P.45 Back to Indonesia

1163 Kata
Reno memutuskan untuk pamit terlebih dahulu dan meninggalkan mereka berdua. Gladis yang melihat gelagat itu segera menyusul Reno ke depan kafe. Liam ingin menghalanginya tapi dia tak ingin dianggap mengatur kehidupan Gladis. “Ren, tunggu,” ucap Gladis. Reno menghentikan langkahnya dan menoleh, tak lama kemudian dia tersenyum. “Amplopmu ketinggalan,” ucap Gladis sambil menyodorkan amplop. Meski dia tak mengerti tapi dia tak menolak hal itu. “Thanks,” balas Reno dan Gladis tersenyum mengangguk. “Salam buat Om Rendra dan Tante Tata,” ucapnya kemudian yang membuat Reno makin tak mengerti tapi dia hanya mengangguk saja mendengar hal itu. Liam yang melihat hal itu tidak menaruh curiga sama sekali dengan Glaadis. Ada perasaan lega di sana dan dia menunggu Gladis dengan tenang di dalam. Tak lama Gladis kembali dan mengajak Liam pergi dari sana. “Apa kamu masih mencintainya?” tanya Liam saat mereka ada di mobil dalam perjalanan pulang. Gladis menggeleng, “Mungkin sudah tidak ada karena aku tak merasakan apa-apa lagi saat kita bertemu,” jawab Gladis jujur karena memang itulah yang dia rasakan. “Kamu cemburu masalah itu,” tanya Gladis to the point dan Liam mengangguk. “Kamu tahu aku tidak main-main dengan perasaan ini kepadamu, bahkan aku rela meninggalkan keluargaku hanya untuk bersamamu,” kata Liam. Gladis tertawa pelan, “Aku tidak memintamu melakukan itu dan seingatku kamu sendiri yang bilang kalau kamu memang kabur dari mereka dan bertemu denganku hanya kebetulan yang indah menurutmu,” jelas Gladis membuat Liam tertawa. “Kamu memang wanita aneh yang tak mempan dengan rayuan macam apapun,” gelak Liam dan Gladis juga ikutan tertawa. *** Dalam perjalanan pulang, dia masih memegang amplop itu erat. Loka yang melihatnya hanya bisa diam. Dia memahami pertemuan yang tak diduga ini pasti membuat bosnya merasa berat. Reno membolak balikkan amplop yang tadi diberikan oleh Gladis, tidak ada pertanda jika amplop itu ada pesan atau apapun di sana. Reno mengangkat amplop itu dan dia melihat ada tinta yang tertulis di sana. Tak menunggu lama lagi dia langsung membuka amplop itu dan dia menemukan tulisan di dalam amplop yang membuat Reno makin penasaran. Tulisan ditulis dengan tinta hitam. [Dear Reno, Bingung ga? Kalau ga bingung berarti kamu terlalu pintar, hehehe.] Reno menggelengkan kepalanya sambbil tersenyum, dia tak menyangka jika dalam situasi ini Gladis masih bisa bercanda. Dia melanjutkan membaca surat itu. [Senang melihatmu lagi dalam kondisi baik-baik saja meskipun aku tahu bagaimana kelakuanmu selama tak ada aku di sana. Tapi aku juga sedih karena ternyata rasa itu mulai pudar untukmu. Apa kamu merasakan hal yang sama? Aku kira aku akan merasakan hal ini bertahun-tahun, tapi ternyata dua tahun cukup untuk membuat kita sadar jika selama ini kebersamaan kita hanya karena status yang keren.] Reno menahan napas membacanya, dia tahu jika ini terlalu cepat jika dibandingkan kebersamaan mereka selam empat tahun. Bahkan ini cuma dua tahun dan mereka sudah saling melupakan perasaan itu. [Tapi bukan itu masalahnya Ren, tapi ini tentang apa yang harus kita luruskan dalam hal ini. Aku senang jika kamu masih peduli padaku, meskipun itu sedikit. Tapi kamu tak perlu melakukan itu jika memang kamu tidak menginginkannya. Aku memahaminya dan aku membebaskan kamu untuk mengatur hidupmu. Jadi tolong bebaskan aku untuk memilih hidupku sendiri.] Reno menelan ludahnya pahit, dia bukannya tak paham apa yang Gladis ucapkan, tapi benarkah dia bisa melepaskan Gladis begitu saja. Meskipun awalnya dia marah kepada Loka karena tidak mengatakan kepadanya soal pengawasan yang dia lakukan, tapi dari lubuk hati kecilnya dia senang Loka melakukan hal itu. [Jadi mari kita jalani hidup kita masing-masing setelah ini. Kabar apapun yang kamu dengar dariku termasuk soal buruknya kabar itu, cukup lakukan semua itu demi teman. Meskipun kamu bisa tahu akan mencariku jika aku menghilang. Jika nantinya kita memang bertemu lagi, kita artikan pertemuan itu sebagai pertemuan pertama dan memulai semuanya dari awal. Bye Glad.] Reno melipat amplop itu dan menyandarkan dirinya ke jok mobil. Loka yang melihatnya tak bisa menahan diri lagi untuk tidak bertanya. “Apa semua baik-baik saja?” tanya Loka dan Reno menggeleng. “Siapkan tiket besok kita balik ke Indonesia,” ujar Reno. Loka hanya bisa mengangguk mengiyakan permintaan Reno. Berkendara berjam-jam membuat Reno lelah tapi yang lelah sebenarnya pikirannya dan itu membuatnya ingin beristirahat sejenak sebelum mengatakan semuanya kepada kedua orang tuanya. “Darimana saja kamu,” tanya Papa Rendra begitu tahu Reno yang datang. “Ketemu Gladis,” jawab Reno santai tapi tak berusaha untuk mendekat dan duduk bersama di sana. “Apa dia baik-baik saja?” tanya Mama Tata dan Reno hanya mengangguk. Papa Rendra yang merasa diremehkan akhirnya mengeluarkan suara beratnya menggelegar di seluruh ruangan. “Kamu pikir rumah ini bisa kamu datangi seenaknya, Papa manggil kamu ke sini karena ada urusan bisnis yang juga berkaitan dengan masa depanmu, kenapa kamu malah pergi seenak jidatmu seperti tadi, heehh!” bentak Papa Rendra. Semua orang diam mendengar amarah Rendra Abrisam yang jarang terlihat bagi mereka. Semua orang mengira seorang Rendra adalah sosok yang baik dan pengertian, tapi kini entah apa yang membuatnya jadi marah seperti ini dan kemarahan itu di depan Reno. “Aku tak pernah meminta Papa mengatur masa depanku, apa usahaku sekarang kurang buat Papa tahu bahwa aku juga sendiri karena kemampuanku,” kata Reno membuat urat-urat di wajah Papa Rendra mengendur seketika. “Aku memang menggunakan nama Abrisam yang tak sembarangan orang bisa menggunakannya, aku memang beruntung memilikinya. Tapi sedari kecil aku tidak pernah melihat Papa atau Mama peduli dengan apa yang aku inginkan,” ungkap Reno yang membuat mata Mama Tata berkaca-kaca. “Tapi hanya segelintir orang dan termasuk satu orang yang peduli padaku waktu itu hingga aku jadi seperti sekarang. Gladis, dia itu Gladis Pa. Dia mendampingi Reno tak peduli keadaanku seperti apa, salah jika sekarang aku memperjuangkan masa depanku untuknya.” Ucapan Reno membungkam semua orang yang ada di situ. Loka hanya bisa menghela napas soal itu, karena dia sendiri juga tahu bagaimana cara Reno bekerja dan siapa yang mendukungnya selama ini. “Besok Reno balik ke Indonesia, bukan karena Reno ga suka di sini, tapi Reno juga punya tanggung jawab di sana. Dan Reno ga berhak ada di sini karena perjuangan ini Papa yang mulai bukan Reno,” pamit Reno dan berlalu dari sana. *** Perjalanan dua puluh jam lebih harus Reno tempuh dalam rentan waktu yang singkat kurang dari tiga hari. Dan itu cukup membuat fisiknya merasa lelah. Meskipun tak sebanding dengan lelahnya pikirannya tapi dia sudah mulai bisa menerima apa yang Gladis inginkan. Jika dipikir ulang apa yang Gladis minta itu tidak salah, karena memang jika mereka ingin saling melupakan seharusnya mereka tidak perlu saling memantau dan mencari tahu satu sama lain bukan. “Aduuuhh, maaf Mas ga sengaja,” ucap seorang wanita yang membuyarkan lamunan Reno. Lelaki itu menoleh dan memperhatikan wajah wanita itu belum sempat dia bertanya wanita itu sudah pergi dan Reno ikut melupakan begitu saja. “Apa wanita Indonesia jaman sekarang, mukanya pada pasaran ya, kok kayanya familiar banget sih sama wajahnya, apalagi nada juteknya,” gumam Reno masih menatap kejauhan. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN