempelkan jari telunjuknya sendiri ke hidungnya, memberi isyarat kepada sopir taksi untuk diam. Perlahan-lahan Via memberikan uang kepada sopir tadi dan keluar secara pelan-pelan juga agar Alvin tidak curiga.
Karena kesal, Via terpaksa mengancam Alvin dan tak lama Alvin langsung mengatakan apa maksud serta tujuannya menghubungi Via.
"Ify? Ada nih sama gue sekarang." sahutnya berusaha membuat Alvin tidak curiga, padahal jaraknya dengan Ify masih lumayan.
Alvin kembali diam, lalu tak lama Via mendapat pesan dari Alvin kalau lelaki itu ingin mendengar suara Ify.
"Ish, dia ngapain nelfon kalau endingnya juga gue harus baca chat?" dengus Via usai membaca pesan dari Alvin, tanpa takut kalau Alvin mendengarnya.
"Bantar." sahutnya sewot.
Cepat-cepat Via mendekati Ify yang masih terduduk di sisi jalan. Via takut kalau kondisi Ify memburuk. Terlebih lagi, sepertinya Ify habis ketakutan. Via berjongkok di depan Ify, lalu dia berikan ponselnya pada teman baiknya itu.
"Bang Alvin mau denger suara lo." kata Via begitu jelas tanpa ingin membuat Ify bingung.
Kepala Ify mengangguk, dia mengambil ponsel milik Via dan mendekatkan benda pintar itu ke telinganya. Sekuat tenaga Ify berusaha mengendalikan suaranya yang sedikit gemetar agar tidak membuat Alvin cemas.
"Gue baik-baik aja." ucapnya tanpa banyak basa-basi.
"Lo nggak perlu jemput, biar nanti gue pulang bareng Via. Balik sekolah, gue nanti mau ngemall dulu sama Via." Ify kembali memberi tahu Alvin meski kakaknya tidak bertanya dan hanya diam saja.
"Gue tutup teleponnya."
Seperti dugaan Via, Ify langsung memutus sambungan telepon dengan Alvin begitu saja usai berkata demikian. Pandangan Via kini tertuju pada lelaki manis yang keluar dari dalam gerbang berwarna putih. Di tangan lelaki itu ada segelas air putih yang Via tebak, kalau air itu untuk dia berikan kepada Ify.
"Dia siapa, Fy?" tanya Via berbisik di samping telinga Ify.
Belum sampai Ify menjawab, Rio sudah lebih dulu memberikan segelas air kepada Ify yang kelihatan jelas kalau gadis itu masih syok karena melihat beberapa pohon mawar di dalam ladang Rio.
"Perkenalkan, namaku Rio. Aku adalah pemilik ladang mawar di sini." Rio memperkenalkan dirinya dengan begitu ramah meski lelaki itu tahu bahwa Via jauh lebih muda darinya.
Via sontak membekap mulutnya sendiri, dia melihat ke arah Ify yang sesekali masih mencoba mengatur napasnya. Mendengar di sini ada ladang mawar, hal itu membuat Via jadi ketakutan. Jelas saja Via takut kalau tiba-tiba Ify jatuh pingsan lalu dinyatakan koma seperti yang terjadi tujuh minggu lalu. Sebagai teman yang baik, pastilah Via tidak ingin Ify mengalami koma untuk kedua kalinya karena hal yang sama pula. Jadilah Via langsung memanggil taksi online untuk menjemput mereka di sini. Via ingin cepat-cepat membawa Ify pulang agar kondisi Ify tidak memburuk.
"Terima kasih sudah menolong teman saya." kata Via dengan sangat sopan karena tidak mau dianggap sebagai orang yang tidak tahu berterima kasih.
Rio membalas ucapan terima kasih Via dengan sebuah senyuman tulus. Lelaki itu juga mengatakan kalau tadi dia pun sudah mengajak Ify untuk istirahat sejenak di dalam rumah, tetapi Ify menolak ajakannya. Jadilah, mau tak mau Rio juga menemani Ify di depan gerbang ladang mawarnya karena Rio merasa bahwa ini sudah tanggung jawabnya sebagai orang yang kemarin membawa Ify ke sini.
"Ah, sekali lagi terima kasih sudah berbaik hati pada teman saya." Via kembali menganggukkan kepalanya hanya untuk menghormati Rio belaka.
"Tidak apa-apa, kalau aku bisa bantu pasti aku bantu kok. Kebetulan juga, di daerah sini tidak ada siapa-siapa selain aku." sahut Rio santai seraya menyilangkan kedua tangannya di depan d**a.
Kata-kata Rio barusan membuat Via jadi semakin merasa tidak enak. Berbeda dengan Ify yang bisa pergi begitu saja tanpa mengucapkan kata terima kasih. Kebetulan, taksi pesanan Via juga sudah tiba. Sebelum pulang, Via lebih dulu kembali mengucapkan terima kasih pada Rio.
"Kalau kalian mau, kalian bisa main ke sini kapan saja. Tempat ini terbuka buat kalian." dengan percaya dirinya, Rio sengaja mengatakan ini untuk menarik perhatian orang di kalangan atas.