Papah Bagas menegang mendengar ucapan Gladis, ada rasa khawatir yang muncul. Apa benar jika selama ini Gladis sudah tahu jika ada banyak orang yang mengawasinya. Puluhan tahun menggeluti bisnis keuangan tak membuatnya was was tapi perasaan itu muncul sejak anaknya mengenal Liam.
“Apa maksud kamu Sayang?” tanya Papah Bagas tak mengerti. Gladis melepaskan pelukannya dan tersenyum. “Nanti Papah juga bakal tahu, ayo kita bicara di depan saja,” ajak Gladis.
Keduanya meninggalkan ruang kerja Gladis dan berada di balkon penthouse. Sania melihat kehadiran keduanya dan langsung menyiapkan minuman hangat. Gladis dan ayahnya mengucapkan terima kasih atas reaksi Sania yang cepat tanggap.
“Papah liat orang-orang yang di bawah itu,” jeda Gladis. Pemandangan di bawah memang masih terlihat jelas karena Gladis memilih konsep apartemen yang memiliki 3 unit penthouse dalam satu tower. Tower yang lain memiliki konsep hunian dengan tingkatan lantai sampai puluhan.
Gladis tinggal di lantai 4 sehingga dia masih bisa melihat siapa saja yang berinteraksi di bawahnya sekaligus ada hamparan taman yang luas. Hunian ini masih nyaman untuk Gladis dan Sania karena luasnya sekitar seratus meter persegi.
“Apa kamu mengira mereka orang suruhan Papa?” tanya Papa Bagas dan Gladis mengangguk. “Tapi setelah aku melihat mereka dari dekat, aku baru sadar jika mereka bukan suruhan Papah,” ujar Gladis.
Gladis berjalan ke kursi yang ada di balkon dan duduk di sana sambil menuangkan teh. Sania datang dan membawa satu berkas yang kemarin Gladis minta dan menyerahkan kepada Papa Bagas.
Ayah Gladis menerima dan membacanya, tapi ekspresinya yang terhenyak tapi tak terlihat terkejut membuat Gladis sadar jika Papanya sudah tahu masalah ini. Papanya menatap wajah anaknya dan bertanya.
“Darimana kamu dapat semua informasi ini?” tanya Papa Bagas. Gladis tersenyum samar. “Papah bertanya karena Papa tak ingin Gladis tahu atau karena Gladis lebih tahu daripada Papa,” skak Gladis.
Kali ini Bagas harus mengakui jika kemampuan anaknya dalam memahami situasi lebih peka daripada dirinya. Dia tak tahu sejak kapan anaknya bisa super sensitif seperti sekarang, apa semua ini karena dulu dia dekat dengan Reno atau memang tipikal anaknya yang seperti ini.
“Karena Papa tidak mau kamu tahu soal ini,” tegas Papa Bagas dan ikut duduk di samping Gladis. Wanita muda itu menghela napas lelah karena ucapan ayahnya. “Kehidupanmu bisa berbahaya jika kamu terlibat lebih jauh Glad,” lanjut Papa Bagas.
“Tapi semuanya terlambat Pah,” balas Gladis. Bagas yang tak paham ucapan anaknya kaget. “Apa maksudmu terlambat, apa yang sudah terjadi Glad?” cecar Papa Bagas panik.
“Liam sudah melamar Gladis semalam, meskipun aku belum memberikan jawaban tapi pasti Leon kakak Liam akan terus menekan Liam untuk segera menikah denganku,” jelas Gladis.
Papa Bagas langsung lemas dan menyandarkan tubuhnya di kursi. Pria paruh baya itu memikirkan cara bagaimana anaknya bisa lepas dari jeratan Leon jika kondisinya seperti ini.
“Liam tulus mencintai Gladis Pa, aku bisa merasakan hal itu, tapi kondisi ini pasti dimanfaatkan oleh Leon untuk menjadikan Sasmita sebagai pijakan baginya. Liam pasti melindungi Gladis, tapi aku ga yakin Liam bisa melindungi Sasmita,” terang Gladis.
Analisa Gladis bukan tanpa alasan, karena kasus ini pun dia baru saja mengalaminya dan Reno lah yang mengingatkannya untuk selalu berhati-hati. Ucapan Gladis membuyarkan pemikiran Bagas.
“Maafkan Gladis Pah, yang terlambat menyadari jika semua ini bisa membahayakan keluarga kita,” lirih Gladis dan entah kenapa ucapan itu membuat hati Bagas teriris.
“Apa kamu mencintai Liam?” tanya Bagas membuat Gladis makin terisak. Papa Bagas bangun dan memeluk putri kesayangannya itu. “Jangan takut Sayang, Papa hanya ingin tahu apa yang kamu rasakan,” lanjut Papa Bagas. Gladis menggeleng membuat Bagas bingung.
“Gladis tidak tahu Pah, selama ini Gladis dekat dengannya karena Liam selalu membantuku dalam segala kesulitan,” ucap Gladis dengan suara serak. Papa Bagas membelai punggung anaknya.
“Apa kamu masih mencintai Reno bahkan sampai hari ini?” tanya Papa Bagas hati-hati. Gladis mencengkram erat baju ayahnya seakan dia akan menghadapi rasa takut yang besar. Tapi tak lama wanita itu menggeleng.
“Gladis lebih tidak tahu lagi rasa apa yang Gladis miliki untuk Reno, rasanya terlalu rumit,” jawab Gladis lalu melepaskan pelukannya perlahan.
“Lalu apa yang kamu takutkan? Sasmita bukan keluarga yang lemah, yakinlah Nak, masalah ini tidak akan membawa hal buruk untukmu. Cukup lakukan satu hal yakinkan saja hatimu milik siapa,” pesan Papa Bagas membuat Gladis bergeming.
***
Setelah ayah dan anak menghabiskan waktu bersama selama seharian, di hari berikutnya Gladis ada pertemuan dengan salah satu klien bisnisnya membuatnya tak bisa menemani ayahnya seperti sebelumnya. Kesempatan inilah yang digunakan oleh Papa Bagas untuk menemui Reno, akhirnya beliau mengirimkan alamat dimana mereka harus bertemu melalui pesan teks.
“Siang Om, sorry kalau kelamaan nunggunya,” sapa Reno yang datang langsung mencium tangan Bagas dan keduanya berpelukan.
“Tenang aja Om yang datangnya lebih awal kok, kamu apa kabar?” tanya Om Bagas santai. “Reno baik, Om sendiri kabarnya bagaimana, keliatannya makin sehat dan ceria ini Om,” goda Reno membuat keduanya jadi tertawa bersama.
Keduanya berbincang santai sambil memesan makanan dan minuman. Banyak hal yang mereka bicarakan mulai dari kabar masing-masing, keluarga keduanya sampai tak terasa hidangan mereka habis dan memutuskan untuk memesan minuman sebagai teman ngobrol.
“Apa kamu ga penasaran sama kabar Gladis,” singgung Om Bagas membuat Reno diam namun beberapa detik kemudian Reno tersenyum sambil menggeleng samar.
“Reno berharap dia dalam keadaan baik-baik aja Om,” ucap Reno lirih dengan tatapan menerawang. Om Bagas yang melihat reaksi itu akhirya tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya dan bertanya hal yang tak pernah dia campuri selama ini.
“Anggap ini pembicaraan sebagai sesama lelaki, jadi apa sebenarnya yang terjadi diantara kalian berdua,” tanya Om Bagas membuat Reno menatap pria yang sampai hari ini masih dia hormati itu.
“Tidak mungkin kan Om Bagas selama ini tidak tahu kejadian sebenarnya,” celetuk Reno dan Om Bagas dengan santainya menggeleng. “Apa menurutmu Gladis tipe orang yang akan menceritakan semuanya kepada Om, hanya karena Om adalah Papanya,” sindir Om Bagas.
Reno langsung menyandarkan tubuhnya di kursi dan otot-ototnya terasa lemas. Entah apa yang ada dalam pikirannya kali ini tapi terlihat sekali jika dia menyesali semuanya jika tahu pada akhirnya begini.
“Jika pada akhirnya aku tahu jika sikap diamnya Om Bagas dan Tante Silvi selama ini karena kalian tidak tahu masalah ini, pasti aku tidak akan mengabulkan keinginan Gladis untuk berpisah denganku,” sesal Reno.
Bagas makin tak mengerti apa yang terjadi sebenarnya dan itu membuatnya semakin penasaran. “Oke anggap saja seperti itu dan maukah kamu menjelaskannya kepadaku sebagai teman,” pinta Om Bagas membuat Reno mengangguk samar.
Lelaki muda yang masih berusia dua puluh delapan tahun itu tidak menutupi apapun bahkan dia dengan jujur mengakui jika dirinya lah yang salah dan mudah mengikuti emosi serta kemauan Gladis tanpa mempertimbangkan semuanya.
Bagas yang pada akhirnya paham semua akar masalah ini karena gengsi dan keegoisan putrinya hanya bisa menghela napas lelah. Satu-satunya sifat Gladis yang disadari oleh dirinya adalah sikap keras kepala Gladis dan menjunjung tinggi harga dirinya.
“Apa kamu tahu jika Gladis dekat dengan Liam Arkanta?” tanya Om Bagas dan Reno mengangguk. “Itu salah satu perjanjian yang kita buat dua tahun lalu Om sebelum Gladis minta untuk melepaskan semuanya dan dia ingin memulai semuanya sesuai dengan pilihan hidupnya,” ujar Reno.
“Tunggu sebentar, perjanjian apa yang kamu maksud?”
******