Badan Meisya terasa pegal. Rasanya dia tidak sanggup hanya untuk sekedar bangkit dari tempat tidur. Semalam, dia tidak mengira jika Mario menggempurnya hingga berjam-jam lamanya, mungkin kira-kira pukul 03:00 dini hari, mereka baru selesai bercinta. Meisya merutuki kebodohannya yang mau-mau saja ketika Mario mengajak untuk melakukan lagi dan lagi. Hatinya berkata ingin menolak, tapi tubuhnya berkata sangat ingin, haus akan sentuhan. Bahkan, tanpa disadarinya, Meisya membalas cumbuan Mario. Salahnya yang meminta Mario menyentuhnya. Meisya juga tidak tahu kenapa, dia merasa kepanasan dan ingin disentuh.
Meisya mengawasi tangan Mario berada di atas perutnya, memeluknya. Meisya mengerjap—melihat sekujur badan Mario yang dipenuhi hickey. Seganas itukah dia semalam? Meisya membekap mulutnya, lalu menggelengkan kepala.
Ini kedua kalinya dia merasa begitu bodoh. Meisya ingat, dia lah yang menawarkan diri pada Mario. Dia merasa sangat ingin disentuh semalam. Ada sengatan yang luar biasa saat Mario menyentuhnya. Walau tak ada rasa cinta sama sekali di antara mereka, tak bisa dipungkiri jika tubuh Meisya menikmati percintaan mereka semalam, walau hatinya tidak. Sekarang, dia malah merasa seluruh badannya serasa remuk, pegal.
Meisya yang ingin bangkit ke kamar mandi, tanpa sengaja membangunkan Mario karena pergerakan perempuan itu. Meisya langsung menarik selimut hingga ke pundaknya.
"Jam berapa?" tanya Mario sembari menguap.
Meisya melihat jam di dinding kamar, yang berada di atas pintu. "Jam 9," sahutnya dingin.
Mario menoleh pada Meisya. "Mau ke mana?"
"Kamar mandi," cicit Meisya pelan.
"Bisa nggak?"
"Bisa, kok, cuma ke kamar mandi doang, masa nggak bisa," jawab Meisya yang berusaha berdiri dengan menutupi tubuhnya dengan selimut.
Baru jalan dua langkah, Meisya terjatuh. Lututnya terasa lemas, tak kuat rasanya jika melangkah.
Tiba-tiba Meisya merasa melayang. Mario menggendong perempuan itu. Kenapa dia begitu cuek tanpa mengenakan apapun di depan Meisya?
Mario mendudukkan Meisya di dalam bathtub, kemudian dia menyalahkan keran airnya. Selimut yang digunakan Meisya sudah terlepas sebelum Mario memasuki kamar mandi dan Meisya berusaha menutup bagian inti tubuhnya dengan kedua tangannya.
"Kalau butuh bantuan, bilang sama gue. Nggak usah sok pura-pura kuat," ujar Mario menundukkan kepala kepada Meisya yang berada di dalam bathub
Meisya tak menjawab, dia mengalihkan pandangan ke arah lain. “Keluar sana! Gue mau mandi,” ucapnya tanpa menoleh dengan kedua tangan yang masih memegang bagian senstitifnya.
"Biar gue bantu pijitin biar nggak pegel lagi," ujar Mario lagi dengan suara seraknya tepat di dekat telinga Meisya. Tanpa persetujuan Meisya, dia ikut masuk ke dalam bathtub dan menggeser tubuh Meisya agar dia bisa duduk di belakang perempuan itu.
“Ngapain lo ikutan masuk ke sini?” seru Meisya kesal.
“Gue juga mau mandi,” balas Mario cuek.
“Gue bisa mandi sendiri, dan nggak butuh dipijit!” Meisya menyentak tangan Mario yang mulai memijit bagian lengannya.
Mario terkekeh. "Tenang aja, gue bener-bener mijit, kok, nggak bakal aneh-aneh," kilah Mario.
“Lo— “
"Udah, lo nikmatin aja. Gini-gini gue bisa mijit. Habis ini dijamin lo bakalan ngerasa enakan." Mario tersenyum miring di belakang Meisya.
Mario memang benar memijit Meisya sehingga perempuan itu merasa tubuhnya lebih rileks. Tapi, lama-kelamaan tangan lelaki itu mulai meraba ke bagian intim Meisya.
Meisya mendesah karena sensasi yang diberikan Mario. Namun, dia tiba-tiba sadar. Mario tengah mencari kesempatan dengannya. Dengan cepat, Meisya menyentak tangan Mario.
"Nggak usah cari-cari kesempatan!" serunya segera keluar dari bathtub. Dia menuju shower, ingin membilas badannya agar cepat keluar.
Mario terkejut. Dia pikir akan mudah menyentuh Meisya lagi pagi ini. Baru saja, dia sempat merasa yakin kalau Meisya sudah teransang akan sentuhannya.
