Liam menghela napas dan paham apa yang Gladis khawatirkan. Tapi dia tidak bisa langsung menjawab, entah karena alasan apa kepalanya terasa berdenyut.
“Leon ingin mengajak Sasmita bergabung dalam Arkanta dengan mengadakan perjanjian kerja sama,” ucap Liam terbata.
Gladis masih belum menemukan itu menjadi hal yang berbahaya atau ancaman bagi Sasmita. Wanita muda ini ingin menanyakannya tapi Liam meneruskan perkataannya.
“Dan sayangnya perjanjian itu hanya kamuflase karena nantinya dia yang akan mengambil alih Sasmita Finance, aku keberatan dengan kondisi itu yang membuat kita jadi bertengkar sampai dia mengirim banyak anak buahnya untuk mengawasiku karena takut aku membocorkan masalah ini,” lanjut Liam.
“Tapi sekarang kamu mengatakannya kepadaku Liam, apa itu tidak masalah?” tanya Gladis tak mengerti dan Liam menggeleng. “Biarkan saja, selama dia tak tahu apa yang aku bicarakan denganmu, anggap saja kamu tak tahu apapun Glad,” kata Liam.
Gladis diam mendengarnya bagaimanapun dia seorang wanita yang pasti akan tersentuh dengan tindakan yang Liam lakukan ini. Lelaki di hadapannya ini sepertinya memang tulus mencintainya dan kenapa Gladis tak bisa membuka sedikit saja hatinya untuk lelaki ini.
“Kenapa kamu melakukan ini,” lirih Gladis setelah diamnya beberapa lama. Liam mengangkat tangannya dan membelai pipi Gladis.
“Jika Sasmita terluka itu pasti ikut membuatmu sedih dan kesedihanmu itu sama dengan luka untukku Glad,” ucap Liam dengan sorot mata ketulusan yang tak bisa Gladis ungkapkan seberapa besar rasa yang terpancar dari mata indah itu.
“Aku tahu tindakanku ini akan semakin membuat keluargaku mengasingkan diriku, tapi aku tak peduli lagi selama kamu tidak terluka dan membenciku,” tekad Liam.
“Tapi kenapa mereka harus membencimu Liam, aku tidak mengerti,” tanya Gladis.
Dan sayangnya belum sempat Liam menjelaskan apa yang terjadi, Liam sudah memegangi kepalanya dan mengerang kesakitan. Gladis yang melihat itu langsung panik dan bingung.
Wanita yang tak tahu apa-apa itu akhirnya berteriak minta tolong. Liam memegang tangan Gladis dan memberikan ponselnya. Gladis yang paham langsung menyalakan ponsel Liam.
“Tanggal lahir kamu,” ucap Liam. Gladis langsung memasukkan kode sesuai dengan yang Liam katakan. Dalam hatinya dia ingin sekali bertanya kenapa kode ponsel Liam adalah tanggal lahir dirinya. Tapi melihat kondisi Liam yang seperti sekarang dia menundanya.
“Siapa yang harus aku hubungi?” tanya Gladis cepat lalu mencari aplikasi yang berisi nama kontak yang sudah Liam simpan.
“Raka,” lirih Liam dan Gladis langsung mencari nama tersebut. Tak lama terdengar nada sambung bersamaan dengan erangan kesakitan Liam.
“Tunggu Liam, tunggu sebentar,” gumam Gladis yang tak sengaja didengar oleh pria di sebrang sana.
“Maaf ini siapa? Apa Liam bersamamu?” tanya pria di sebrang sana membuat Gladis langsung fokus pada panggilannya.
“Raka, tolong Liam, dia sepertinya kesakitan di kepalanya tapi aku tak tahu harus bagaimana,” cerocos Gladis yang membuat Raka paham apa yang terjadi.
“Apa kamu melihat obat yang selalu dia bawa?” tanya Raka membuat Gladis berpikir, selama ini dia kemana saja, dia bahkan tak tahu jika Liam selalu membawa obat.
“Apa nama obatnya tunggu aku cari dulu,” kilah Gladis dan dia langsung berlari ke mobil mencari kotak obat atau apapun yang biasa dibawa Liam.
Raka menyebutkan nama obatnya dan Gladis mencarinya dengan cepat. Tak sampai lima menit dia menggenggam obat itu dan tak lupa dia mengambil air mineral di mobil.
“Minum ini Liam,” ucap Gladis menyerahkan obat dan air mineral yang sudah dia ambil. Setelah menelannya Liam membaringkan tubuhnya dan memejamkan matanya, Gladis yang melihatnya merasa lega meskipun masih ada rasa panik dalam dirinya.
Dia kemudian teringat dengan panggilan teleponnya dengan Raka dan memutuskan untuk bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Tapi sayangnya dia tak mendapatkan jawaban yang dia inginkan.
“Itu bukan hakku untuk mengatakan apa yang Liam alami, tapi jika kamu tidak keberatan, biarkan dia istirahat malam ini dan jangan sampai dia mengemudi dalam kondisi seperti ini,” kata Raka.
Gladis akhirnya hanya mengiyakan apa yang Raka katakan. Wanita itu sudah bertekad akan menanyakan hal ini keesokan harinya setelah kondisi Liam membaik.
Gladis memapah Liam masuk untuk istirahat di paviliun. Liam yang masih sadar dengan apa yang dilakukan Gladis merasa sedih karena pada akhirnya wanita yang dia cintai akan mengetahui penyakit yang dia derita.
“Maafkan aku yang merepotkanmu karena sakit ini,” lirih Liam dan Gladis menggeleng sambil tersenyum. “Tidak masalah, tapi jika aku tahu lebih awal pasti aku tidak akan panik seperti tadi,” balas Gladis tapi Liam sadar makna dari ucapan itu.
Liam memejamkan matanya membuat Gladis tak bisa menuntut penjelasan terlalu banyak. Dia akhirnya meninggalkan Liam di sana dan memutuskan untuk meminta satu kamar tambahan kepada pengurus yayasan untuk dirinya.
“Sania, malam ini aku akan menginap di Cile, Liam sedang dalam kondisi tidak sehat jadi aku tidak bisa membawanya pulang ke kota,” kata Gladis yang dipahami oleh asistennya itu.
“Baik Non, tetap berhati-hati meskipun sudah berada di tempat aman,” pesan Sania. Gladis menghela napas berat mengetahui hal itu.
“Aku tahu Sania,” balas Gladis lalu dia diam sesaat. “Bisa kamu bantu aku mencari informasi soal Leon dan perjanjian kerjasama yang akan dilakukan oleh Papah dalam waktu dekat ini,” pinta Gladis.
Sania menyanggupinya. “Apa terjadi sesuatu Nona?” tanya Sania. Gladis menghembuskan napas kasar. “Aku akan ceritakan saat aku sudah kembali bersamaan dengan informasi yang aku minta,” jelas Gladis dan dia mengakhiri panggilannya dengan Sania.
Keesokan harinya setelah sarapan Gladis dan Liam kembali ke kota. Kali ini Gladis memaksa untuk mengemudi tapi pria itu tak mengijinkannya. Demi cepat sampai ke kota akhirnya Gladis mengalah dan membiarkan Liam yang mengemudi.
“Terima kasih Liam dan jangan lupa kamu jaga kesehatan,” pesan Gladis dan Liam mengangguk. Pria itu bukan tak sadar dengan perubahan sikap Gladis setelah kejadian semalam, tapi dia membiarkan semuanya dulu sampai emosi wanita itu mereda.
“Aku akan menemuimu lagi besok dan aku akan menceritakan semuanya kepadamu soal keadaanku,” janji Liam tapi Gladis menggeleng. “Aku tak bisa, Papah akan datang dan aku pasti menemaninya seharian,” tolak Gladis dan Liam diam.
Paham dengan reaksi Liam, wanita itu tersenyum. “Aku akan mengajakmu makan bersama Papahku jika kamu mau,” ajak Gladis tapi Liam menggeleng. “Aku ingin tapi tidak sekarang, terima kasih dan maaf,” kata Liam.
Gladis tak menyangka jika Liam akan menolak tawarannya. “Baiklah, sampai jumpa,” kata Gladis melepas seat beltnya dan turun dari mobil. Keduanya berpisah dengan perasaan yang tak bisa diartikan.
“Selamat datang Nona Gladis,” sambut Sania saat dia sudah memasuki penthousenya. “Apa kamu sudah makan?” tanya Gladis dan Sania mengangguk. “Nona mau saya buatin sarapan?” tanya Sania dan Gladis menggeleng, “Aku sudah makan tadi.”
Sania langsung menyodorkan apa yang dia dapatkan. Gladis paham berkas apa itu dan dia langsung duduk di sofa ruang tengah dan membacanya. Wanita itu tak bisa berhenti kaget dan menggelengkan kepalanya membaca semua informasi yang ada di hadapannya.
“Papah harus tahu soal ini,” gumam Gladis. Dia menoleh ke arah Sania. “Jangan lupa besok kita jemput Papah dari bandara dan beliau harus tahu soal ini,” ucap Gladis dan Sania mengangguk.
***
“Herzlich willkommen Papah,” sambut Gladis langsung memeluk Papah Bagas begitu dia melihat ayahnya muncul dari pintu kedatangan. Papah Bagas langsung membalas pelukan erat anak kesayangannya itu.
“Papah vermisse dich, Glad,” balas Papah Bagas membuat Gladis tertawa. “Tidak buruk untuk orang yang baru mengucapkan bahasa Jerman,” ledek Gladis dan keduanya tertawa.
Sania membawakan koper tuannya dan memasukkannya dalam mobil. Kali ini Sania yang mengemudi, Papah Bagas sempat menanyakan keberadaan supir mereka tapi seperti biasa jawaban Gladis yang tak diduga karena hal ini.
Mereka sempat mampir ke salah satu kafe untuk sarapan sebelum memutuskan untuk kembali ke penthouse. Setelah sampai di penthouse, Gladis pamit untuk bekerja sebentar sedangkan Papah Bagas membersihkan diri.
“Papah boleh masuk,” ijin Papah Bagas saat melihat anaknya masih berkutat dengan kertas gambar di ruang kerjanya. Gladis tertawa pelan dan mengangguk.
“Masih banyak kerjaannya?” tanya Papah Bagas dan Gladis menggeleng. “Tenang saja Pah, ini belum nyampe deadline,” kelakar Gladis. Keduanya tertawa mendengar ucapan Gladis.
“Maaf jika kedatangan Papah mendadak dan sebenarnya Papah tidak bilang sama Mama kamu, jika Mama kamu tahu pasti dia akan mengomel sepanjang hari,” canda Papa Bagas membuat Gladis tertawa.
“Gladis ngerti dan ga masalah buat Glad Papah datang ke sini,” ucap Gladis.
“Papah hanya ingin memastikan sendiri kalau keadaan kamu baik-baik saja,” ucap Papah Bagas sendu membuat Gladis meninggalkan meja kerjanya dan menghampiri papanya yang duduk di sofa.
“Gladis baik-baik saja, Papah sudah ngirim Sania kemari, pasti dia melaporkan apa saja yang Gladis lakukan bukan,” ledek Gladis dan Papa Bagas hanya tertawa.
“Sepertinya Papah memang tak bisa menipumu lagi ya,” kekeh Papa Bagas membuat Gladis memeluk papanya.
“Tapi Gladis lebih senang kalau Papah ngawasin Gladis terus daripada Gladis diawasi oleh orang lain.”
*****