P.3 Really Over

1350 Kata
Mama Silvi yang mendengar keputusan anaknya memang sejak awal tak menyetujuinya, tapi dia sebagai orang tua hanya bisa mendukung keputusan anaknya ini demi masa depan dan tentu saja kebahagiaannya. Apa yang dialami anaknya itu tak lebih dari gejolak perasaan kawula muda yang memang wajar dirasakan oleh gadis seusianya. Apalagi Mama Silvi juga tahu siapa lelaki yang dicintai anaknya, dia bukan hanya mengenal anak lelaki itu tapi juga seluruh keluarganya. Ibu Reno bernama Renata Abrisam merupakan temannya semasa mereka menempuh pendidikan perkuliahan di kota ini. Saat bertemu dengan Rendra Abrisam yang memiliki pusat bisnis di Jerman lah yang membuat Renata harus ikut suaminya ke sana dan mereka jarang bertemu setelah itu. “Jadi kau sudah yakin untuk pindah ke Jerman setelah ini?” tanya Mama Silvi sekali lagi dan Gladis mengangguk. “Apa kau yakin di sana tidak akan bertemu dengannya atau mungkin dengan orang tua Reno?” Gladis menatap mamanya dan dia menghela napas pelan, “Aku sudah memintanya untuk tidak mengikuti sampai ke Jerman Ma, jadi kita lihat saja sampai dimana keinginannya untuk mengikuti permintaanku itu.” Mama Silvi agak bingung dengan apa yang dipikirkan oleh putrinya, “Sebenarnya apa yang kau inginkan dari Reno Sayang?” pertanyaan yang keluar dari mulut mama Silvi membuat Gladis memandang lurus ke depan. “Hanya kepeduliaan Reno untuk Gladis Ma dan bukti cintanya yang tulus untuk menginginkan Gladis dalam hidupnya.” Mendengar perkataan itu, mama Silvi semakin yakin jika anaknya nanti akan menyesali keputusannya ini. “Mama bukan mendoakan kamu yang buruk, tapi mama rasa apa yang kamu lakukan sekarang itu berlebihan Gladis.” Gladis menatap mamanya tak suka, tapi dia masih menantikan kelanjutan cerita mamanya. “Reno memang lelaki yang tak peka seperti yang kamu bilang, tapi harusnya kamu tahu kenapa dia menjadi tak peka seperti itu.” Gladis mulai memikirkan apa yang diucapkan mamanya, “Maksud mama apa?” tanya Gladis tak paham. “Kamu terlalu mandiri Nak, jika kamu memang ingin bersikap manja dengan Reno, kenapa kamu ga pernah bilang?” “Reno bukan dukun yang bisa menebak apa keinginanmu hari ini. Jika dia tak peka dia tak akan sabar menghadapi emosi kamu yang sering berubah-ubah selama empat tahun ini bukan?” Ucapan mamanya bagai hantaman batu di dalam hati Gladis, jadi semua ini tak sepenuhnya salah Reno, tapi juga salahnya yang membuat Reno jadi ga peka. Tapi kenapa dia juga tak menunjukkannya saat mereka bersama. “Tapi Ma, kenapa dia tak menunjukkan bentuk kasih sayangnya saat bersama dengan Gladis, malah dia sibuk mengkritik dan memperhatikan banyak wanita di luar sana,” keluh Gladis membuat mama Silvi tersenyum. “Kenapa kamu tak protes?” Gladis bungkam mendengar balasan mamanya. “Buat apa, nanti Reno kepedean dikira Gladis cemburu,” cicitnya pelan. Mama Silvi tertawa, “Tapi kamu memang cemburu, kan?” goda mama Silvi membuat Gladis manyun maksimal. “Bisa saja Reno melakukan itu untuk melihat rasa cemburu yang kamu miliki, tapi karena kamu tak pernah menunjukkannya jadi dia lupa caranya berhenti menggoda gadis lain, jadinya terlihat kebiasaan,” jelas mama Silvi membuat Gladis membeku. Kenapa semua yang dikatakan mamanya itu benar dan masuk akal. Apa selama ini yang dirasakan pada Reno memang emosi sesaat atau memang sebenarnya dia yang tak peka. Tapi sudah kepalang tanggung dan gengsi tinggi yang dimilikinya, Gladis tak ingin mundur, dia akan tetap pada keputusannya saat ini. “Udah ah, Mama bikin  pikiran Gladis tambah rumit, biarin aja sekarang Gladis pengen tahu Reno memang mau perjuangkan Gladis apa enggak,” ucapnya tanpa mau dibantah, terlihat sekali karakter Gladis yang keras kepala dan gengsi. Mama Silvi bangun dari duduknya, “Itu sih terserah kamu, mudah-mudahan kamu ga menyesal,” tutup mama Silvi dan beranjak dari kamar anak perempuan kesayangannya itu. Gladis mengikuti mamanya turun sekalian memeriksa barang-barang yang dia bawa sudah beres apa belum. Malam ini dia akan berangkat ke Jerman dengan penerbangan malam, masih ada beberapa jam sebelum keberangkatannya. Tepat saat Gladis ada di dapur seorang asisten rumah tangga yang sudah bekerja puluhan tahun melihat wajah Gladis yang sendu membuatnya iba. “Kenapa sedih gitu Non, kan tadi sudah ketemu sama Den Reno,” celetuk asisten rumah tangganya membuat Gladis menoleh, “Kok Bibi bisa tahu Gladis ketemu sama Reno?” ucapnya bingung. “Lah gimana ga tau wong Den Reno tadi kan datang ke sini terus naik ke kamarnya Non Gladis tadi.” Sontak saja ucapan itu membuat Gladis terbelak sempurna. “Kok bisa Bibi ga bilang kalau tadi Reno ada di sini?” Bibi yang mendengar ucapan Gladis lebih bingung lagi, “Maksudnya Non ga ketemu sama Den Reno gitu? Terus kenapa tadi Den Reno naik ke kamar Non kalo ga ketemu, Bibi bingung, Non.” Gladis langsung lemas dan memijat keningnya perlahan. Ujian apalagi yang menimpanya, dia mulai berpikir apa saja tadi yang sudah dibicarakan dengan mamanya yang mungkin didengar oleh Reno dan membuatnya salah paham. “Astaga kok jadi runyam gini sih,” Gladis menggerutu dan langsung menyandarkan tubuhnya di kursi. Gladis menoleh bibi dan bertanya padanya, “Tadi Reno ada pesan apa gitu ga?” Bibi nampak berpikir lalu menggeleng, “Cuma emang sikapnya agak aneh aja sih Non, biasanya kan murah senyum, ramah dan jailin Bibi. Nah, ini tadi cuma diem dan senyum irit.” Penjelasan Bibi makin memperjelas situasi yang terjadi, Reno jelas sekali mendengar pembicaraannya dengan mamanya. Tapi sampai dimana dia mendengarnya dan itu pasti membuatnya salah paham. “Udah lama baliknnya tadi Bi?” tanya Gladis kembali masih penasaran. Bibi mengangguk, “Iya Non, mungkin sejam yang lalu.” Gladis akhirnya hanya bisa menghela napas mendengarnya, baiklah mungkin ini jalan yang terbaik untuk mereka berdua. Sekaligus pembuktian cinta Reno kepadanya, jika memang dia masih mencintai Gladis, pasti Reno akan memperjuangkannya. Gladis mengambil minum dan pindah ke ruang tengah, tapi dia lupa meninggalkan ponselnya di meja pantry. Dia mengganti channel televisi berkali-kali tapi tak menemukan apa yang menarik. Pada akhirnya dia menetapkan pada channel musik dan dia memilih menyandarkan kepalanya di sofa. Musik Boyzone yang hits pada jamannya mengalun memenuhi ruang tengah tempat Gladis duduk kali ini. Lirik lagu itu jelas sekali menganggu pikirannya yang membuatnya kembali mengingat kebersamaannya selama ini bersama Reno. Don’t love me for fun girl Let me the one girl Love me for the reason Let the reason be love “Love me for the reason, aku rasa itu hanya khayalanku saja untuk merasakannya.” Tenggelam dalam lamunannya tak menyadari jika Bibi sudah memanggilnya sedari tadi. Sampai tepukan di pundaknya membuatnya tersadar dan membuka matanya. “Ada apa Bi?” tanya Gladis, “Eh, Non dari tadi Bibi panggil ga nyahut. Ini ada telepon dari Den Reno.” Gladis langsung mengambil ponselnya yang memang dia lupakan sedari tadi dan dia melihat ada dua panggilan tak terjawab dari Reno. Tak sampai lima menit Reno menelpon kembali, dengan senyum tipis dia mengangkat panggilan itu. Gladis sudah tak bisa berbohong lagi jika dalam hatinya masih ada debaran dan perasaan yang menggetarkan hanya menyebut nama Reno. “Hallo,” jawab Gladis sedater mungkin. “Hai, maaf aku mengganggumu,” suara Reno ada di seberang sana, tapi bukan itu yang membuat Gladis khawatir. Nada suara yang keluar sangat berbeda bukan seperti Reno-nya dulu. “Ada apa?” akhirnya hanya itu kata yang bisa meluncur dari bibirnya. Terdengar helaan napas berat di sana. “Ini seperti kenyataan yang pahit untukku, rasanya menyakitkan bahkan sampai ke tulangku.” Suara Reno sudah tercekat di tenggorokan mengatakan hal itu. Gladis meerasakan ada firasat buruk mendengar apa yang dikatakan Reno. Reno menganggap diamnya Gladis sebagai tanda jika dia bisa melanjutkan perkataannya. “Tapi jika kau memang menginginkannya, aku akan mengabulkan permintaanmu yang selama ini tak pernah kuberikan padamu.” “Apa maksudnya?” tanya Gladis yang mendadak takut dan debaran jantungnya berpacau dengan cepat. Dalam hati dia berdoa semoga bukan hal buruk yang terjadi. “Aku menerima keputusanmu untuk mengakhiri hubungan kita, aku rasa kau benar, kita harus belajar memahami perasaan masing-masing.” “Aku berdoa untuk kebahagiaanmu, Gladis Batari Sasmita.” ***** Aaawww,, tiga bab awal sudah termehek-mehek. Sapa yang protes ini aku kasih cerita macem gini? Angkat tangan bin ngacung? Cuss,,ramaikan komen kalian di sini.   Stay Tune.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN