P.70 Love or Hurt

1503 Kata
Gladis paham jika situasinya tidak memungkinkan saat ini dan pasti ini bukan masalah yang sepele. Dalam bisnis persaingan sehat dan tidak sehat itu sudah hal yang biasa. Tapi yang tidak dimengerti adalah kenapa kali ini Sasmita harus terlibat sedangkan dia tahu selama ini keluarganya selalu main aman. “Papa akan ceritakan nanti kalau sudah sampai di Jerman,” pada akhirnya Papa Bagas memutuskan untuk mengatakan pada Gladis saat mereka bertemu. Gladis tak bisa membantah dan menyetujui usul ayahnya. “Sampai bertemu di Jerman, Papah,” pamit Gladis dan keduanya mengakhiri percakapan mereka. Tak lama setelah panggilan itu berakhir muncul notifikasi di ponsel Gladis. Liam [Apa kita bisa ketemu malam ini, aku jemput jam 7 ya.] Gladis hanya menghela napas membaca pesan itu, dia ingin merasa bahagia dengan pesan itu, tapi dia tidak bisa berbohong jika banyak keraguan yang muncul dalam dirinya terutama mendengar cerita Sania, kekhawatiran papanya juga. Tak lama terbersit sebuah ide dari kepalanya yang menurutnya tak ada salahnya untuk dicoba. Gladis mengembangkan senyumnya. Gladis [Okay, aku tunggu] Dia mencari keberadaan Sania dan samar dia mendengar suara percakapan telepon. Karena rasa penasarannya yang mendadak terbit membuatnya mendengarkan percakapan itu. “Sepertinya Gladis sudah mulai curiga dengan pengawal yang ada di sekitar kita, apa kalian tidak bisa mencari tahu mereka itu siapa,” ucap Sania. “Aku tak tahu seberapa lama aku bisa mengulur waktu dan aku juga dengar Tuan Bagas akan datang ke Jerman dua hari lagi, pasti semuanya akan terungkap saat itu,” kata Sania serius. “Baiklah aku mengerti, cukup kirim pesan saja jika memang tidak bisa menghubungiku, setidaknya aku punya satu nama untuk aku jaga. Setelah kamu bilang soal identitas Leon, aku jadi khawatir saat Gladis bertemu dengan Liam,” keluh Sania. “Iya aku tahu, tenang saja, Gladis belum tahu soal Leon yang jadi anggota mafia,” kata Sania cepat tapi Gladis yang mendengarnya langsung diam dan tubuhnya kaku. Apa benar yang dikatakan Sania, jika Leon anggota mafia, apa Liam tahu soal identitas kakaknya ini dan jika dia tahu apa itu artinya dia membiarkan saja semua ini. Lalu, siapa yang bicara dengan Sania apa perkataannya bisa dipertanggungjawabkan, atau jangan-jangan orang yang bicara dengan Sania adalah Loka. Pikiran Gladis berkecamuk soal kebenaran kecil tapi bermakna besar baginya. Ingin sekali rasanya dia berlari dan menanyakan semua ini kepada Liam. Tapi dia yakin Liam tidak akan mengaku mengenai semua ini, dia berharap ada seseorang yang bisa membantunya dalam hal ini. Dan tiba-tiba Gladis ingat satu nama dalam kepalanya. Reno. Pria itu pasti bisa menemukan informasi soal ini dengan mudah, dia mencari satu kontak dengan cepat, tangannya bergetar ketika dia menemukan kontak itu. Ada debaran yang sudah lama tidak dia rasakan, tapi dia yakin ini bukan debaran rindu atau cinta, ini hanya perasaan was was yang muncul. Gladis membatalkan keinginannya dan menyimpan ponsel itu kembali di sakunya. Dia berjalan ke kamar dan memutuskan untuk bekerja saja hari ini melupakan semua hal yang terjadi di awal harinya. Hampir sembilan jam Gladis bekerja dan kini dia mendengar ada panggilan di ponselnya, tertera nama Liam di sana meski enggan dia akhirnya menjawab panggilan itu. “Hai Liebe, aku kira kamu di rumah, tapi Sania bilang kamu ke kantor hari ini, tumben kamu ga ngabarin aku,” cerocos Liam. Gladis hanya menghela napas pelan dengan pertanyaan Liam. “Sorry, aku lupa ngabarin, ada hal yang mau aku kerjakan dan datanya ada di kantor jadi aku datang ke kantor aja daripada bolak balik,” jawab Gladis santai. “Okay tunggu aku di sana ya, aku dalam perjalanan ke kantor kamu,” kata Liam lembut. “Okay, aku tunggu,” jawab Gladis datar dan langsung menutup panggilannya tanpa menunggu balasan lagi dari Liam. Perlahan Gladis membereskan pekerjaannya dan tak sampai satu jam Liam sudah datang dan menunggunya di lobby. Gladis menghampirinya dengan wajah normal, Liam yang melihat gadis pujaannya sudah sumringah dan tersenyum lebar. “Malam Liebe, hadiah buat kamu biar capeknya ilang,” ucap Liam menyodorkan seikat kecil bunga kesukaan Gladis, mawar kuning. “Cantik sekali, terima kasih,” ucap Gladis berusaha ramah meskipun dalam pikirannya banyak sekali hal yang ingin dia lontarkan kepada Liam. Mobil sport AMG buatan Jerman melaju pelan di jalanan kota. Gladis yang tak ingin membuka percakapan apapun hanya diam menikmati jalanan sampai dia merasa jika perjalanan mereka mengarah ke satu pedesaan yang dia kenal sekali. “Apa kita ke Cille,” tanya Gladis dan Liam mengangguk dengan senyum mengembang. Gladis ikut tersenyum membayangkan dia akan bertemu dengan semua anak-anak yang dulu selalu menemaninya. “Aku tahu kamu pasti senang ketemu mereka nanti,” ucap Liam sambil menggenggam tangan Gladis. Wanita itu melirik genggaman itu meski ada debar dalam dirinya tapi dia tak tahu debar ini memiliki arti seperti apa. Gladis merasa aneh dengan suasana desa ini yang sepi. Liam bergegas membuka pintu mobil dan menuntun Gladis untuk turun. Meski merasa aneh tapi Gladis tak menaruh curiga sedikitpun kepada Liam. “Tutup matamu dulu,” bisik Liam yang sedikit membuat Gladis meremang. Perlahan wanita ini menutup matanya dan Liam menuntunnya entah kemana. Dia merasakan langkahnya terhenti dan genggaman Liam mengendur. “Liam,” panggil Gladis. “Tunggu di situ, aku segera kembali,” ucap Liam cepat. Gladis akhirnya menuruti keinginan itu dan diam menanti kedatangan Liam. “Buka mata kamu Glad,” ucap Liam yang terdengar jauh tapi Gladis masih bisa mendengarnya. Perlahan Gladis membukanya dan pandangan matanya menyesuaikan keadaan sekitar yang mendadak ada pendar cahaya. ‘Willst du mich heiraten,’ Gladis terbelak membaca tulisan di hadapannya, jantungnya serasa copot membaca tulisan itu. Bukan karena dia merasa tersentuh dengan ucapan itu, tapi keberanian apa yang Liam miliki sampai dia berani melamarnya. Kalimat yang berarti ‘Maukah kamu menikah denganku’ itu mengandung arti yang tak sepele bagi Gladis. “Aku tahu kamu pasti kaget dengan semua ini, tapi aku tidak bisa lagi berbohong dan menyembunyikan perasaanku kepadamu Glad,” ujar Liam yang tak menyangka jika Gladis hanya diam tanpa ekspresi menghadapi lamarannya. “Apa aku harus menjawabnya sekarang?” tanya Gladis tanpa basa basi. Liam diam sesaat tapi kemudian dia tersenyum. “Kamu punya banyak waktu untuk