Loka sudah mempersiapkan semuanya untuk kepindahan Reno ke Jerman, semua berkas penting yang nantinya berguna di sana sudah dia pisahkan dengan dokumen yang nantinya jadi arsip.
Reno yang sudah tidak pergi ke kantor lagi sejak bicara dengan ayahnya, kini hanya termangu di balkon penthousenya. Terdengar pintu penthousenya terbuka tapi pria itu masih bergeming.
“Besok petugas kebersihan akan datang dan menutup semua perabot di sini agar tidak berdebu. Semua berkas yang nantinya kita butuhkan di Jerman sudah aku masukkan dalam koper terpisah yang kita bawa sendiri ke kabin,” lapor Loka.
Reno melirik sekilas dan menggerakkan kepalanya untuk meminta Loka duduk di dekatnya. Loka akhirnya menuruti hal itu dan menatap lurus ke arah Reno.
“Terima kasih sudah membantuku tak bosan menuruti perintahku,” ucap Reno mendadak mellow bak wanita. Loka yang mendengarnya merasa janggal.
“Apa terjadi sesuatu sampai kamu jadi pria kewanitaan,” sindir Loka membuat Reno langsung melotot. “Ga sopan, giliran aku jadi baik malah diledek,” umpat Reno. Loka terbahak mendengarnya.
“Ada beban dan perasaan berat meninggalkan semuanya di sini,” lirih Reno membuat tawa Loka perlahan memudar. Asistennya itu menelan ludah dan menunggu kelanjutan perkataan yang ingin Reno katakan.
“Aku ga bisa bohong kalau aku merelakan dia menikah dengan pria lain, tapi entah kenapa ada rasa tak bisa menerima dia menikah, bukan karena aku tak bisa memilikinya, tapi entahlah seperti perasaan bahwa pernikahan ini tak seharusnya terjadi,” kata Reno.
Loka menghela napas pelan, “Apa karena kamu tahu siapa calon suami Asmara?” tanya Loka dan Reno menggeleng. “Ga perlu sih, karena itu kan hak dia dan pilihannya juga,” jawab Reno santai.
“Okey, karena seharusnya kamu juga sudah membaca di profil yang sudah kamu ketahui, di sana sudah jelas tertulis sih siapa tunangannya,” kata Loka dan Reno mengangguk.
Hening.
“Tunggu sebentar, emang ada yang salah dengan profil tunangannya?” tanya Reno penasaran membuat Loka berdecih. “Sudah kuduga kalau kamu tidak membacanya.
“Mantan pacar Asmara adalah Priandita Sanjaya,” kata Loka dan langsung dipotong oleh Reno, “Aku tahu kalau itu.”
“Tunangannya adalah Devio Airlangga seorang Manager di perusahaan yang dikelola oleh Sanjaya, mantan pacarnya adalah Sinta yang sekarang secara hukum masih jadi istrinya Aldo Mahendra,” jelas Loka.
Reno mengangguk paham, “Okay lalu istimewanya dimana,” tanya Reno masih tak mengerti tapi beberapa detik kemudian dia sadar. “Astaga maksudmu Aldo sepupunya Rasyid,” celetuk Reno dan Loka mengangguk.
“Ya ampun gadis itu memang luar biasa, semuanya bisa berkaitan begini,” kekeh Reno dan menegak soda yang memang sedari tadi dia pegang.
“Sepertinya keputusanku untuk meninggalkan dia sudah tepat, aku rasa dia akan berada di tangan orang yang tepat kan?” ucap Reno dan Loka hanya mengangkat bahunya.
“Aku penasaran dengan satu hal,” ucap Loka serius membuat Reno mengalihkan pandangannya. “Soal?” tanya Reno ikut penasaran.
“Kenapa tidak Singapore atau Dubai, atau dimanapun itu untuk melupakan Asmara, tapi kenapa malah memilih Jerman. Bukankah kamu tahu Gladis ada di sana, meskipun kotamu dan kota yang dia tempati tak sama,” tanya Loka.
Reno diam mencerna semua perkataan Loka, tak ada satupun dari perkataannya yang salah. Jika memang dia ingin melupakan seharusnya dia mencari tempat yang lain kenapa harus Jerman.
