P.60 Leave Her

1242 Kata
“Tapi rasanya berbeda dengan saat Gladis meninggalkanku. Rasa ini seperti luka berdarah yang diberi garam.” ====================================== Ucapan Reno yangterdengar sendu membuat Yaseer hanya bisa menghela napas. Dia tak menyangka jika temannya ini bisa merasakan sakit hati yang kedua kalinya. “Apa bedanya luka diberi garam dengan disayat pisau, intinya kan sama-sama sakit di hatimu,” kata Yaseer yang membuat Reno kembali berbaring di sofa. “Jangan sampe lah kamu ngerasain apa yang aku rasakan, mungkin kamu bisa bunuh diri,” ledek Reno yang masih sempat dia lakukan. Yaseer hanya menggeleng tak percaya. “Sebenarnya dia ini siapa sih kok bisa sampai kaya gini kamunya? Sehebat apa dia hingga seorang playboy macam kamu langsung merasa terpuruk karena mendapatkan penolakan semacam ini,” cecar Yaseer yang sejujurnya masih tak percaya jika temannya bisa seperti ini. “Dia berhasil membuat detak jantungku kembali berdetak sama seperti saat aku bersama Gladis, meskipun dia sederhana dan tidak secantik Gladis, tapi dia menarik dan pembawaan dirinya yang sulit aku ungkapkan betapa spesialnya dia,” lirih Reno. “Dan kini dia akan menikah dengan pria lain membuat luka dalam hatiku terasa menganga kembali, yang dulu sudah tersayat pisau, kini terbuka lagi dan dia memberikan garam di atas luka itu,” ucap Reno tanpa disadari ada lelehan air mata di sana. Yaseer yang kaget melihat kesedihan Reno tak bisa berkata apa-apa lagi dan hanya bisa menepuk punggungnya untuk memberi support. Reno memejamkan matanya hingga tak sadar dia tertidur di sana. Reno mengerjapkan matanya dan melihat sekeliling, entah berapa jam dia tertidur sampai langit sudah berubah gelap. Aroma makanan masuk ke indera penciumannya. Yaseer menyodorkan makanan kepada Reno tapi pria itu menggeleng. “Kalau lu masih mau hidup harus punya tenaga karena itu lu kudu makan, tapi kalau mau mati iya gapapa tapi jangan di sini,” ledek Yaseer langsung membuat Reno menyambar makanan itu. “Aku ga tau seberapa besar sakit dan cinta yang kamu rasakan, tapi yang aku tau jika kita udah mencintai seseorang itu artinya kita juga siap dengan rasa sakit, sama dengan setiap pertemuan pasti ada perpisahan.” Yaseer berlagak bijak. Reno yang mendengar itu menghentikan makannya. “Tapi aku sudah mengalaminya dua kali Yas, tapi yang ini terasa lebih sakit.” Kata Reno dan meletakkan alat makannya rasanya nafsu makannya mendadak ilang. “Berarti mereka yang meninggalkanmu itu bukan jodohmu Ren. Percaya sama takdir Tuhan, kalo memang kalian berjodoh seribet apapun jalannya dia pasti kembali padamu,” kata Yaseer dan Reno terdiam. “Rasanya aku tak memiliki tujuan hidup lagi,” keluh Reno dan Yaseer menggeleng cepat. “Boleh aja sih kamu ga punya tujuan hidup, tapi bukan berarti kamu harus mengakhiri hidupmu kan?” sela Yaseer. Reno kembali diam dan sorot matanya menatap tajam entah mengenai fokus yang mana. Yaseer pun melanjutkan perkataannya melihat reaksi sahabatnya itu. “Mengobati luka hati bisa dengan mencari hati baru, atau mengalihkan hati yang terluka dengan kegiatan yang tak memakai hati,” usul Yaseer yang membuat Reno bingung. Mengerti akan kebingungan sahabatnya, Yaseer kembali menjelaskan, “Kalo kamu sanggup, cari cinta yang lain, tipikal playboy kaya kamu mah cewek itu kaya beli permen di warung kan? Ga mau kaya gitu kamu bisa cari kegiatan yang ga pake hati untuk menjalaninya, kerja, sekolah, liburan, apapun yang bikin kamu nyaman aja,” jelas Yaseer membuat Reno paham. Reno terdiam sebentar, ada beberapa alternative yang muncul dalam pikirannya dan yang jelas tidak menggunakan hati baru untuk mengobatinya, hatinya yang kini terluka ga bisa disembuhkan dengan mudah, apalagi mencari hati lain untuk pengalihan rasanya ga nyaman untuk dilakukan. “Ka, siapin tiket besok aku mau ke Surabaya,” ucap Reno dan tanpa menunggu jawaban Loka dia langsung menutup panggilan teleponnya. “Kenapa ga kerja di sini aja, kan enak kita bisa