Hari pertama bekerja, Meisya disambut baik oleh atasannya dan juga semua karyawan di toko kue tersebut. Bos Meisya adalah seorang ibu-ibu yang berumur 55 tahun. Rekan kerja Meisya juga baik. Namanya Hana—seorang perempuan yang umurnya sekitar 25 tahunan. Hana mengajari Meisya banyak hal, sebelum dia cuti hamil mulai minggu depan.
"Yuk makan siang dulu!" Hana mengajak Meisya saat melihat jam di ponselnya sudah menunjukkan pukul 12:10.
"Tanggung, Mbak. Ini dikit lagi kelar," sahut Meisya yang tampak fokus dengan layar di depannya. Dia meng-input beberapa data, sesuai dengan yang diajarkan oleh Hana. Untung saja dia cepat memahami apa yang telah diajarkan oleh Hana.
"Nanti lanjut lagi, habis makan siang. Ayo! Itu nggak harus selesai hari ini juga. Kamu masih punya banyak waktu."
Meisya mengangguk, lalu jemarinya menekan tanda ctrl+s. Meisya mengambil dompet di dalam tasnya. Tadi pagi, dia sarapan dengan lauk sisa kemarin yang sudah dipanaskan. Untuk siang ini, dia berencana untuk makan di warteg saja, yang murah meriah. Sesuai isi dompet.
"Emm, Mbak, aku kayaknya mau makan di warteg aja. Kalau Mbak gimana?" tanya Meisya sebelum mereka keluar dari ruangan admin. Hanya ada beberapa ruangan di toko itu. Di bagian depan, tempat kue dijual dan ditaruh di etalase, bagian kantor yang hanya diisi oleh admin dan pemilik toko, pantry dan 2 toilet. Si pemilik toko tidak setiap hari datang ke sana, hanya tiga atau 4 kali dalam seminggu.
"Mbak lagi mau makan di DcM depan, Sya. Debayku sepertinya lagi ingin makan di sana." Di depan memang ada sebuah tempat makan cepat saji. Namun, Meisya tidak bisa makan di sana. Uang yang dia punya, untuk makan dan beli bensinnya selama sebulan ke depan. "Ikut aku makan di sana aja, yuk!"
Meisya sebenarnya mau-mau saja mengiyakan ajakan bumil satu ini. Tapi kondisi keuangannya tidak memungkinkan untuknya makan di tempat itu.
"A-aku... "
"Tenang aja, Mbak yang traktir, kok." Hana seperti mengerti akan Meisya tidak ingin makan di tempat sesuai keinginannya.
Meisya merasa tidak enak. Baru hari pertama kerja, dia sudah merepotkan orang lain saja.
"Enggak usah, Mbak. Aku mau makan di warteg aja," ujar Meisya menolak.
Hana menggeleng.
"Wartegnya cukup jauh dari sini, Sya. Udah, jangan khawatir. Mbak nggak akan bangkrut kok, hanya dengan traktir kamu makan," canda Hana.
Setelah menimang-nimang, Meisya akhirnya menerima ajakan Hana.
Saat melewati karyawan di bagian penjualan, Meisya tak sengaja mendengar mereka membicarakan tentang anak bos yang tampan. Tatapan mereka lurus ke depan—ke arah parkiran mobil. Mata Meisya menyipit ketika melihat seseorang yang serasa dikenalnya. Seseorang yang pernah menyatakan perasaan padanya, namun Meisya tolak. Karena waktu itu, Meisya tidak mau menjadi sasaran bully-ing di sekolah. Lelaki yang menyukainya itu nyaris sempurna, idola kaum hawa di sekolahnya. Tajir, tampan dan juga pintar. Perempuan mana yang tidak suka? Meisya sadar diri. Jika dia menerima lelaki itu waktu dulu, maka akan banyak yang memusuhinya dan dia akan di-bully pastinya. Makanya, Meisya memilih mundur.
Ah, masa dia? Bukannya waktu itu katanya kuliah ke luar negeri?
Meisya tak patah hati waktu itu. Pasalnya, dia juga tidak memiliki rasa pada lelaki itu. Saat kelulusan, lelaki itu sempat pamit pada Meisya dan mengatakan akan melanjutkan kuliah di luar negeri.
"Namanya Arshaka. Putra sulungnya bos kita," ujar Hana menyadari tatapan mata Meisya yang mengarah pada objek yang sama dengan karyawan lainnya.
Sontak Meisya menoleh pada Hana.
"Ganteng, tampan, pintar dan juga ramah. Semoga aja anak Mbak nanti bisa kayak dia," ujar Hana sambil mengelus perut buncitnya. Menurut hasil USG, calon anaknya itu laki-laki, seperti yang dia harapkan.
"Dia baru pulang dari luar negeri. Liburan semester kemarin ini, dia enggak pulang."
Tak salah lagi. Lelaki yang sedang Hana bicarakan adalah seseorang yang juga dikenal Meisya. Pandangan Meisya beralih ke arah parkiran kembali. Dari kaca depan mobil, terlihat jelas wajah lelaki itu. Meisya menahan langkahnya untuk tidak segera keluar, menunggu mobil lelaki itu meninggalkan parkiran toko.
Jadi, Meisya rupanya bekerja di toko kue milik mama dari seseorang yang pernah menyatakan perasaan padanya waktu SMA.
***
Mobil Mario sudah berada di depan toko kue tempat Meisya bekerja. Entah dari mana dia mendapatkan alamatnya.
Tepat pukul 17:00, Meisya keluar dari dalam toko tersebut bersama Hana. Dia mendengus saat melihat mobil milik Mario yang sudah terparkir di depan toko. Lelaki itu benar-benar membuktikan ucapan saat menelepon Meisya semalam.
Mario segera keluar dari dalam mobilnya begitu melihat Meisya. Dia melangkahkan kakinya ke arah Meisya yang tiba-tiba menghentikannya langkahnya.
"Pacar kamu?" tanya Hana pada Meisya karena tatapan Mario yang tertuju kepada Meisya, dengan senyum lebarnya.
Meisya menggeleng cepat.
"Cuma temen kampus," sahut Meisya.
"Oh... ya udah. Mbak duluan, ya!" Hana berjalan ke arah salah satu mobil yang terparkir di sana. Ada suaminya yang menjemput.
"Hai, Sya!" sapa Mario dengan cengiran khasnya.
"Dari mana lo tahu tempat kerjaan gue?" balas Meisya ketus—tanpa menjawab sapaan Mario.
"Apa sih, yang enggak gue tahu tentang lo?"
Mario terkekeh. "Kenapa? Mau menghindar dari gue? Kemarin ini nomor gue sampe diblokir."
"Gue nggak mau berurusan sama lo lagi, Kak," jawab Meisya jujur. Tentu saja hal itu membuat salah satu alis Mario terangkat.
Nggak mau berurusan kata lo? Justru, gue akan bikin lo nggak bisa lepas dari gue.
"Gue ada salah sama lo?" tanya Mario pura-pura tidak mengerti.
"Gue cuma nggak mau orang-orang sampe salah paham dengan kedekatan kita."
"Nggak ada yang tahu kalau kita dekat. Lagian, menurut gue, wajar aja. Lo sahabatnya Pelangi. Nggak ada salahnya gue dekat sama sahabat dari pacar gue sendiri."
Meisya sungguh tak mengerti apa yang ada di dalam pikiran Mario saat ini. Biasanya juga, mereka hanya sekedar kenal saja. Mereka sama sekali tidak dekat, walau Meisya merupakan sahabat dari Pelangi.
"Gue mau pulang," ujar Meisya tak mau berbicara lebih lama lagi dengan Mario.
"Makan dulu sebelum pulang, mau?"
"Nggak usah. Terima kasih. Gue mau makan di rumah aja." Meisya berbalik badan menuju motornya terparkir.
Mario tidak semudah itu menyerah dalam mengejar sesuatu. Tepatnya, dalam menjalankan rencananya.
"Barusan sebelum ke sini, gue udah ke rumah lo buat minta izin kalau lo pulang telat hari ini," ujar Mario yang menghentikan langkah kaki Meisya terhenti. Dia berbalik ke arah lelaki itu.
"Maksud lo apa ngelakuin ini? Apa tujuan lo deketin gue?"