“Aku hanya mengikuti kata hatiku, seakan dia menuntunku bahwa ada hal yang belum aku selesaikan di sana, entah ini kaitannya dengan Abra, atau yang lain aku tak tau.”
“Sekaligus di satu sisi aku perlu menguji takdir yang Tuhan berikan untukku dan Gladis, bukannya aku ingin kembali kepadanya, tapi hanya ingin tahu bagaimana takdir bekerja untuk kita berdua di saat aku tak menghindari kehadirannya dalam hidupku,” lanjut Reno.
***
Dua puluh jam lebih Reno menempuh perjalanan untuk kembali ke Jerman. Hampir dua tahun dia tak ke sini baginya tak banyak berubah, kecuali suasana hatinya yang kembali dalam perasaan berbeda.
“Kita ke central aja Ka, nanti aku telpon Papa kalau aku ga ke rumah dulu,” pinta Reno dan akhirnya meminta supir untuk mengubah rute tujuannya.
“Tau gitu kan ganti tujuan penerbangan, ga pe er banget kaya sekarang mesti jalan darat lagi 5 jam,” keluh Loka tapi jadi hiburan tersendiri buat Reno. “Kapan lagi jalan-jalan sama aku model begini,” balas Reno santai dan Loka hanya menghela napas.
Reno menyewa satu unit apartement di sana demi kenyamanan daripada menginap di hotel. Entah kenapa sejak peristiwa di Singpore itu dia jadi enggan untuk kembali menyewa hotel dalam keadaan sadar.
Rasyid [Lokasi ketemuan dimana?]
Reno melihat pesan dari Rasyid yang muncul di ponselnya membuatnya ingat jika dia belum mengatakan kepada Rasyid lokasi pertemuan mereka.
Reno [Central Jerman Bro, di tempat biasa, Bernad Club.]
Rasyid [Besok apa lusa? Urusanku udah beres di Spanyol, paling ntar malem ke sana.]
Reno [Aku di Royal Bro, barengan aja sini. Tower F lantai 22]
Rasyid [Aku ga mau satu bed sama elu, masih mupeng lobang daripada pedang.]
Reno [Jijay, serah elu deh.]
Reno langsung terbahak membayangkan apa yang Rasyid katakan, emang temennya satu ini ajaib, di depan banyak orang aja dia keliatan dingin padahal aslinya slengekan bener. Reno langsung mengabari Oman jika pertemuan mereka dipercepat besok malam dan sahabatnya itu pun setuju tanpa membantah.
“Ren, bukan maksud pamer apa merusak suasana hatimu, tapi kayanya kamu perlu lihat ini deh,” kata Loka menyodorkan tablet dan di sana ada artikel bisnis yang menarik jiwa keponya.
‘Desain Interior terbaik pembuatan apartment Eco Green berasal dari Indonesia.’
Reno mengambil tablet dari tangan Loka dan membacanya dengan perlahan dan teliti. Tak lama senyuman tersungging dari bibirnya. Ada rasa bangga dan bahagia yang tak bisa dia ungkapkan.
Loka melihat reaksi bosnya itu ikut tersenyum dan masih meyakini sampai hari ini bosnya masih memiliki perasaan yang sama dengan Gladis. Dia hanya bisa berdoa semoga keduanya cepat menyadari arti kehadiran masing-masing dan segera memutuskan yang terbaik untuk keduanya.
“Apa aku perlu mengirimkan buket bunga atau hadiah untuknya?” tanya Loka di tengah keasyikan Reno menatap layar tabletnya dan refleks dia mengangguk, tapi tak lama dia mendongak dan menggeleng.
“Ehh, jangan, ga usah, nanti bisa menimbulkan konflik buat Liam juga. Lagipula aku kan udah janji untuk membiarkan dia hidup dengan pilihannya sendiri,” kata Reno.
“Bagiku ini sudah jadi kebahagiaan tersendiri karena aku tahu dia hidup dengan baik seperti sekarang, bahkan dia bisa mengukir prestasi yang membanggakan,” gumam Reno.
“Apa kamu yakin mereka berdua akan baik-baik saja,” tanya Loka tapi nadanya malah terdengar seperti memancing suatu fakta yang tak diketahui oleh Reno.
“Sebenarnya apa yang kamu sembunyikan dariku Loka Bramasta.”
*****