Menjelang UAS sampai dengan tibanya waktu libur semester, Meisya tidak pernah lagi bertemu dengan Mario. Bukan karena kebetulan, tapi Meisya sengaja menghindar dari lelaki itu. Saat Pelangi mengajaknya makan bersama di kantin atau pergi ke tempat perbelanjaan, Meisya tidak mau ikut jika ada Mario. Meisya mencari-cari alasan pada Pelangi.
Meisya juga mem-blokir kontak lelaki itu. Dia berharap tidak berurusan lagi dengannya. Semoga saja. Bukan berarti Meisya tidak tahu diri karena tidak membalas kebaikan yang pernah Mario lakukan padanya. Namun, Meisya hanya tidak ingin kedekatannya dengan Mario diketahui Pelangi.
Pelangi mengajak Meisya untuk menghabiskan libur semester di rumahnya, di Jakarta. Dan juga, Pelangi ingin Meisya ikut jalan-jalan dengannya dan keluarga besarnya. Meisya menolak. Libur semester kali ini dia ingin mencari kerja paruh waktu untuk biayanya sehari-hari, kebutuhan kuliahnya. Penghasilan sang ibu dari hasil menjahit tidaklah seberapa. Bisa makan dua kali sehari saja, Meisya bersyukur. Ibunya yang tak punya keahlian khusus dalam menjahit, sehingga tidak banyak yang mempercayakan jahitan padanya.
Biaya sehari-hari tidaklah murah. Ada listrik, sembako, lauk-pauk, kebutuhan kamar mandi yang harus dipenuhi. Deborah, ibunya Meisya tidak pernah mengeluh tentang keadaan mereka. Namun, Meisya tahu, bahwa ibunya bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Karena ayahnya, masih perlu istirahat pasca operasi.
Meisya pikir, dia harus kerja. Walau tidak bisa membantu ibunya memenuhi kebutuhan sehari-hari, setidaknya dia harus bisa memenuhi kebutuhan dirinya sendiri, termasuk untuk kuliahnya. Meisya bersyukur, setidaknya dia tidak perlu pusing-pusing memikirkan uang semester karena dia mendapatkan beasiswa.
Hari ini Meisya sudah keluar masuk beberapa cafe dan restoran. Dan tidak satu pun di antara tempat yang sudah dia kunjungi—membutuhkan karyawan atau pekerja paruh waktu. Meisya mengelap keringat didahinya. Hari ini cuaca sangat panas. Sudah 2 jam lamanya dia mencari lowongan pekerjaan, dari jam 10 pagi hingga pukul 12 siang. Perutnya pun mulai keroncongan. Tadi pagi sebelum berangkat, dia hanya sarapan dengan teh manis saja, ibunya belum memasak.
Meisya punya tiga lembar uang seratus ribuan di dalam dompetnya. Nanti jika dia mendapatkan pekerjaan, uang itu akan dia gunakan untuk membeli bensin dan makan siang selama sebulan, jika ibunya tidak memasak. Meisya merogoh saku celananya, ada 3 lembar uang dua ribuan dan selembar uang sepuluh ribu. Kalau makan di warteg sepertinya sepuluh ribu cukup dengan minum air putih saja. Senyum Meisya mengembang, setidaknya dia bisa membeli makanan siang ini.
Ketika Meisya menuju parkiran motor, tiba-tiba saja karyawan dari tempat makan yang baru saja dimasukinya—memanggil Meisya.
"Mbak Meisya Juliana?"
"Ya. Ada apa, Mbak?" tanya Meisya heran.
Bolehkah dia berharap jika karyawan yang menghampirinya saat ini mengatakan jika ada lowongan kerja untuknya?
"Emm, gini, Mbak. Siang ini, resto kita lagi ada promo untuk orang yang berulang tahun di bulan Juli. Kata manajer saya barusan, dia lihat CV Mbaknya kalau Mbak lahir di bulan ini. Apa Mbak mau menerima promo dari kami? Mbak bisa makan gratis sepuasnya di sini, sekalian bisa untuk di take away juga," ujar karyawan resto tersebut panjang lebar.