tiap malem rame-rame hangout kaya kemarin,” kata Yaseer penasaran. Reno menggeleng, “Bukan soal Sabra aja, ini soal Abra, Papaku lagi di Surabaya, dia udah nelponin dari kemarin dan minta aku ketemu sama dia soal Abra Group,” kata Reno. “Akhirnya kamu tahu kenapa masalahnya?” tanya Yaseer dan Reno menggeleng. “Tidak terlalu paham karena Papa juga ga mau bilang soal ini, aku rasa ada hal tersembunyi yang mereka lakukan dan sekarang baru terkuak,” asumsi Reno. Keesokan harinya Reno minta diantar Loka ke rumah Asmara sebelum pergi ke bandara, tanpa membantah Loka langsung mengikuti kemauan Reno. Rumah yang nampak sepi itu tak terlihat penghuninya. Reno membuka kaca jendelanya, dia yakin Asmara masih ada di dalam atau entah pergi kemana. Pandangannya lurus memandang rumah itu tanpa berkedip. Loka hanya diam memperhatikan apa yang bos sekaligus sahabatnya itu lakukan. ‘Aku bahkan tak pernah melakukan kontak fisik apapun dengannya, tapi perasaan kehilangan ini begitu terasa,’ batin Reno. “Aku relakan kamu berbahagia dengan pilihanmu As, biarlah sakit ini aku merasakan sendiri asal kamu selalu tersenyum sepanjang hidupmu,” lirih Reno dan dia menutup jendelanya. “Ayo kita ke bandara,” perintah Reno dan Loka langsung melajukan mobilnya. Tiba di bandara sudah ada orang suruhan Reno yang mengurus mobilnya dan keduanya bergegas masuk ke ruang tunggu karena waktu boarding sudah tiba. “Selamat tinggal Asmara, sampai kapanpun cinta ini ada untukmu.” *** Tidak sampai dua perjalanan mereka menempuh perjalanan ke Surabaya dan begitu Reno mengaktifkan ponselnya muncul banyak pesan salah satunya dari Asmara. Karena dia bertekad untuk menghilang dari kehidupan wanita itu maka dia langsung menghapus pesannya. “Ka, buat nomor ponsel Asmara tidak bisa menghubungi ponselku lagi, terserah kamu gimana caranya,” pinta Reno menyodorkan ponselnya saat mereka sudah ada dalam mobil jemputan mereka dan tak lama Loka mengatur apa yang Reno inginkan. “Kenapa mesti sampai gini banget sih, ga bisa baik-baik kaya sama Gladis dulu?” Loka yang sedari kemarin diam akhirnya jiwa keponya ikut meronta sambil mengembalikan ponsel Reno. “Aku tahu, tapi kasusnya ini beda, Asmara sudah punya calon suami, tapi isi kepalaku isinya cuma dia melulu selama apapun aku menutup mataku,” keluh Reno sambil menyandarkan tubuhnya ke jok mobil. “Apa karena kamu tak bisa memilikinya, sedangkan Gladis kamu masih sempat memilikinya jadi sakitnya beda,” cecar Loka membuat Reno menggeleng. “Bukan itu, tapi emang rasanya sama-sama sakit tapi ada sayatan dan perih yang berbeda. Kalau Gladis kan memang murni karena kesalahanku meskipun aku sakit tapi aku masih bisa terima karena aku yang salah,” kata Reno. “Dan menurutmu yang sekarang kamu ga salah?” balas Loka membuat Reno menghela napas. “Aku sudah bilang sama kamu kalo dia bertunangan dan kamu yang memaksa maju,” Loka mengingatkan dan Reno mengangguk. “Aku rasa karena itulah makanya sakitnya beda, aku menyangkal semua kenyataan yang Asmara miliki sampai keinginanku untuk memilikinya lebih besar,” kata Reno sendu. “Dan sekarang aku harus lebih lapang d**a menerima semua ini,” ucap Reno berusaha tersenyum. Loka ganti menghela napas. “Menerima dengan lapang d**a atau merasa terpuruk dengan keadaan sehingga kamu memutuskan lari untuk melupakannya,” sindir Loka yang terasa bagai hantaman bagi buat Reno. “Kamu memang asisten pribadiku Loka,” kekeh Reno membuat Loka berdecak. “Aku memang tak sebanyak dirimu untuk menjalin hubungan dengan para wanita, tapi pengalamanmu mengajarkanku satu hal,” jeda Loka. Reno yang merasa tak terima dengan perkataan Loka langsung menyela. “Hey, apa maksudmu? Pengalamanku yang mana maksudmu,” cecar Reno. “Jika kamu mencintai seseorang itu artinya kamu memiliki dua sisi dalam dirimu, bersikap egois hanya ingin memilikinya meskipun dia enggan atau melepaskan dia pergi dengan pilihannya dan kita yang tersakiti.” *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN