P.43 Feel Different

1198 Kata
Dua tahun memang bukan waktu yang lama dan Reno menyadari jika semua hal bisa saja berubah dalam waktu yang tak singkat itu. Begitu juga hari ini entah apa yang Reno rasakan kali ini dia hanya merasa sedih, tapi bukan terluka yang membuatnya tersayat seperti dua tahun lalu. Dia masih ingat betul rasa yang ada dalam hatinya melihat Gladis bersama pria lain. Tapi kali ini di hadapannya dan dia juga dengan jelas mengenali wanita itu. Luka dan perih yang dia rasakan kala itu tidak muncul, dia hanya merasa sedih atas apa yang menimpa Gladis sebelumnya. “Hai, apa kabar?” tanya Reno ketika dia berjalan mendekati keduanya setelah mereka berdua sukses terkejut melihat kedatangan Reno. “Bagaimana kamu bisa tahu keberadaan kita?” ucap Liam lirih dan mendapat kekehan dari Reno. “Selama kalian masih bernapas, aku masih bisa menemukan kalian meskipun kemungkinannya kecil dan butuh waktu lama,” jawab Reno santai. Liam merasa terancam dengan kemunculan Reno di hadapan mereka. Dia menggeser posisinya lebih dekat dengan Gladis. Sedangkan Gladis hanya bisa memandang Reno tanpa bisa melakukan apapun. Meskipun dalam hati kecilnya dia ingin memeluk dan membelai pipi tirus lelaki itu. Tapi hatinya sudah mulai goyang. Jika dua tahun lalu dia masih merasakan debaran itu, tapi kini melihat Reno ada di hadapannya hanya ada rasa bahagia karena Reno masih mengingatnya. Dia bukan melupakan Reno yang membuatnya tak ingat sama sekali dengan lelaki itu, tapi melupakan perasaan apa yang pernah ada dalam hatinya. Debaran yang dia kira tak akan pernah hilang ternyata memang benar-benar hilang. “Glad, apa kabar?” tanya Reno berusaha mencairkan suasana dan gejolak perasaan keduanya yang tak dia mengerti. Gladis hanya tersenyum dan mengangguk, “Aku baik, kamu sendiri gimana?” tanya Gladis berusaha santai. Liam yang melihat interaksi ini tentu saja merasa janggal meskipun ada rasa senang di hati mereka. “Senang melihatmu baik-baik saja,” kata Reno dengan senyum mengembang yang tak bisa Gladis pungkiri masih menarik untuk membuat siapa saja jatuh cinta. “Iya, setidaknya kita tahu kalau hidup terus berjalan dan kita ga boleh terpuruk sama yang namanya masa lalu,” ucap Gladis diplomatis membuat Reno mengangguk. “Aku liat ga jauh dari sini ada kafe, kalau kalian ga keberatan kita reuni di sana aja gimana?” ajak Reno memandang Gladis dan Liam secara bergantian. Liam merasa ada yang aneh di sini tapi dia tak mau menduganya sekarang apalagi di hadapan Gladis. Baginya dua tahun bersama Gladis itu bukan hal yang mudah untuknya apalagi membuat wanita itu melupakan lelaki yang ada di hadapannya ini. “Kamu sengaja ngajakin aku buat tahu nostalgia kalian apa gimana?” tanya Liam akhirnya. Reno dan Gladis saling pandang dan keduanya tertawa membuat Liam kesal. “Aku tidak mungkin mengajak Gladis seorang diri karena aku tahu dia pasti tidak akan mau, lagipula ada Loka asistenku juga, jadi kita berempat nanti,” kata Reno santai. Gladis melihat interaksi ini dan sepertinya dia juga paham jika Reno memang sudah mulai menjalankan apa yang dia katakan untuk melupakan apa yang pernah terjadi diantara mereka. “Aku rasa Liam tak keberatan, lagipula topik yang kita bicarakan bukan soal masa lalu kan, tapi masa depan,” timpal Gladis dan Reno langsung mengangguk mantap. “Aku tak masalah soal itu, aku kebetulan saja ada di Jerman dan mendengar kalau kalian ada di sini, jadi tidak mungkin aku tidak meluangkan waktu untuk berkunjung dan bertemu kalian di sini,” ungkap Reno yang memang kenyataannya begitu. Melihat suasana yang tak membahayakan bagi dirinya, maka Liam akhirnya mengangguk setuju. Justru dia merekomendasikan satu tempat yang menurutnya cocok untuk bicara banyak hal. Reno menyetujui usul Liam dan membiarkan mereka memimpin jalan ke kafe yang dimaksud. Loka melirik ke arah Reno yang terlihat biasa saja setelah bertemu dengan Gladis. “Jangan menatapku seperti itu, aku baik-baik saja dan tidak terluka. Kamu pikir aku lelaki lemah,” ucap Reno seakan tahu apa yang dipikirkan oleh Reno. Loka hanya berdehem karena rasa penasaran yang ada dalam pikirannya sudah terjawab. “Apa mereka?” Loka enggan melanjutkan pertanyaan karena tak bisa juga dia mengatakan hal itu. “Itu urusan pribadi mereka, jadi kita tak perlu tahu, cukup kita doakan saja yang terbaik untuk mereka. Lagipula aku melihat Liam bukan orang yang buruk buat Gladis,” kata Reno dengan helaan napas panjang. Keempatnya tiba di kafe yang Liam maksud, suasananya memang enak dan nyaman. Ada banyak kursi outdoor yang dibuat tak biasa dengan pemandangan pohon hijau di sekitarnya. Hawa khas pegunungan melingkupi mereka. “Jadi apa yang membuatmu pindah ke tempat terpencil tapi luar biasanya suasananya enak di sini,” tanya Reno setelah semuanya memesan makanan dan minuman untuk teman ngobrol. “Banyak anak-anak dan penduduk di sini yang kurang mendapat perhatian soal fasilitas. Akhirnya aku minta dana sosial dari yayasan Papa dan bantuan juga dari keluarga Liam untuk memperbaiki fasilitas mereka di sini,” jelas Gladis. “Ini bukan berarti pemerintah tak peduli ya, tapi kita pengen semuanya cepat terlaksana aja, perkara nanti pemerintah mau bikin lebih bagus lagi ya bebas aja,” lanjut Gladis. “Tapi kalian memutuskan tinggal di sini juga pada akhirnya,” balas Reno dan Liam menggeleng. “Hanya Gladis yang di sini bukan aku, sekaligus sebagai terapi untuk Gladis yang mulai tak suka dengan hiruk pikuk kota,” jelas Liam tapi kemudian wajahnya berubah karena dia sadar mengucapkan clue soal Gladis. “Terapi soal?” Reno akhirnya tak bisa menahan diri untuk bertanya. Raut wajah Gladis berubah pucat dan Liam terlihat panik karena dia kelepasan bicara. Tak ayal Liam mengklarifikasi seadanya. “Bukan masalah penting sih, cuma ada stress yang dialami Gladis samoai akhirnya dia perlu tempat baru untuk tinggal,” jelas Liam. Meskipun Reno tahu tapi kini dia memandang Gladis karena ingin memastikan bahwa omongan Liam dibenarkan olehnya. Tapi nyatanya wanita itu diam saja yang membuat Reno merasa Gladis tak ingin dia tahu seperti itu. “Aku percaya apa yang dikatakan oleh Liam, jadi kamu ga perlu takut aku akan bertanya lebih lanjut,” Reno akhirnya memutuskan untuk menerima alasan Liam. “Kamu kemana saat aku mengalami hal itu,” ucap Gladis sambil menggenggam serbet yang sedari tadi ada di tangannya. Liam yang mendengar ucapan Gladis langsung kaget dan merasa bakal ada drama yang bakal terjadi diantara mereka. Reno menghentikan kegiatannya untuk menyesap kopinya dan meletakkan kembali cangkir itu di meja. “Kamu tahu aku selama ini ada di Indonesia Glad, dan ini peristiwa apa yang kamu maksud?” tanya Reno tak mengerti apa pikirannya sama dengan Gladis. “Aku berharap pengawal yang biasa kamu kirimkan kepadaku akan menolongku saat itu, tapi ternyata nihil. Aku tak memiliki siapapun yang menolong meskipun tak sampai terjadi hal yang buruk tapi percobaan perkosaan itu bukan hal sepele Ren,” ucap Gladis yang suaranya menjadi serak. “Jika saja Liam tidak ada di sana dan mencurigaiku yang tak kunjung kembali dari menerima telepon, aku pasti sudah –“ Gladis menitikkan air mata dan menundukkan kepalanya di meja. Reno dan Liam hanya diam. Keduanya ingin sekali memeluk dan menghapus air mata Gladis tapi mereka sadar itu bukan hak mereka melakukannya. Liam akhirnya memberanikan diri mengelus punggung Gladis untuk meredakan tangisnya. “Cukup lupakan saja Glad, itu sudah masa lalu,” bujuk Liam dan Gladis mengangguk. “Maafkan aku.” *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN