“Sebenarnya apa yang kamu sembunyikan dariku Loka Bramasta.”
==================================
Sindiran Reno membuat Loka langsung menelan ludah pahit, dia mendadak lupa jika dia ada perjanjian dengan seseorang bahwa kondisi Liam adalah rahasia. Dan sepertinya dia menjadi pria yang tak menepati janji jika kondisinya begini.
“Aku belum tahu pasti sih sebenarnya tapi seseorang mengatakan kepadaku bahwa Liam sebenarnya memiliki penyakit bawaannya yang membuat sepak terjangnya dibatasi,” jelas Loka.
Reno diam sejenak tapi kemudian mengembangkan pola pikirnya. “Apa ini juga ada kaitannya kenapa Leon sampai harus menjadi penjaga gerbang jalur sutra?” tanya Reno tapi Loka langsung menggeleng dengan cepat.
“Menurutku bukan seperti itu, jalur sutra itu memang ambisi Leon, tapi ini soal kesehatan Liam sendiri. Dari yang aku pahami, karena Liam memiliki penyakit bawaan yang tak aku ketahui apa jenisnya membuatnya sedari kecil seakan disembunyikan oleh keluarga Arkanta,” Loka membuka jalan pikiran Reno.
Pria itu akhirnya paham dan mengangguk. “Tapi aku masih tidak yakin jika Liam tak tahu sama sekali soal bisnis yang dijalankan oleh kakaknya ini, minimal dia tahu kalau kakaknya tidak mungkin menjadi kaya mendadak macam ngepet atau pesugihan kan,” analogi Reno yang sontak membuat Loka terbahak.
“Masuk akal sih, mana ada orang hari ini yang percaya soal ngepet segala kaya yang kamu bilang,” kelakar Loka membuat Reno ikut tertawa karena sadar analoginya yang spontan.
“Dan kasus ini membuatku semakin khawatir dengan kondisi Gladis, jika memang mereka berdua menjalin hubungan yang tak biasa maka nyawa Gladis juga bisa jadi taruhannya karena kasus ini,” ungkap Reno.
“Pengawalmu sudah siap jika kamu memberi perintah,” kode Loka membuat Reno menghela napas. “Ga perlu kita lihat saja nanti sampai semua urusan Abra beres dan info dari Oman,” jawab Reno.
Keduanya akhirnya mengakhiri pembicaraan dan berjalan ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Reno berbaring di kamar dan memejamkan matanya, bayangan Asmara dan Gladis berputar secara bergantian di memorinya seperti film.
‘Keduanya memiliki cara sendiri untuk membuatku memperjuangkan mereka, tapi sebenarnya siapa yang memang membuatku tak bisa berpaling dan hati ini masih berdebar untuknya,’ gejolak batin Reno.
***
Suara berisik yang samar terdengar membuat Reno mau tak mau membuka matanya yang masih lengket. Dia mellihat jam dinding sudah menunjukkan jam 11 siang waktu Jerman dengan langkah gontai dia keluar kamar dan melihat apa yang terjadi.
“Ehh,,kebo, selamat siang gimana mau dapet cewek kalau bangunnya siang mulu keburu diambil laki lain lu kalo modelnya begini,” ledek Rasyid membuat mata Reno langsung terbuka lebar.
“Kaya elu kaga kebo aja sok-sokan ngomongin gue kaya kebo. Lagian kalo cewek mati satu kan tumbuh sejuta buat kita mah,” balas Reno yang disambut tawa Rasyid.
“Jam berapa dateng lu, bikin kacau apartmentku aja,” celetuk Reno yang langsung duduk di sofa setelah mengambil segelas air. Rasyid mengangkat bahunya, “Lupa sih tepatnya tapi belum lama kok,” balas Rasyid.
“Ka, delivery order ga? Laper nih,” kata Reno menoleh ke Loka dan pria itu hanya melirikkan matanya ke meja dapur yang tak disadari Reno yang tadi sudah dari sana. Tanpa menunggu lebih lama pria itu bangun dari duduknya dan menncopot sepotong pizza.
“Lu mau tidur dulu Bro,” tanya Reno dengan mulut penuh kunyahan pizza. Rasyid menggeleng dan dia bangun berjalan ke balkon ruang tengah Reno, duduk di bawah meskipun di sana ada kursi kosong.
Reno mengikuti kelakuan Rasyid sambil memandang sahabatnya yang terlihat galau itu. Bagi orang lain Rasyid adalah sosok yang menakutkan tapi tidak bagi Reno, sahabat yang sudah dia kenal sejak kecil ini sebenarnya adalah sosok yang rapuh.
“Ngapa lu,” jiwa kepo Reno meronta setelah melihat Rasyid hanya terdiam tak bersuara. “Perjodohanku dengan Laila akan tetap dilanjutkan,” ujar Rasyid membuat Reno diam.
“Dua tahun aku hampir putus asa mencari semua kebenaran soal kematian Nima tapi justru itu jadi senjata buat Papaku untuk tetap menjodohkanku dengan Laila,” kata Rasyid pilu.
Reno menyodorkan kaleng soda kepadanya dan lelaki itu menerima begitu saja. “Aku tidak munafik jika Laila itu menarik, tapi mati rasa euy sama dia berasa aneh ga sih kaya nikahin adik sendiri gitu,” curhat Rasyid.
Reno langsung terbahak mendengar ungkapan Rasyid yang absurd banget. “Jaman sekarang aja yang penting kasih sayang Bro, mau adik sendiri kalo doyan mah embat aja,” ledek Reno cadas. Rasyid tanpa aba-aba langsung menoyor kepala Reno yang makin membuat Reno terbahak.
“Terus ngapa jadi galau banget gini kan tinggal ngomong sama Om Alfin kalau kamu ga setuju kan beres. Masalahnya dimana?” cecar Reno.
Rasyid mengangguk paham, “Dulu ada Nima bisa Bro kaya gitu, aku udah punya penggantinya. Nah sekarang, siapa yang maau aku tumbalin buat jadi pengganti macam gitu,” ujar Rasyid.
Reno diam.
Dari cara bicara Rasyid kenapa tak menunjukkan jika dia sedang mendekati seseorang atau selama ini hanya ketakutan Reno semata karena sebenarnya Rasyid tak pernah pedekate dengan siapapun.
Reno menggelengkan kepalanya berusaha menghapus nama itu yang bahkan awet banget sampai sekarang terus berputar di kepalanya.
“Kenapa jadi geleng-geleng gitu,” celetuk Rasyid karena melihat Reno yang bertingkah aneh. “Ehh, enggak kok, gapapa,” cengir Reno.
“Sewa aja wanita yang nantinya bakal jadi pengganti kalau memang itu yang kamu butuhkan,” usul Reno asal. Rasyid langsung berdecak keras. “Papaku bukan orang bodoh yang bakal bisa ditipu dengan kondisi macam gitu. Jangankan menyewa seorang wanita sembarangan, bahkan jika wanita itu yang mencintaiku tapi aku tak mencintainya yang ada wanita itu dibayar sama Papaku untuk pergi dari hidupku,” jelas Rasyid.
Reno bisa membayangkan sih bagaimana kehidupan Rasyid soal selektifnya orang tuanya dalam memilih calon pendamping Ar Madin masa depan.
“Dan rencanamu adalah?” tanya Reno karena paham betul jika sahabatnya tak mungkin tidak memiliki plan soal ini. Rasyid menatap Reno tajam dan tersenyum mencurigakan.
“Ada sih, tapi aku tak yakin akan memberitahumu,” ucap Rasyid penuh teka teki membuat naluri kepo Reno meronta. “Sialan, ngomong ga, kalau enggak gue cekek juga nih,” ketus Reno dan Rasyid menggeleng.
“Aku menargetkan satu orang Bro, tapi bukan jadi pengganti karena Laila, tapi sebagai pengganti Nima,” ucap Rasyid berdiri dan masuk ke ruang tengah lalu ngeloyor pergi menuju ke kamar yang ditempati Reno.
“Heh, siapa dia kebo, ngomong ga maen pergi aja lu,” teriak Reno tapi dibalas dengan bantingan pintu dari Rasyid.
***
Dentuman musik EDM menghentak keras di salah satu klub. Reno dan Rasyid datang bersamaan bersama dengan dua asisten mereka. Mereka naik ke lantai dua dan melihat dari atas lantai dansa yang penuh dengan berbagai macam orang.
“Kalau cari pengganti Nima jangan di sini Bro, ga bagus kualitasnya,” ledek Reno yang langsung mendapatkan tawa dari Rasyid. Akhirnya mereka langsung berjalan ke ruangan yang sudah diinfo sebelumnya oleh Oman.
“Hello my Brother, senang melihat kalin rukun begini,” sambut Oman berlebihan saat melihat kedua lelaki itu masuk bersamaan. Ketiganya langsung bergantian berpelukan dengan muka tak bersahabat.
“Ngapa muka pada jelek gitu sih,” kata Oman santai banget. “Elu tuh bikin kusut, sambutanmu kaya kita abis gencatan senjata aja,” balas Reno yang akhirnya mendapat tawa dari semuanya.
Makanan dan minuman pun datang tak lama setelah mereka kelima pria sudah duduk melingkar. “Bentar ya nunggu ajudanku dulu,” kata Oman yang paham kode dari kedua sahabatnya itu..
“Pembukaannya dulu lah,” kata Reno tak sabar membuat Oman menggeleng. “Sabar aja dulu, abis ini juga udah nyampe dia, udah daritadi kok,” kata Oman lalu menyadari jika ada yang salah.
Semua orang saling berpandangan, Oman langsung menghubungi ajudannya, lama nadanya tersambung sampai sebuah suara muncul.
“Apa kalian menunggu bukti yang membuat kalian menang kali ini.”
*****