menjawabnya, nikmati waktumu Glad,” jawab Liam diplomatis. “Terima kasih, aku hanya tidak bisa mengerti perasaanku padamu saat ini,” ungkap Gladis dan Liam hanya bisa menghela napas. “Aku tahu,” ucap Liam mencoba mengerti. “Sekaligus aku juga tidak mengenalmu dengan baik Liam, seakan kamu menutup dirimu dan membangun benteng diantara kita. Bagaimana mungkin aku bisa menerima lamaran dari seorang pria yang bahkan tak percaya kepadaku,” skak Gladis. Liam bungkam, dia langsung merasa tertusuk pisau tepat di dadanya mendengar ucapan Gladis yang demikian. Lelaki itu berpikir jika ekspresi ceria, senyumnya dan perhatiannya kepada Gladis bisa menutupi kenyataan siapa dirinya tapi ternyata dia baru tahu satu hal jika Gladis terlalu peka. “Apa maksudmu Glad? Aku tidak menutupi apapun darimu, aku sudah cerita kepadamu soal kehidupanku, keluargaku dan keseharianku,” lirih Liam berusaha tenang. Gladis berdecih pelan, “Iya kau memang sudah menceritakan semua, tapi kamu melewati semuanya di bagian keluargamu. Kamu ingin menikahiku tapi kamu tidak pernah mengenalkanku kepada keluargamu, kakakmu, atau siapapun itu yang kamu anggap keluarga,” tegas Gladis. Deg. “Kamu terlihat tegar seorang diri, kamu terlihat mandiri tapi sebenarnya kamu seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Kamu memang peduli padaku tapi itu hanya pengalihan dalam dirimu untuk menutupi luka hatimu karena tidak ada yang peduli kepadamu,” cecar Gladis. Liam bungkam. “Apa ini cara mencintai seseorang, apa ini caranya menikahi seseorang sedangkan pasanganmu saja tidak tahu silsilah keluargamu dan kebiasaan keluargamu,” protes Gladis. “Jika kamu mencintaiku dan ingin menikahiku seharusnya kamu juga membawaku dalam lingkunganmu. Tapi apa yang aku dapatkan selama ini, dua tahun kita bersama tapi aku hanya tahu dan melihatmu, aku hanya mendengar soal keluargamu tapi tidak ada kedekatan yang bisa aku rasakan bersama mereka,” telak Gladis. Liam menegang. “Glad bukan seperti itu maksudku, ada saatnya nanti aku akan mengenalkanmu kepada mereka, tapi bukan sekarang,” lirih Liam. “Kenapa?” tanya Gladis masih tak puas. “Aku tak tahu bagaimana memulai cerita mengenai keluargaku, tapi ini terlalu rumit Glad, bahkan kamu tahu jika selama ini aku kabur dari mereka,” Liam mencoba menjelaskan kepada Gladis. “Iya aku ingat kamu pernah menceritakan hal itu kepadaku, jika memang kamu kabur dari keluargamu itu artinya pernikahan ini juga tidak akan pernah terjadi Liam,” putus Gladis membuat Liam makin menegang. “Tapi kenapa?” sendu Liam. “Bagiku menikah adalah penyatuan dua keluarga yang berbeda pendapat, dua kebiasaan yang saling melengkapi. Dua rasa dalam diri kita yang saling mengisi satu sama lain,” ucap Gladis. “Dan sekarang aku hanya tahu kamu, aku tak tahu keluargamu, rasa dalam diriku pun aku tak bisa memahami perasaan apa yang aku miliki kepadamu. Apa kamu bisa membayangkan bagaimana pernikahan yang nanti akan kita jalani,” terang Gladis. “Tapi bagiku cukup kehadiranmu dan apapun kondisi keluargamu aku pasti akan menerimanya Glad, karena aku tulus mencintaimu,” balas Liam. “Cinta apa yang sebenarnya kamu miliki untukku Liam Putra Arkanta.” *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN