“Jangan ngaco Ren, aku ini sudah bertunangan, kenapa kamu bisa menganggapku spesial.”
===============================
Reno diam mencerna ucapan Asmara, dia yakin jika dirinya salah dengar soal ini. Tangan kanannya yang memegang buket bunga langsung meluruh seketika.
“Tunggu sebentar, apa maksud kamu tunangan dan siapa yang bertunangan?” cecar Reno pelan tapi sorot matanya menatap tajam Asmara.
Asmara menghela napas, “Aku ini sudah bertunangan Reno dan akan menikah beberapa minggu lagi. Seperti yang kamu lihat aku sudah rapi sekarang, karena aku mau fitting baju pengantin, bukan mau jalan sama kamu,” ucap Asmara.
Kaki Reno terasa lemas dan jika tak menyadari ada Asmara di hadapannya dia pasti akan meluruh dengan cepat. Tapi dia menahan hal itu karena dia tak ingin dirinya terlihat memalukan di depan wanita yang sayangnya masih dia cintai.
“Jadi kamu sudah bertunangan, berarti kabar itu memang benar. Apa sekarang aku yang terlihat bodoh atau aku yang tidak ingin menerima kenyataan sebenarnya,” lirih Reno.
Asmara yang melihat reaksi Reno merasa bingung. “Kamu kenapa Ren? Kamu ga pingsan di sini kan? Aku rasa kabar ini bukan kabar yang mengejutkan buat kamu kan?” selidik Asmara tanpa dosa.
Reno menatap Asmara lekat. “Bagaimana bisa aku mencintai seseorang yang sudah menjadi calon istri orang lain, dimana nuraniku selama ini,” gumam Reno.
Wanita di hadapannya bukan tidak mendengar tapi lebih tepatnya tak ingin mendengar apa yang Reno ucapkan. Asmara merasa itu hanya perasaan semu Reno setelah dia mengalami masa sulit karena masa lalunya.
“Jadi urusan kita sudah selesai kan? Boleh aku pergi?” pinta Asmara membuat Reno sadar dari lamunannya dan memberikan jalan untuk Asmara pergi dari sana.
“Bisakah kamu juga keluar Ren, aku mau mengunci pagarnya,” seruan Asmara membuat Reno sadar dan segera berjalan dengan langkah gontai menuju mobilnya yang parkir depan pagar.
Asmara langsung berlalu tanpa melihat Reno yang masih termenung di sana menatap kepergiannya. Dia merasa dunianya lebih runtuh dari sebelumnya.
“Rasanya lebih mengecewakan dan sakit daripada ditinggal pergi sama Gladis. Dan kenapa aku harus mengalaminya dua kali dalam hidupku tepat saat luka itu sembuh,” lirih Reno sendu.
Reno sudah kembali dari rumah Asmara, pikiran kalut tak memiliki tujuan, klakon mobil yang bersahutan tak tahu ditujukan kepada siapa. Pikirannya berkecamuk dengan perkataan Asmara yang masih terngiang di kepalanya.
Hanya deru napas dan audio mobil dari Impossible – Shontelle yang menemaninya selama perjalanan ini. Akhirnya dia berhenti di tempat yang aman dan menumpukkan kepalanya di stir mobil.
Tell them all I know now … Shout it from the roof tops .. Write it on the skyline … All we had is gone now … Tell them I was happy … And my heart is broken … All my scars are open … Tell them what I hoped would be
Impossible, impossible … Impossible, impossible …
Falling out of love is hard … Falling for betrayal is worst … Broken trust and broken hearts … I know, I know …
Lamunan Reno buyar mendengar dering ponselnya, muncul nama Loka di sana meski enggan dia akhirnya menjawab panggilan itu.
“Bos, dimana?” tanya Loka begitu panggilannya tersambung. “Di jalan,” singkat Reno. Loka yang mendengar jawaban Reno dan nada suaranya merasa cemas.
“Apa terjadi sesuatu Bos?” tanya Loka dan Reno hanya berdehem. Bagi Loka itu sebuah kode untuk melanjutkan ucapannya. “Pihak café menanyakan kepastian jam untuk mereka menyiapkan semuanya,” ucap Loka membuat denyutan nyeri di hati Reno.
“Batalkan saja, bayar berapapun fee yang mereka minta, kamu urus semuanya, aku ga mau tau soal itu lagi,” ucap Reno dan langsung menutup panggilan tersebut.
Pria itu akhirnya melajukan kembali mobilnya masih dengan rasa sakit yang menusuk. Malam ini dia sudah merencanakan dinner romantis sekaligus untuk menjadikan Asmara miliknya tapi sayangnya dia harus menerima berita mengecewakan dan membuat hatinya hancur.
Entah berapa jam dia berputar-putar di jalanan ibukota hingga akhirnya mobilnya berhenti di salah satu apartment yang sudah dia hafal di luar kepala. Pria itu memutuskan untuk memarkir mobilnya di basement dan naik ke lantai yang dituju.
Tak sampai sepuluh menit dia sudah sampai di depan pintu pemilik apartment dan menekan bel berkali-kali karena pemilik apartment tak kunjung keluar. Hampir lima menit dia menunggu akhirnya muncullah seorang pria yang rambutnya acak-acakan.
“Sialan, kirain sapa yang datang, kan kamu udah tau password apartemen ini kenapa ga langsung masuk aja sih,” keluh Yaseer.
“Males,” ucap Reno dan langsung ngeloyor masuk dan duduk di sofa ruang tengah. Yaseer yang melihat tingkah sahabatnya yang tak biasa itu mengambilkan air minum dingin dari kulkas.
“Kenapa lu?” tanya Yaseer kepo maksimal sambil menyodorkan gelas yang dipegangnya. Reno langsung menghabiskannya dalam satu teguk dan mendadak pikirannya langsung adem. Dia berbaring di sofa itu setelah mengembalikan gelas kepada Yaseer.
“Rasanya lebih sakit daripada ditinggal sama Gladis, kenapa sih aku harus ngalami hal ini dua kali,” lirih Reno membuat Yaseer bingung.
“Elu kenapa sih? Ga ngerti gue,” kata Yaseer penasaran.
“Aku mencintai wanita yang sudah bertunangan dan calon istri orang lain, bahkan dia akan menikah beberapa minggu lagi. Astaga Yas, dimana hati nuraniku, aku berasa jadi perebut calon istri orang,” keluh Reno.
Yaseer sedikit paham arah pembicaraan ini tapi dia tak tahu siapa wanita yang dia maksud. “Apa ini ada kaitannya sama cewek yang lagi kamu deketin?” tanya Yaseer dan Reno mengangguk.
“Aku pergi ke rumahnya berencana untuk menjadikan milikku sejak hari ini tapi kenyataan pahit harus aku dengar darinya kalau dia bertunangan dengan orang lain,” jelas Reno.
“Emang sebelumnya kamu ga tahu kalau dia bertunangan?” tanya Yaseer masih tak paham perkaranya. Reno menghela napas. “Loka sudah kasih datanya, tapi aku yang tak mau mengakuinys seperti orang bodoh dan merasa Loka itu salah,” kata Reno sendu.
Yaseer bisa melihat eksspresi Reno yang tak biasa, bahkan saat dulu dia ditinggal Gladis pun dia tidak sesuram ini. Yaseer hanya menghela napas berat dan akhirnya kembali menyuarakan isi kepalanya.
“Kamu terluka karena kamu merasa gagal mendapatkannya atau memang kamu mencintainya dengan tulus,” selidik Yaseer membuat Reno tersadar akan sesuatu hal.
“Apa maksudmu?” tanya Reno tak mengerti dan duduk sambil menatap Yaseer tajam.
“Apa kamu sudah bisa merasakan itu kehilangan rasa cinta atau kehilangan kekuatanmu sebagai pria yang sering berganti-ganti wanita?” sindir Yaseer.
“Heeeeyyy,” seru Reno mendadak kesal dan tak terima dengan apa yang Yaseer bilang. Sahabatnya itu langsung berdiri dan mengangkat bahunya dan berjalan ke dapur untuk mengambil dua kaleng soda.
“Sakit yang kamu bilang sekarang itu karena sakit tak bisa mendapatkannya atau memang sakit yang datang karena dia tidak mencintaimu, sedangkan kamu sudah tahu sedari awal dia bertunangan dengan orang lain tapi kamu masih menginginkannya,” jelas Yaseer membuat Reno bungkam.
“Tapi rasanya berbeda dengan saat Gladis meninggalkanku. Rasa ini seperti luka berdarah yang diberi garam.”
*****
Luka dikasih garam itu rasanya pengen nabok orang yang ngasih garam, hahahha..
Perih,, perih,, mewek euy