P.2 Hurt

1193 Kata
Reno masih diam di sana tak bergerak setelah beberapa menit lalu Gladis meninggaalkannya. Jika saja Loka tak menelponnya saat itu mungkin dia sudah lupa kalau dia masih ada di tempat umum. “Ada apa?” tanya Reno datar. “Pihak Starship ingin bertemu membahas masalah bisnis trading yang akan kita jalankan Bos,” lapor Loka membuat Reno melirik jam tangannya. “Berapa lama pertemuan ini?” tanya Reno tak biasanya membuat Loka mengernyit bingung. “Paling cepat satu jam Bos, tapi bisa juga lebih jika yang dibicarakan terlalu kompleks.” Tanpa membalas ucapan Loka, dia langsung menutup ponselnya dan berjalan ke depan kafe untuk mencari Gladis. Tapi semuanya terlambat wanita yang dia cintai itu kini telah pergi. Reno menjambak rambutnya kesal mengetahui hal itu, sejenak dia berpikir dan teringat jika pernah melacak keberadaan Gladis. Tanpa menunggu lebih lama Reno langsung berlari ke parkiran mobil dan mengaktifkan pelacak di ponselnya yang terhubung langsung dengan GPS di mobilnya. Dia berniat untuk mencari Gladis dan meminta kesempatan keduanya kepadanya. Tak berapa lama dia menemukan titik GPS Gladis, Reno langsung meluncur ke kordinat yang dituju. Dalam perjalanan ke sana dia menelpon Loka. “Iya Bos,’ jawab Loka setelah dia mengangkat panggilan. “Batalkan semua pertemuanku hari ini sampai tiga hari ke depan, ada hal penting yang harus aku urus.” Loka membelalakkan matanya mendengar hal itu. “Tapi kenapa menda-“ dan sebelum dia menyelesaikan ucapannya panggilan itu langsung ditutup oleh Reno. Reno langsung melajukan Veneno hitamnya melesat di jalanan kota Surabaya untuk mencari pujaan hatinya yang mendadak membuat dunianya runtuh seketika. Dan tak sampai tiga puluh menit dia sampai di rumah Gladis. Rumah dengan arsitektur mediterania klasik dengan pagar menjulang berwarna hitam dengan kombinasi gold. Seorang penjaga yang melihat kedatangan Reno, dia langsung tersenyum. “Siang Mas Reno, mau ketemu Non Gladis ya?” Reno mengangguk cepat. Setelah gerbang terbuka terlihat sekali rumah yang dominan berwarna putih dan emas dengan halaman yang luas ini terlihat sibuk dengan lalu lalang asisten rumah tangga dan dua mobil SUV yang terparkir di dekat pintu utama rumah. Reno yang melihatnya mengernyit bingung dan dia lekas memacu mobilnya untuk mendekat ke pintu utama dan tindakannya ini mendapat perhatian dari beberapa orang yang ada di sana. Melihat Reno yang turun dari mobil itu membuat semuanya menunduk hormat dan memberi salam. “Den Reno, selamat datang, Non Gladis ada di dalam,” jawab salah satu asisten rumah tangga yang memang sudah dia temui saat berkunjung kemari. Begitu Reno masuk rumah dia disuguhi dengan ornament ala Skandinavia dengan sofa besar berwarna broken white dan abu-abu berbentuk L, meja kecil dengan warna senada. Reno mengedarkan pandangan dan dia melihat ke arah tangga, dia yakin Gladis ada di dalam kamarnya. Karena tak menemukan satu pun orang untuk dimintai ijin, maka dia langsung naik ke lantai dua untuk menemui Gladis. Reno sudah berdiri di depan pintu berwarna putih dengan pinggiran coklat, ketika dia hendak mengetuk pintu untuk masuk dia mendengar isak tangis di dalamnya. Reno urung membukanya dan lebih memilih mendengar dari luar. Reno tahu jika suara di dalam adalah suara Gladis, tapi kenapa malah dia yang menangis, sedangkan dia yang meminta putus darinya. Tak mengerti dengan keadaan ini, Reno ingin memperjelas pendengarannya melihat keadaan sekitar akhirnya dia memutuskan untuk membuka pintu kamar itu perlahan tanpa mengeluarkan suara. “Tenangkan dirimu Sayang, jangan seperti ini, kamu membuat Mama khawatir,” ucap Mama Silvi membuat Gladis makin terisak. “Maaf Ma,” ucap Gladis pelan bercampur suara isakan. “Apa kamu sudah yakin dengan keputusanmu ini?” tanya Mama Silvi sekali lagi dan Gladis mengangguk. “Kenapa kamu tak membicarakan saja alasan sebenarnya dengan Reno, aku rasa dia akan mengerti daripada kamu harus menderita seperti ini.” Reno terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh mama Gladis, jadi benar dugaan Reno, semua ini tak mungkin mendadak Gladis memutuskan dirinya begitu saja pasti ada hal yang tak dia mengerti kenapa dia melakukan hal ini. Gladis menggeleng, “Ga bisa Ma, Gladis harus kaya gini biar Reno tahu siapa sebenarnya orang yang dia cintai dan harapkan di hidupnya.” Sekali lagi Reno harus terluka dengan ucapan Gladis. Reno berusaha sekali meredam perasaannya. “Tapi kamu masih mencintainya bukan?” Gladis mendongak dan menatap mamanya pelan dia mengangguk. “Rasa cinta itu bisa pudar Ma seiring dengan berjalannya waktu, biarlah takdir yang bekerja untuk kita berdua. Lagipula jika aku jauh dari Reno lambat laun aku akan bisa melupakannya dan mendapatkan cinta yang baru dan bisa menghargai diriku dengan sepenuhnya.” Reno memundurkan tubuhnya, dia tak menyangka jika Gladis akan semudah itu untuk melupakannya. Bagaimana dengan dirinya, bagaimana dengan kebersamaan mereka selama empat tahun ini. Apa itu tak ada artinya bagi Gladis? Rasanya Reno tak sanggup lagi untuk mendengar apa yang Gladis ucapkan, dia mundur perlahan dan memutuskan untuk meninggalkan rumah yang memberikan kenangan indah sekaligus kenangan buruk baginya. “Den Reno kok cepet, sudah ketemu Non Gladis?” tanya salah satu asisten rumah tangga di sana tepat saat Reno ada di anak tangga terbawah. Reno yang enggan mengeluarkan alasan atau perkataan apapun hanya bisa mengangguk dan berlalu dari sana. Reno segera memasuki mobilnya dan dia melaju sejauh-jauhnya dari rumah itu, dia tak tahu kemana arah tujuannya tapi yang dia tahu hanya mengemudi dan pergi sejauh-jauhnya dari tempat itu. Entah sadar atau tidak dia sudah melewati batas kota metropolitan itu dan pergi ke pinggiran kota. Berkendara kurang lebih selama satu setengah jam dengan kecepatan yang tak bisa dibilang pelan. Sampai akhirnya pandangan mata Reno mulai buram, dia mulai mengurangi kecepatan mobilnya dan dia menemukan satu tempat yang terlihat pemandangan tanah persawahan di kanan kiri jalan. Sadar jika dia sudah jauh dari perkotaan, Reno memutuskan untuk memarkir mobilnya. Dia turun dari mobil dan melihat di sekitarnya hanya ada pemandangan persawahan, tanah yang sedikit lebih tinggi layaknya bukit, ada angin segar melewati tubuhnya membuatnya merasakan ketenangan dalam dirinya. Reno duduk di kap mobilnya sambil melihat pemandangan sekitar yang mulai menampakkan sinar jingga. Dia kembali ke dalam mobilnya dan mengambil sebungkus rokok, dalam hitungan menit dia menghisap zat nikotin itu lebih dalam dan menghembuskan dalam beberapa hempasan napas. Bayangan kejadian hari ini terus berputar dalam ingatannya, Gladis yang mendadak minta putus dan ucapan Gladis yang dengan mudahnya mengatakan dia akan melupakan dirinya begitu saja seiring dengan berjalannya waktu. Memori yang terekam dalam otaknya itu membuat pandangannya kembali buram, serasa ada gumpalan air yang menutupi pandangannya dan dia merasa air tak tahu diri itu akan memaksakan diri untuk keluar. “Apa yang kau tangisi Reno, dia bahkan sudah bertekad untuk melupakanmu kenapa kau harus menangis meratapi keputusannya. Bodohnya kau ini,” seru Reno sendirian dalam keremangan senja. Lelehan air mata itu mulai berjatuhan dengan cepat, hanya beberapa menit saja. Reno langsung menegakkan punggungnya dan dia mengambil ponsel yang tadi dia tinggalkan dalam mobil. Dia mencari nama seseorang dan menelponnya. “Hai, maaf aku mengganggumu,” ucap Reno berusaha menormalkan suaranya. “Ini seperti kenyataan yang pahit untukku, rasanya menyakitkan bahkan sampai ke tulangku. Tapi jika kau memang menginginkannya, aku akan mengabulkan permintaanmu yang selama ini tak pernah kuberikan padamu.” ***** Kok aku sakit hati ya bacanya,,hiks,,hikss,, Kalo kamu putus sama Gladis yang nampung kamu banyak kok, cup-cup jangan sedih. Ada yang mau gantiin Gladis? Hehehe..
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN