Reno masih sibuk memainkan ponselnya saat dia duduk di kafe Sorini tempat janji temu dengan Gladis, wanita yang kini jadi kekasihnya. Sesekali dia melirik jam tangannya dan melihat masih ada lima menit sebelum janji bertemu Gladis hari ini.
Reno duduk di pojok kafe dan sudah memesan cappuccino sebagai teman menunggu. Tak lama dia melihat ada pergerakan seseorang dan dia melihat wanita yang sudah dia tunggu datang.
Reno menyambutnya dengan senyum ceria, tapi tidak bagi Gladis. Melihat reaksi Gladis yang biasa saja, Reno meyakini pasti akan ada pertengkaran lagi di antara mereka.
“Hallo Sayang, sama siapa tadi ke sini?” tanya Reno basa basi.
Gladis langsung duduk dan melipat lengannya di dadanya. “Apa penting aku ke sini sama siapa sedangkan kamu aja ga peduli, aku datang ke sini atau enggak.”
Reno mengerutkan dahinya bingung dengan sikap jutek kekasihnya ini. Sebenarnya sikap jutek Gladis ini bukan hal baru bagi Reno, karena hampir setiap saat Gladis selalu bersikap jutek padanya.
“Kalo aku ga peduli sama kamu mana mungkin aku nunggu kamu di sini sejak tiga puluh menit lalu. Kan kamu yang ga mau aku jemput di kampus tadi,” jelas Reno membuat Gladis semakin kesal.
Sebenarnya Gladis berharap sekali Reno mau menjemputnya tapi dia gengsi untuk sekedar mengatakan ‘iya’ Gladis inginnya Reno yang peka terhadap dirinya, tapi sayangnya itu hanya khayalan semata.
“Jadi apa yang membuatmu kesal hari ini, Sayang?” Reno masih berusaha merayu dan Gladis makin manyun. “Ga usah pake ngerayu, ga bakal mempan.”
Reno yang gemas dengan kekasihnya ini menggeser duduknya dan kini ada di samping Gladis.
“Ngapa geser sini, sana ada di depan ga usah deket-deket,” ketus Gladis akhirnya Reno tanpa babibu langsung mengecup pipi Gladis pelan.
Seketika Gladis diam mematung, karena bagaimanapun sentuhan fisik bagi dirinya masih hal yang sangat jarang dilakukan dan jelas membuatnya berdebar tak karuan.
“Gemes liat kamu marah-marah terus, mau aku gigit tapi pasti kamu malu karena ini di tempat umum,” goda Reno tak kapok dan mendapat pelototan dari Gladis. “m***m,” seru Gladis dan mendorong wajah Reno yang memang dekat dengannya.
“Sana kamu, aku mau ngomong penting,” kata Gladis jutek. Reno masih bertahan di sana dan dia santai menanggapi, “Iya sudah ngomong aja, aku dengerin kok.”
Gladis menatap Reno sejenak, tapi dia tak bisa bohong sebenarnya ada perasaan berdebar hanya memandang lelaki yang sudah empat tahun ini jadi kekasihnya. Tapi dia sudah tak bisa menahannya lagi.
“Aku mau kita putus,” ucap Gladis cepat tapi ucapan itu bagai petir di siang bolong untuk Reno. Pria itu menggeser tubuhnya agak menjauh dari Gladis. Lalu menatap wajah wanita cantik yang sudah menemani hari-harinya selama empat tahun ini.
“Kamu kesel apa sih sama aku kok sampai kaya gini?” Reno masih berusaha meredam emosi Gladis, karena dia tahu wanitanya ini masih suka emosi. Gladis menggeleng, dia berusaha sekali menahan butir air mata yang berebut keluar.
“Aku lelah sama hubungan ini, makanya aku mau kita putus aja, karena aku tau –“ ucapan Gladis langsung terpotong begitu saja. “Tapi kenapa?” Reno komentar sudah dengan suara seraknya.
“Apa mengakhiri hubungan ini juga perlu alasan sedangkan kamu aja saat bersama denganku mengatakan tak ada alasan untuk bersama denganku karena semua itu keinginan dari hatimu sendiri.”
Reno tak membantah ucapan Gladis, tapi waktu itu memang dia yang menginginkan bersama dengan Gladis, tapi sekarang ini putus, artinya mereka harus berpisah dan mengakhiri hubungan bukankah memang perlu alasan jika ingin pergi meninggalkan seseorang yang dia sayang.
“Tapi itu kan beda konteks, Sayang, waktu itu karena aku nyaman sama kamu, aku mau kita bersama berbagi waktu berdua, menjalani hari-hari berdua sama kamu. Kalo sekarang kamu mau putus, tolong jelasin alasannya apa, karena aku masih mau sama kamu.”
Gladis sedikit berdebar mendengar apa yang Reno ucapkan, jujur rasa sayang yang dia miliki dengan Reno itu masih ada, bahkan rasa itu masih penuh dalam hatinya.
Tapi dia tak tahan dengan sikap Reno yang tak peka akan kehadiran dirinya. Meskipun dia termasuk wanita yang mandiri tapi ada saatnya dia ingin diperhatikan dan itu tak dia dapatkan selama ini.
Reno menggenggam tangan Gladis lembut, “Maafkan aku jika aku punya salah sama kamu, tapi please jangan putus, kalau ada yang kamu benci dari sikapku, katakan saja aku akan merubahnya pelan-pelan buatmu.”
Gladis mengerjapkan matanya, dia menahan segala rasa dan gejolak dalam dirinya untuk tidak menangis dan menahan debaran jantungnya karena trenyuh dengan kata-kata Reno.
‘Kuatkan dirimu Gladis, kuatkan hatimu, jangan menangis,’ batin Gladis meronta.
“Gladis,” lirih Reno membuat wanita itu kembali sadar akan lamunannya. “Aku tak perlu menjelaskan apapun padamu Ren, yang jelas aku mau putus karena aku akan melanjutkan kuliahku di Jerman.”
“Long distance relationship?” seru Reno yang membuat hatinya sedikit kesal mendengar alasan Gladis. “Aku bisa ikut denganmu ke Jerman, kamu tahu kan kedua orang tuaku di sana.”
Gladis menggeleng, “Jangan sekali-kali kamu mengikutiku ke Jerman atau aku benar-benar akan membencimu,” ancam Gladis dengan mata membulat sempurna.
Reno menghela napas lelah, “Lalu karena apa Gladis, aku tak akan membiarkan kita putus gitu aja tanpa alasan yang jelas,” geram Reno tak mau kalah. Pria berumur dua puluh enam tahun itu berdiri.
“Tenangkan dirimu, Sayang, kita akan bicarakan masalah ini lagi saat kamu sudah tenang. Oke,” ucap Reno dan mengecup kepala Gladis.
Reno lebih memilih dia meninggalkan Gladis dalam kondisi begini daripada memaksakan diri untuk bertanya apa yang terjadi dengannya sampai dia minta putus.
Gladis berdecih pelan, “Kau menanyakan padaku kenapa aku meminta putus sedangkan menurutmu semua baik-baik saja.” Reno menghentikan langkahnya dan kembali di hadapan Gladis.
“Sayang, jangan mengambil keputusan saat kita emosi, jangan sampai kita menyesali keputusan yang kita ambil karena emosi,” jelas Reno dengan memegang lengan Gladis.
Secepat kilat Gladis menghempaskan tangan Reno dan dia memandang tajam ke dalam manik mata hitam itu.
“Kau saja bisa meninggalkanku sendirian di sini karena aku meminta putus denganmu, apa masih perlu aku sebutkan bagaimana kau menghargai kehadiranku selama empat tahun ini.”
Reno diam mematung dengan ucapan Gladis, dia merasa tertampar dengan tangan tak kasat mata karena apa yang dikatakan oleh Gladis selama ini tak ada dalam kamus hidupnya dan pikirannya.
“Apa maksudmu Glad?” lirih Reno dengan tatapan masih mengunci kepada wanita yang masih dia cintai sampai hari ini.
“Sederhananya kehadiranku dalam hidupmu antara ada dan tiada, like a jar in the corner, Reno Satria Abrisam.”
Reno bagai dihantam batu dengan berat puluhan bahkan ratusan ton mendengar ucapan Gladis.
Bagaimana bisa wanita yang sudah ada dalam hidupnya empat tahun menganggap dia hanya sebuah pajangan dalam hidupnya.
Reno sampai harus memundurkan langkahnya sedikit mendengar hal itu. Bolehkah dia menangis saat ini, bolehkah dia marah saat ini. Ada rasa nyeri dan perih dalam hatinya karena kejadian ini.
“What do you mean Darling?” lirih Reno tapi sorot matanya itu jelas sekali terlihat jika dia terluka. Gladis yang melihat hal itu merasa ada sayatan dalam hatinya melihat hal ini, tapi kembali dia menguatkan hati untuk melanjutkan keinginannya ini.
“Kau boleh bilang aku egois, aku cemburu, tapi dari semua rasa yang aku miliki itu aku menyadari satu hal jika kau menjadi kekasihku selama ini karena kau butuh status itu, tapi lambat laun aku mulai ragu dengan perasaan yang ada dalam hatimu.”
Reno langsung menggeleng cepat, “No, no, aku masih sayang sama kamu dan tidak berubah meski sudah empat tahun ini Darling.”
Gladis tertawa sumbang, “Benarkah, lalu kau ada dimana saat aku mengalami kesulitan karena masalah keluargaku.”
Reno diam.
“Kau datang saat semuanya selesai tanpa penjelasan kemana kau pergi,” kata Gladis mulai serak dan air mata yang sedari tadi ditahannya mulai keluar.
“Bahkan saat aku meminta hal sepele padamu untuk datang ke acara perayaan kelulusanku bersama teman-teman, kau juga tak hadir entah karena alasan yang aku tak ingin mendengarnya.”
“Kau memang memberikan banyak barang yang indah, memberikan aku status sebagai kekasih Reno Satria Abrisam, calon pewaris Abra group milik keluargamu. Tapi apa kau lupa jika aku seorang Sasmita yang sudah memiliki barang-barang yang kau berikan.”
Gladis menghapus air matanya dan dia mulai meredakan tangisnya sebelum melanjutkan perkataannya. “Sedangkan aku hanya minta kau temani untuk mencari baju yang akan aku gunakan untuk upacara kelulusanku, tapi kau memberiku baju itu tanpa bertanya aku menyukainya apa tidak.”
“Aku bisa skip untuk masalah baju, lalu bagaimana dengan janjimu yang akan datang ke acara wisudaku sedangkan aku tahu jadwalmu tidak ada yang urgent. Tapi kau mengatakan bahwa kau lupa karena semalam kau menemani temanmu dari Jerman.”
Reno menelan salivanya berat, dia mulai berpikir apa yang sudah dia lakukan untuk wanitanya ini. Dia memang mencintainya tapi kenapa dia tak pernah menunjukkannya. Dia memang selalu memberikan apapun yang menurutnya pantas untuk diberikan pada Gladis, tapi kenapa dia baru tahu jika yang diminta Gladis tak pernah dia turuti.
“Jadi apa artinya kehadiranku bagimu jika banyak hal yang bisa kau lakukan tanpaku.”
Skakmat.
Reno langsung diam, kaku dan merasa nyawanya tercabut seketika dengan ucapan Gladis yang menghantam dirinya begitu keras. Dia memiliki segalanya, dia bisa membeli apapun yang dia inginkan, tapi Reno melupakan satu hal yang tak bisa dibeli, Waktu.
Dia melupakan bagaimana berbagi waktu bersama dengan orang yang dia cintai, dia lupa jika ada seseorang yang selalu menantikan kehadirannya untuk berbagi waktu bersama.
“Apa tidak –“ Gladis langsung mengangkat tangannya dan dia mengatakan, “Aku tak memberikan kesempatan kedua setelah empat tahun kita bersama, kau tak menyadari apa arti hadirku untukmu. Jadi apa arti kesempatan kedua itu bagimu.”
Reno merasa dia akan pingsan saat itu juga, bisakah dia membeli mesin waktu dan akan mengembalikan semua yang dia alami hari ini dihapus dari ingatannya dan dia memulai lagi semuanya dari awal.
Gladis mengambil tasnya dan menatap Reno dengan tatapan lembut yang membuat hati Reno makin tersayat. “Aku tak membencimu, hanya saja kita tidak bisa bersama. Aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu. Jadi mari kita jalani hidup kita masing-masing.”
Gladis hendak pergi tapi lengannya ditahan oleh Reno, “Apa aku masih memiliki kesempatan jika aku memulai semuanya dari awal seperti dulu.” Gladis melepaskan cekalan tangan Reno dan dia tersenyum.
“Selamat tinggal Reno Satria Abrisam.”
*****
Holla semuanya, ini dia cerita soal Reno dan Gladis, yang sudah baca Inside of The Heart pasti tahu siapa itu Reno,hehehe.
Tenang seperti yang aku bilang, aku berusaha banget untuk ga membuat mereka seperti sekuel prekuel atau apapun itu, yang jelas mereka masih berhubungan dan yang utama adalah bisa dibaca terpisah.
Novel ini dibuat karena kemarin ada yang nanya kapan bikin storynya Reno dan Gladis. Ini sudah aku kabulkan,hohoho.
So, jangan lupa tap ♥ dan simpan ini di library kalian biar ga ketinggalan update dan satu lagi follow IG @pena.cias biar tau news, blurb atau apapun itu biar kalian ga ketinggalan inpoh.
Terima kasih buat kalian yang selalu setia berada di lapak ini, komen kalian, kritik kalian membuatku semakin semangat nulis, jadi keluarkan saja uneg-uneg kalian jangan disimpan. Okey