Lihat aja, Sya! Hari ini lo bisa bebas. Setelah ini, gue jamin kalau lo akan menuruti apa mau gue. Lo akan gue bikin selalu mendesah di bawah gue!
***
Meisya mendiamkan Mario yang beberapa menit lalu, keluar dari kamar mandi. Meisya duduk rebahan di kasur, tanpa mempedulikan Mario.
"Gue ambilin sarapan. Lo tunggu di sini aja, nggak usah keluar," ujar Mario setelah mengenakan pakaian.
"Nanti gue bisa ambil sendiri," jawab Meisya ketus.
Mario tidak menjawab. Dia memilih untuk keluar dari kamar. Lima belas menit kemudian, dia kembali dengan membawa sepiring nasi goreng dan segelas teh hangat. Mario meletakkannya di atas nakas, di samping Meisya yang tengah rebahan.
"Sarapan dulu, udah mau jam 10," ujar Mario.
"Gue belum laper."
Mario berdecak. “Semalaman habis tempur, tenaga lo pasti habis. Makan dulu!”
Meisya bergeming. Dia tidak ingin mengingat apa yang mereka lakukan semalam.
Mario mengehela napasnya. Dia duduk di pinggir ranjang. "Sorry buat tadi, habisnya gue nggak bisa nahan," ucapnya lirih.
“Dan yang semalam juga, gue minta maaf gue ada nyakitin elo. Tapi, lo sendiri yang pengen gue sentuh, Sya. Lo inget, ‘kan?”
“Nggak usah dibahas lagi!”
Meisya menoleh pada Mario. Lelaki itu menatapnya dengan pandanngan menyesal.
"Gue juga minta maaf, semalam gue duluan yang minta lo buat sentuh gue." Meisya akhirnya bersuara. "Seharusnya kita nggak boleh ngelakuin itu, Kak! Cukup yang semalam itu yang terakhir kalinya. Gue harap, lo bisa melupakan kejadian semalam."
Mario mengangguk, meski dalam hatinya berkata lain.
Meisya menghela napas. "Gue makin merasa bersalah sama Pelangi."
Mario meraih Meisya ke dalam dekapannya. "Gue yang salah, Sya. Gue yang nggak bisa ngontrol diri gue. Maaf... " Mario mengusap punggung Meisya dengan lembut. Di balik itu, dia tersenyum licik.
“Pelangi nggak akan pernah tahu. Ini rahasia kita berdua. Just you and I... “ ujar Mario meyakinkan Meisya.
Dan apa? Terakhir kata lo? Nggak akan! Lo nggak bakalan bisa berhenti sebelum gue bosen sama lo nanti.
***
Sore harinya, Meisya sudah berada di rumah. Dia berharap setelah ini, tidak berurusan lagi dengan Mario.
Baru saja merebahkan badannya di atas kasur, ponsel Meisya berdering. Meisya mengecek ponselnya, yang ternyata ada pesan w******p dari Pelangi. Isi pesan dari Pelangi menyebutkan jika dia sudah berada di Bandung. Dan dia ingin ke rumah Meisya, ingin membawakan buah tangan dari Jakarta. Pelangi hampir selalu membawa sesuatu jika kembali dari rumah orang tuanya yang berada di Jakarta. Pelangi sangat baik dan perhatian pada Meisya.
Yang Meisya tahu, biasanya Pelangi pulang dan pergi bersama Mario ke Jakarta. Karena rumah orang tua Mario juga di Jakarta. Namun, weekend ini, Mario malah bersama dengannya. Meisya menyesal, seharusnya dia tidak menerima ajakan Mario waktu itu. Niat baiknya untuk menemani Mario—membalas kebaikan lelaki itu, ujung-ujungnya berakhir dengan pergumulan di atas ranjang.
Meisya kembali merasa bersalah pada Pelangi.
Apa dia bilang saja kalau Mario bukanlah cowok yang baik bagi Pelangi? Tapi, apa Pelangi akan percaya padanya? Atas dasar apa dia mengatakan itu? Meisya bingung. Di sisi lain, dia juga tak bisa memungkiri jika ayahnya bisa dioperasi karena uang yang didapat dari Mario.
Meisya mengetik balasan untuk Pelangi. Dia bilang jika besok saja oleh-olehnya diberikan saat di kampus. Pelangi tak perlu repot-repot ke rumah. Lagi pula, dia sendiri lelah, ingin istirahat.
Setelah Meisya membalas pesan Pelangi, ada pesan lagi yang muncul. Kali ini dari Mario.
Mario Pacar Pelangi
Lagi apa?
Jgn lupa istirahat
Gue udah sampe di kosan
Oh ya, td pagi minum pilnya, 'kan?
Gue gamau lo sampe hamil.
Meisya mendengus kasar. Dia hanya membaca pesan Mario, tanpa berniat membalasnya. Untung saja sisa pil yang diberikan Mario waktu itu masih ada di dalam tasnya. Sehabis mandi tadi, Meisya meminumnya. Walau sekarang bukan masa suburnya, dia tetap harus jaga-jaga. Masa depannya masih panjang.