Meisya tersenyum. Mungkin belum rejekinya untuk bisa bekerja di tempat ini. Namun, ada rejeki lain yang didapatnya, yaitu makan siang gratis. Kapan lagi dia bisa makan enak sesuai pilihannya? Meisya pernah makan enak, kalau sedang ditraktir Pelangi. Itu pun jarang di luar kampus, karena Meisya sering menolak. Pelangi begitu royal, tapi Meisya tidak ingin memanfaatkan kebaikan sahabatnya itu.
"Gimana, Mbak? Mau nggak?" tanya karyawan itu memastikan.
Meisya mengangguk setuju.
"Iya, saya mau."
Meisya mengikuti karyawan tersebut masuk kembali ke dalam resto.
Lumayan. Uang 16 ribu yang gue punya, bisa disimpen.
"Beneran gratis ini, Mbak?" tanya Meisya, dia takut kena prank.
"Iya, Mbak," jawab karyawan itu ramah.
Meisya memesan beberapa menu makanan yang sangat ingin dimakannya. Dan juga sekalian dia pesan untuk di take away. Ibu dan ayahnya sudah lama sekali tidak makan enak seperti ini.
Tanpa Meisya ketahui, di meja bagian pojok, ada seorang lelaki yang tersenyum melihat Meisya yang tampak senang menikmati berbagai menu makanan yang telah dipesan.
Aku seneng bisa ngeliat kamu lagi, Sya. Aku kangen…
Ini semua adalah ulahnya. Dia melihat Meisya keluar dari salah satu ruangan di dalam resto ini dengan sebuah amplop coklat di tangannya. Penasaran, dia bertanya kepada manajer restoran yang keluar ruangan tersebut setelah Meisya. Untung saja dia meilih makan siang di sini usai mengantar mamanya ke toko. Dia jadi bisa ngeliat seseorang yang sampai saat ini masih bertahta dihatinya.
Setelah kenyang dan mendapatkan makanan yang akan dia bawa pulang, Meisya mengecek ponselnya terlebih dahulu.
Ada notifikasi pesan dari nomor tidak dikenal.
08129697xxxx
Enjoy your lunch!!
Meisya mengernyit membaca isi pesan tersebut. Dia mengedarkan pandangannya ke segala penjuru resto, namun tidak menemukan siapa-siapa yang dikenalnya.
Seseorang yang mengirimkan pesan pada Meisya, sudah keluar 10 menit yang lalu dengan memakai topi dan masker. Dia tersenyum ketika sudah memasuki mobil.
Meisya tidak membalas isi pesan tersebut. Dia beralih membuka group chat SMA-nya dulu. Meisya tidak pernah ikut nimbrung di grup itu, dia hanya sebagai pembaca saja. Lagian, dia tidak punya banyak teman waktu SMA. Jarang yang mau berteman dengan orang sepertinya yang susah bergaul dan pendiam. Meisya tersenyum saat membaca info di grup tersebut. Salah satu teman SMA-nya menyebutkan di grup itu, jika ada lowongan kerja sebagai admin ditoko kue. Meisya tahu, toko kue itu berada di arah jalan pulangnya nanti.
Setelah mengucapkan terima kasih kepada manajer dan karyawan resto, Meisya segera keluar resto menuju parkiran motor.
***
Meisya bersyukur, dia diterima kerja di toko kue tersebut. Tapi, hanya untuk 3 bulan saja. Karena bagian admin dari toko itu, tengah mengajukan cuti hamil. Seminggu lagi, dia baru akan cuti. Namun, besok Meisya sudah bisa langsung masuk. Dia harus diajari dulu oleh admin yang akan cuti itu. Meisya tidak berhenti tersenyum dari tadi. Hari ini adalah hari keberuntungannya. Tadi dia dapat makan gratis, dan sekarang, dia mendapatkan pekerjaan. Tak apa walau hanya 3 bulan saja. Selagi libur kuliah, jam kerja Meisya akan mulai dari pagi hingga sore hari. Ketika sudah mulai kuliah lagi, Meisya bisa menyesuaikan dengan jadwal kuliahnya.
Kening Deborah berkerut melihat anaknya yang baru saja turun dari motor, senyum-senyum hingga masuk ke dalam rumah.
"Ini, makanan buat Ibu dan Ayah," ujar Meisya memberikan plastik berisik beberapa macam makanan.
Lagi, Deborah mengernyit heran ketika melihat isi di dalam plastik yang diberikan Meisya. Dari mana anaknya itu mendapatkan uang buat membeli makanan enak sebanyak itu?
"Kamu beli ini semua?"
Meisya menggeleng cepat.
"Bukan, Bu. Panjang ceritanya. Intinya, aku dapet rejeki hari ini."
"Dari Mario?"
Meisya rasanya malas mendengar nama itu, walau waktu itu Mario sudah meminta maaf padanya.
"Bukan dari dia. Udah, Ibu sama Ayah makan aja. Itu halal, kok. Aku lagi hoki hari ini, Bu!" seru Meisya antusias.
"Bukan cuma dapet makanan enak ini aja. Aku juga dapet kerjaan. Yaa... walau cuma 3 bulan, tapi lumayan 'kan, Bu? Aku bisa dapet uang buat bantu Ibu dan menuhin kebutuhan aku juga."
"Ibu seneng dengernya. Tapi, Nak, gimana kuliah kamu nantinya? Apa kamu enggak capek? Maafin Ibu, seharusnya Ibu berusaha lebih keras lagi untuk keluarga kita." Air mata Deborah mulai menetes.
"Ibu jangan nangis." Meisya mengusap air mata Deborah. "Aku malah seneng bisa membantu ekonomi kita. Ibu tenang aja, ya? Kuliah aku nggak bakalan keganggu, kok."
Meisya masuk ke dalam kamar setelah memastikan ibu dan ayahnya memakan makanan yang dibawanya. Meisya tak dapat membendung air matanya yang jatuh begitu saja melihat kedua orang tuanya makan dengan lahap dan berkata jika makanan tersebut sangatlah enak.
Saat baru saja ingin merebahkan diri di kasur, ponsel Meisya berdering. Meisya mendengus melihat nama yang tertera di layar ponselnya. Baru tadi dia membuka blokiran nomor itu, langsung ada telepon darinya sore ini. Meisya memilih untuk mengabaikannya. Beberapa kali terus berbunyi, membuat Meisya risih. Dia ingin me-reject panggilan tersebut, entah kenapa malah terpencet tanda hijau.
Kepalang tanggung, dengan ogah-ogahan Meisya menempelkan ponsel di telinganya.
"Ada apa?" tanyanya dingin.
"Nggak ada. Cuma pengen nelpon aja."
Meisya memutar bola matanya.
"Ya udah. Kalau nggak penting, gue matiin aja, ya? Mau istirahat soalnya."
"Eh, tunggu bentar, Sya!"
"Apa lagi?" sahut Meisya ketus. Namun, yang si penelepon diseberang sana tak peduli dengan itu.
"Besok bisa ketemu?"
"Nggak bisa. Gue kerja. Lagian, lo bukannya pergi liburan sama Pelangi dan keluarganya?"
"Gue nggak jadi ikut, males. Gue ada rencana sendiri."
"Hmmm. Sorry, gue nggak bisa ketemu besok."
"Lo kerja di mana emang? Pulang kerja gue jemput."
"Nggak usah. Gue ada acara juga pulang kerja."
"Acara apa? Batalin aja. Pokoknya besok gue pasti akan muncul jemput lo pulang kerja. Tunggu aja."
Panggilan telepon terputus.
Meisya melempar ponselnya asal ke atas kasur. Mario ini maunya apa, sih? Kenapa mengusiknya lagi? Padahal Meisya tidak mau lagi berurusan dengan lelaki itu. Meisya menyesal telah membuka blokiran nomor lelaki itu.