Pukul 17:00, mobil Mario sudah tiba di depan rumah Meisya. Lelaki itu menggunakan kaos hitam bolong dengan hoodie di bagian luarnya. Mario memang tampan, bukan hanya di fakultasnya saja banyak yang mengakui ketampanan lelaki itu, tapi di luar Fakultas Teknik juga banyak. Apalagi waktu itu Mario pernah menjadi ketua panitia ospek juga. Pastinya, para junior banyak yang terpesona terhadap pesona yang dimilikinya.
Banyak perempuan yang menyukai Mario di kampus, namun lelaki itu tidak tertarik sama sekali pada perempuan selain kekasihnya. Merlitta Pelangi Dikjaya, sahabat Meisya yang berparas imut dan terkenal supel itu, merupakan idola banyak kaum adam juga di kampus. Makanya, walau banyak yang menyukai Mario, mereka hanya bisa sekedar mengagumi. Karena mereka tahu saingan mereka siapa. Walau terhitung sebagai anak baru di kampus, pesona Pelangi bisa mengalahkan senior-senior di kampus.
Hanya Pelangi satu-satunya yang ada di dalam hati Mario. Yang lainnya, hanya dianggap sebagai teman oleh Mario. Teman having s*x maksudnya. Adaa beberapa perempuan yang sering make out dengannya, tidak pernah sampai berhubungan intim. Tapi itu hanya di daerah Jakarta. Jika di Bandung, nama Mario tentu sangat baik di kampus. Di Jakarta juga, hanya teman terdekat saja yang mengetahui tingkah laku Mario.
Mario membuka pagar depan halaman rumah Meisya yang sudah mulai karatan. Maklum saja, rumah yang ditinggali Meisya sekarang usianya sudah tua. Peninggalan kakek neneknya yang merupakan orang tua dari ayahnya. Rumah kecil dengan dua kamar itu belum pernah di renovasi sama sekali. Hanya saja, ada beberapa bagian dalam yang rusak, itu yang perbaiki seadanya oleh ayah Meisya sendiri sebelum beliau jatuh sakit.
Ayah Meisya kerjanya serabutan sana-sini, tidak menentu. Namun, sudah beberapa bulan dia tidak bekerja sejak diketahui menderita penyakit kanker ginjal.
Mario disambut ramah oleh Deborah, ibunya Meisya yang sedang duduk di teras rumah.
"Meisyanya barusan udah rapih. Kamu mau masuk dulu ke dalam?"
"Nggak usah, Tante. Saya dan Meisya mau langsung jalan aja, takut lama lagi nyampe sananya." Mario melihat Meisya yang tengah berjalan ke arah mereka.
***
Mario dan Meisya tiba di sebuah villa yang ukurannya besar di kawasan Cisarua pada pukul 19:00. Sudah ramai di sana saat mereka tiba. Benar kata Mario, ada beberapa perempuan yang ikut ke sana, sepertinya mereka merupakan pacar dari teman klub mobilnya Mario. Atau sama halnya seperti Meisya juga, entahlah, Meisya tak mau ambil pusing memikirkannya.
Pagi tadi, Meisya sempat bertanya pada Pelangi mengenai agenda perempuan itu hari ini. Ternyata Pelangi ke Jakarta dari kemarin sore. Dan hari ini, Pelangi ada acara keluarga. Berarti Mario tidak berbohong padanya perihal Pelangi yang memang tidak bisa menemani lelaki itu ke acara temannya. Begitu yang ada di dalam pikiran Meisya.
Meisya berkenalan dengan perempuan yang dibawa oleh masing-masing teman Mario. Seketika Meisya merasa minder berada di dekat mereka. Dari pakaian, barang atau pun ponsel yang perempuan-perempuan itu gunakan, Meisya sudah bisa menilai kalau mereka semua status sosialnya lebih tinggi padanya.
Saat mereka semua bicara soal brand bermerek, jalan-jalan ke luar negeri, Meisya bingung harus bagaimana menanggapinya. Pembicaraan mereka sama sekali tidak nyambung dengannya. Meisya hanya diam saja mendengarkan. Dan sesekali mengangguk, bilang, 'iya, bagus', ketika mereka menanyakan tentang barang branded yang sedang mereka lihat di market place online. Padahal Meisya sama sekali tidak paham tentang kualitas barang branded yang mereka maksud.
Meisya menghela napasnya saat mereka semua histeris begitu melihat sebuah tas mahal yang katanya limited edition. Dan itu, udah dipesan oleh salah satu dari mereka. Katanya, pacarnya yang membelikan untuknya. Bolehkah Meisya iri pada orang itu? Meisya menggelengkan kepala. Dia sadar, dia tidak punya sesuatu yang menarik untuk disukai seorang lelaki yang tampan, tajir dan perhatian seperti yang ada di n****+-n****+. Pernah waktu SMA ada lelaki yang seperti itu menyukainya, namun Meisya tidak tahu apa lelaki itu benar-benar tulus apa tidak. Meisya juga tahu diri, dia tidak punya sesuatu yang bisa dibanggakan. Bisa-bisa, dia jadi bahan ejekan satu sekolah jika berpacaran dengan pria yang terkenal di sekolahnya pada saat itu.
Perlahan, Meisya beranjak pergi dari sekumpulan perempuan itu. Dia berjalan ke arah kamar, dan nanti akan keluar jika ingin makan. Para lelaki tengah sibuk mempersiapkan bahan-bahan untuk barbeque yang akan diadakan sekitar jam 8-an, namun tidak ada satu perempuan pun di sana yang membantu. Meisya jadi enggan untuk ke sana.
Langkah kaki Meisya terhenti, di dekat gazebo yang cahayanya agak remang, dia melihat sepasang lelaki dan perempuan tengah bermesraan dengan sang lelaki yang memangku perempuan tersebut. Meisya bisa melihat bagamana lelaki itu mencumbu leher perempuan yang sedang dipangkunya itu walau dalam pencahayaan yang minim.
Bukannya pergi, Meisya malah penasaran dengan pembicaraan mereka, setelah mereka berhenti bermesraan.
"Ada gue malam ini, kenapa lo harus bawa perempuan lain?" tanya si perempuan dengan nada tidak suka.
"Ada lo, tapi gue nggak bisa menyentuh lo malam ini. Arya akan mendominasi lo pastinya," ujar sang lelaki.
“Gue bisa ke kamar lo setelah dia tidur. Lo tahu sendiri, gua nggak bakalan sampe begituan sama dia. Cuma make out doang palingan.”
"No, Sonya! Gue nggak mau Arya sampe curiga sama lo. Gimana kalau dia tiba-tiba aja bangun, terus nyariin lo yang nggak ada di sampingnya?"
Meisya tidak menyangka jika Mario, lelaki yang tengah berada di gazebo itu, serius dengan ucapannya di hotel waktu itu. Berarti, Mario memang mencari kepuasan seksnya dengan perempuan lain. Apa kurangnya Pelangi itu? Apa karena tidak bisa memberikan kepuasan padanya? Awalnya, Meisya sempat berpikir jika dia lah yang pertama buat Mario. Ternyata dugaannya salah. Meisya tersenyum miris. Mungkin dia hanya salah satu di antara perempuan yang pernah Mario tiduri.
"Sana kembali ke Arya, nanti dia bisa curiga kalau lo terlalu lama berada di sini."
Perempuan itu dengan berat hati turun dari pangkuan Mario.
"Kita akan mengganti kebersamaan kita dengan lain hari."
"Tentu saja, Sweety!"
Perempuan itu mengecup bibir Mario singkat sebelum pergi. Mario menghapus bekas kecupan bibir Sonya setelah perempuan itu menjauh. Mario sebenarnya tidak sudi bibirnya disentuh orang yang tidak disayanginya. Sonya sering kali menyosornya dan Mario tidak menyukai itu. Namun, Mario tak ingin perempuan itu marah karena dia masih butuh seks darinya. Meisya belum nberada di dalam genggamannya. Mengingat Meisya, Mario jadi ingin merasakan perempuan itu lagi. Membayangkan sempitnya bagian kewanitaan perempuan itu yang akan menjepit kejantanannya, Mario jadi tidak sabar untuk segera menyentuh Meisya. Dan juga, wajah lugu perempuan itu, sangat mempesona ketika berada di bawah kungkungannya.
Sonya adalah selingkuh Mario di Jakarta. Mereka sama-sama berselingkuh dari pasangan mereka. Tujuan mereka sama. Mereka saling mendapatkan kepuasan satu sama lain yang tidak didapat dari pasangan mereka. Mario telah mengenal Sonya sebelum dia berpacaran dengan Pelangi.
Mario tersenyum miring setelah kepergian Sonya. Sekarang ada yang bikin gue ketagihan, dan itu bukan lo lagi, Sonya. Meisya, dia lah yang akan memuaskan gue selanjutnya, batin Mario menyeringai.
Dia bisa saja tadi main cepat dengan Sonya. Namun, Mario tidak berminat. Dia hanya ingin Meisya malam ini. Dia akan melakukan cara apa pun agar Meisya bisa mendesah di bawahnya nanti.
***
"Lo mau minum apa, Sya?" tanya Mario begitu selesai acara barbeque. Sekarang, mereka semua tengah bersantai di pinggir kolam renang.
Kebanyakan minum beralkohol di sekitar situ, Meisya tahu itu.
"Minuman bersoda biasa aja, ada? Kayak fanta gitu."
"Kayaknya ada di kulkas. Bentar, gue ambilin."
"Nggak usah, Kak. Biar gue aja."
"Gue mau sekalian ada yang diambil juga di dapur."
"Emm, ya udah."
"Mau air putih nggak sekalian?" tanya Mario sebelum beranjak ke dapur.
"Boleh deh! Tapi jangan yang dingin, ya?"
Sambil menunggu Mario kembali, Meisya memainkan ponselnya. Bosan, tak ada yang menarik di ponselnya tersebut, Meisya mengedarkan pandangan ke sekitar. Teman-teman Mario asik dengan pasangan mereka masing-masing. Pandangan Meisya beradu dengan perempuan, yang dia ketahui bernama Sonya. Meisya ingat, dia adalah perempuan yang tadi dia lihat bermesraan dengan Mario.
Bersandar di bahu pacarnya yang bernama Arya tersebut, Sonya memandang sinis pada Meisya, namun Meisya langsung membuang pandangannya. Dia tidak ada urusan dengan perempuan itu. Lagian, dia dengan Mario hanya berteman. Kenapa perempuan itu malah memandangnya sinis? Seolah Meisya itu adalah saingannya.
Dasar, udah punya pasangan, masih aja gelendotan sama laki-laki lain, batin Meisya.
Meisya tidak mau bertanya-tanya pada Mario mengenai Sonya. Itu urusan Mario, dia tidak berhak mencampurinya, walau dia adalah sahabat dari kekasihnya lelaki itu. Meisya berharap, semoga Pelangi mendapatkan lelaki yang lebih baik dari pada Mario.
Tak menunggu lama, Mario kembali dari arah dapur dengan membawa dua botol minuman soda berukuran kecil dan sebotol air mineral.
"Nih! Udah gue bukain," ujar Mario memberikan satu botol minuman bersoda kepada Meisya.
"Thanks, Kak!"
"Hmmm."
"Lo ngantuk nggak? Kalau iya, duluan aja ke kamar. Gue masih mau ngobrol entar sama mereka pada," ujar Mario, lalu meneguk minumannya.
"Belum begitu, sih. Tapi gue bosen juga di sini. Gue ke kamar dulu kalau gitu."
Mario mengangguk.
Meisya dan Mario kebagian satu kamar. Kata Mario, dia akan tidur di sofa nanti. Meisya sebenarnya berat satu kamar dengan lelaki itu. Ah, semoga saja tidak ada kesempatan kejadian aneh nantinya.
Setengah jam kemudian, Mario ikut menyusul Meisya ke kamar. Saat pintu kamar sudah dibuka, dia melihat Meisya tampak gelisah tidur di atas kasur dan tangan perempuan itu yang memegang bagian intimnya dari luar pakaian. Sweater dan celana panjang yang digunakan perempuan itu sudah tergeletak di lantai, menyisakan tank top dan hot pants yang membalut tubuhnya.
Mario meneguk salivanya. Pemandangan yang sangat indah baginya. Dia jadi tak sabar untuk segera menerjang Meisya.
"Lo kenapa, Sya?" tanyanya dengan alis berkerut, pura-pura tidak paham apa yang terjadi dengan perempuan itu. Meisya menatapnya dengan wajah sayu.
Mario mendekati ranjang yang ditiduri perempuan itu.
"Gue panas, Kak!"
"Panas kenapa? Gue nggak ngerti," balas Mario mengernyit. "Di sini cuacanya dingin, kok lo malah bilang panas?"
"Ayo pake sweater lo lagi. Kita keluar, kalau lo merasa panas di kamar ini."
Meisya menggeleng lemah.
"Tolongin gue... " ucap Meisya lirih. "Sentuh gue, Kak!" Meisya tak punya pilihan lain, dia hanya ingin disentuh saat ini. Untuk menghilangkan kesakitannya. Dan dia butuh Mario malam ini. Dalam hatinya, Meisya berjanji, hanya untuk malam ini, tidak akan ada lagi yang berikutnya.
Mario akan jual mahal dulu, agar Meisya memohon padanya.
"Sorry, Sya. Gue... " Belum sempat Mario menyelesaikan ucapannya, Meisya sudah menarik tangan Mario hingga lelaki itu jatuh di atasnya.
Mario menyeringai nakal terhadap sikap agresif Meisya yang tak sabar mencopoti bajunya. Ternyata semudah ini, batinnya.
Sebelum memulai aksinya, Mario bangkit mengambil kamera dari dalam tas dan menaruhnya di atas nakas agar bisa merekam dengan jelas kegiatan panasnya malam ini dengan Meisya.
Meisya yang sudah dalam pengaruh obat peransang, tidak bisa berpikir jernih lagi. Dia tidak peduli apa yang tengah dilakukan Mario, sebelum kembali menindihnya.