Gladis masih diam berdiri di balkon penthousenya. Sinar matahari pagi menyinari lantai balkon dan mengenai wajah cantiknya. Semenjak lulus dari kuliah Master Design Interior dia memutuskan untuk membeli penthouse sendiri di pusat kota agar lebih dekat dengan kantornya.
Kota kecil yang dulu dia tinggali, setelah berhasil membuatnya bangkit dari keterpurukan. Dia memutuskan untuk membeli yayasan itu melalui ibunya dan memfasilitasi semuanya terutama untuk urusan pendidikan anak-anak di sana.
Sania yang melihat hal itu menghampiri Gladis dan menyodorkan secangkir kopi. Semenjak Gladis memutuskan pindah ke kota, Sania diminta oleh ayahnya untuk menemaninya dan menjadi asistennya. Meskipun awalnya Gladis menolak tapi dengan banyaknya urusan yang harus dia kerjakan di sini pada akhirnya dia menerima kehadiran Sania.
“Thanks Nia,” ucap Gladis tulus dan Sania mengangguk. Sania kembali menatap Gladis mencoba memahami apa yang jadi beban pikirannya kali ini.
“Apa ada hal yang mengganggumu?” tanya Sania penasaran. Gladis menurunkan pandangan matanya dan sorot matanya menatap ke bawah di sana ada beberapa orang berpakaian serba hitam, baik pakaian formal atau casual.
Sania ikut mengalihkan pandangannya dan melihat arah pandang Gladis. Dia merasa orang-orang yang mengikuti mereka semakin bertambah banyak.
“Kamu paham apa yang aku maksud Sania dan aku juga yakin kamu tidak tinggal diam soal ini, tapi sampai kapan kamu akan menyembunyikan semua ini dariku,” ucap Gladis dan menajamkan pandangannya kepada Sania.
Sania merasa tertohok dengan sindiran Gladis, niatnya memang dia tidak ingin membuat Gladis nekat atau kepikiran soal hal ini, itulah sebabnya dia tidak mengatakan apapun kepada Gladis.
Selama ini dia menyelidiki semuanya sendiri sampai dia tahu dari seorang pengawal keluarga Sasmita jika dia menemui masalah dia bisa menghubungi Loka, asisten Reno. Tapi sepertinya kali ini dia memang harus mengungkapkan semuanya kepada majikannya.
“Aku belum cerita kepadamu karena aku masih belum yakin siapa yang harus bertanggung jawab soal ini. Tapi jika aku boleh jujur sepertinya kamu harus berhati-hati dengan Liam mulai sekarang Non,” kata Sania.
Gladis langsung kembali menatap Sania. “Kenapa begitu? Apa ini semua ada kaitannya dengan Liam?” tanya Gladis tak mengerti.
“Saya pernah bertemu dengan kakak Liam, Leon namanya dan saya melihat keduanya seperti membicarakan sesuatu yang mencurigakan,” ungkap Sania. Gladis yang mendengarnya langsung berpikir, jika keduanya bersaudara kenapa mereka terlihat mencurigakan seperti yang Sania katakan. Jadi siapakah Liam dan Leon sebenarnya.
“Siapa yang sudah paham situasi ini?” tanya Gladis to the point. Sania yang mendengarnya bingung bagaimana harus menjawabnya tapi dalam beberapa detik dia memutuskan untuk jujur kepada Gladis.
“Loka dan mungkin Tuan Muda Reno tahu soal ini,” jawab Sania pelan dan sontak saja membuat Gladis terbelak mendengar jawaban itu.
“Reno Abrisam maksudmu?” tanya Gladis lirih dan Sania mengangguk.
“Sejak kapan?” kembali Gladis bertanya.
Akhirnya Sania menjelaskan semuanya jika selama ini dia berkomunikasi dengan Loka jika melihat ada hal yang janggal terjadi pada kehidupan Gladis. Tapi dia bisa memastikan jika Reno tahu masalah ini baru beberapa bulan ini bukan selama dua tahun ini.
Gladis yang mendengar penjelasan Sania tak bisa memungkiri jika ada kelegaan dalam hatinya. Dirinya memang menolak semua kebaikan yang Reno tawarkan kepadanya dulu, tapi dalam hati kecilnya dia tidak pernah melewatkan semua kemudahan yang dia dapatkan jika Reno ada di sampingnya terutama dalam hal keamanan.
Tapi tak lama dia tersadar jika tak seharusnya seperti itu karena kesepakatan mereka terutama dari dirinya yang meminta Reno untuk melupakannya dan menjalani kehidupan masing-masing.
“Apa tidak ada orang lain yang bisa kamu mintai tolong kenapa harus Reno,” keluh Gladis yang sudah bisa ditebak oleh Sania.
“Saya tidak berani untuk mengatakan hal ini kepada Tuan Bagas Non, pasti Tuan Bagas akan khawatir dan membatasi ruang gerak Nona nantinya,” jelas Sania.
Gladis paham apa yang dimaksud oleh Sania. Dua tahun ini memang dia sendiri tak memahami bagaimana sebenarnya hubungannya dengan Liam. Sejak dia memutuskan untuk hialng kontak dengan Reno, satu-satunya lelaki yang dekat dengannya hanyalah Liam.
Tapi entah kenapa dia merasa Liam seperti membangun benteng pertahanan untuk dirinya. Liam hanya akan bercerita soal kesehariannya dan semua hal tentang dirinnya. Tidak sedikitpun dia bercerita soal keluarganya meskipun dia hanya tahu sekilas jika hubungan mereka tak baik.
Wanita yang usianya sudah lewat setengah abad ini merasa Liam dan keluarganya banyak menyembunyikan sesuatu. Seakan kehadiran mereka tak ingin terekspos oleh khalayak dan sifatnya tertutup.
“Kamu tahu kedekatanku selama ini dengan Liam karena aku merasa hutang budi dengannya. Aku tak tahu apa itu cinta dan bagaimana mencintai setelah apa yang aku alami dengan Reno,” gumam Gladis dengan pandangan menerawang.
“Saya mengerti Nona, tapi jika ada kesempatan bertemulah dengan Leon kakak Liam walaupun sekali, karena saya yakin Nona pasti paham kenapa saya meminta hal ini,” kata Sania berlalu dari sana.
Gladis bukannya wanita bodoh yang tidak peduli dengan keadaan sekitar. Tapi lebih tepatnya dia tak mau peduli, selain demi keselamatannya sendiri hal itu dia lakukan untuk menjauhkan keluarga Sasmita dari bahaya yang selama ini dia ketahui di kalangan para pebisnis.
Sasmita dikenal karena trah keluarganya yang turun temurun memiliki perusahaan asuransi, investasi dan keuangan yang kualitasnya diakui oleh otoritas dunia. Meskipun kepemilikan perusahaannya termasuk dalam go public, tapi keluarganya masih memiliki daya pikat tersendiri yang membuat mereka masih diperhitungkan dalam dunia bisnis terutama di Asia.
“Apa yang sebenarnya diincar oleh Liam, aku atau Sasmita. Sepertinya aku tak bisa berdiam diri lagi dan bersikap masa bodoh soal ini,” gumam Gladis menyesap kopinya dengan pandangannya kepada lelaki yang berkeliaran dengan setelan hitam.
Ponsel Gladis berdering dan dia melihat nama ayahnya di sana. “Halo Pa, apa kabar?” sapa Gladis riang. Papa Bagas menyambut sapaan anaknya itu tak kalah riang.
“Papa jadi ke Jerman lusa, kamu bisa kan jemput Papa nanti,” ucap Papa Bagas dan dijawab riang oleh Gladis. “Pasti Pa, tinggal ngomong aja ke Gladis jam berapa penerbangannya nanti Gladis ke bandara,” jawab Gladis.
Keduanya bercerita dan berceloterh riang khas anak dan ayahnya yang sudah lama tak bertemu. Sampai beberapa menit Gladis teringat pembicaraannya dengan Sania dan dia ingin menanyakan hal ini kepada ayahnya.
“Pa, Gladis boleh nanya sesuatu ga?” tanya Gladis sedikit ragu. Papa Bagas yang mendengar hal itu mulai merasakan firasat yang tak enak. “Tentu saja, kenapa harus minta ijin kan kamu anak Papa,” balas Papa Bagas berusaha menenangkan diri.
“Papa masih percaya sama Reno dan keluarganya, meskipun Gladis bukan siapa-siapa Reno lagi?” tanya Gladis yang sungguh tak terduga oleh Papa Bagas.
“Kenapa kamu menanyakan hal yang membingungkan begini, ada apa sebenarnya?” Papa Bagas balik bertanya. Gladis menghembuskan napasnya dan memutuskan untuk menceritakan sedikit apa yang dia alami di sini.
“Gladis merasa seperti diawasi Pah, tapi Gladis yakin itu bukan suruhan Reno atau Papa,” pembuka Gladis.
Papa Bagas diam. Gladis yang paham kode dari ayahnya akhirnya melanjutkan pembicaraannya.
“Gladis ga paham ini soal apa dan bagaimana ini bermula, tapi dua puluh lima tahun Gladis hidup, baru kali ini Gladis mengalami hal seperti ini dan terjadi di sini dimana Gladis tinggal seorang diri di negeri orang,” jelas Gladis.
Papa Bagas paham apa yang Gladis maksud karena dirinya sendiri pun memikirkan hal yang sama. Dia tak ingin berkomentar terlebih dahulu, karena dia ingin mendengarkan apa kegelisahan yang dialami oleh putrinya.
“Bohong kalau Gladis bilang tidak takut atau khawatir soal ini. Tapi Gladis tak mau tahu soal ini karena Gladis yakin semua ini karena masalah bisnis yang Papa jalani, benar bukan?” ucap Gladis sekaligus memastikan kepada ayahnya yang sedari tadi diam saja.
“Maafkan Papa Sayang, Papa tak seharusnya membuatmu terlibat dalam urusan ini,” balas Papa Bagas. Gladis makin yakin jika terjadi sesuatu di lingkaran bisnis keluarganya.
“Ada apa Pah?”
*****