"Wah, acaranya mewah banget, yah."
"Iya, Bu. Untuk outdoor acara keluarga saat siang hari, memang mewah." Itu benar. Dia sendiri terpukau saat memasuki halaman belakang rumah Edric - yang baru kali ini dikunjungi, disambut oleh hamparan karpet tipis berukuran cukup untuk 4 orang dalam 1 meja di beberapa titik dengan tenda besar menaungi. Disudut lain, Ia melihat Frans sedang sibuk melempar lelucon dengan yang lain hingga mendapat lemparan bekas tisu.
"Sebentar, kamu Lady Ashoka, bukan? Seorang Model yang membuat keponakan saya tergila - gila hingga bikin kegemparan tiap ada acara keluarga." Melihat wajah bingung Lady, wanita itu tersenyum kecil sambil mengulurkan tangan. "Saya Tata Pradipta, tantenya Frans."
Cantik sekali.
Wanita yang berdiri disampingnya bertubuh semampai dengan rambut hitam legam, disertai sepasang bola mata berbeda warna cukup kontras membuatnya mempesona. Seakan belum cukup saja, lesung pipi di sebelah kiri seperti terbelah saat tersenyum. Tuhan menciptakan wanita ini pasti saat senang, hingga ciptaan - Nya terlihat sangat menawan. "Iya, Tante."
"Kamu diajak Frans yah kesini?"
"Gak tante, saya bareng dengan Edric."
"Oh, I see.." Lista mengangguk dengan senyum kecil. "Kamu pacarnya?"
Pertanyaan simpel ini selalu membuatnya bingung. Memang benar Edric selalu mengajaknya kemanapun, tapi hanya sebatas itu. Edric pun juga tak terlalu membantu. "Cuma teman, tante."
Lista mengangguk, berharap tak ada satupun yang mengacaukan rencananya hari ini. "Keberatan, gak kalau kita keliling halaman sambil ngobrol ringan? Soalnya saya agak bingung juga kalau sendiri disini."
Anggukan Lady membuatnya langsung merangkul lengan wanita yang membuat anak lelakinya menjadi tak bisa dibaca lagi. "Kalau gitu, mau gak kalo panggil tante dengan sebutan Ibu biar akrab?"
heh?
***
"Halo tante Lista." Eva tak peduli sama sekali bahwa kehadirannya membuat tante Lista salah tingkah, dan duduk disampingnya. Pesta keluarga yang diselenggarakan oleh keluarga Edric tak pernah membuatnya tidak terpesona. "Udah lama banget Eva gak kesini. Soalnya gak pernah diajak Edric lagi."
Oh My...
Eva memperhatikan Lady yang kini bermain ponsel, dan kesal sendiri karena tak terlihat emosi seperti diharapkan. "Tante, Edric mana? Aku nyariin dia daritadi gak nemu."
"Tadi sama Om di ruang kerja bahas kerjaan. Janjinya sebelum pergi cuman 15 menit, tapi setengah jam berlalu dengan Lady, tuh anak gak muncul juga."
"Tante - Eh Ibu," Ia bersyukur tidak tersedak saat menyadari hal sepenting itu dari percakapan sambil lalu didengarnya tadi. Pantas saja seperti pernah melihat wanita ini entah dimana. "Maaf kalau pertanyaan saya terdengar lancang, tapi Anda ibunya Edric?"
Eva memandang mereka bergantian. Dan senyum kecil Tante Lista membuatnya kesal luar biasa. "Wajar saja lo gak tau, karena lo cuman cewek yang ada saat Edric butuh saja." Eva tak peduli dengan imagenya hancur lebur dimata Tante Lista, yang jelas Lady harus tahu bahwa dia benci sampai ke ubun - ubun. "Biasanya selingkuhan kan begitu."
"Gue bukan selingkuhan siapapun, apalagi Edric. Karena gue gak mengenal lo sama sekali, dan Edric pun tak pernah cerita soal lo." Ia menghabiskan air mineral hingga tandas. Ini perang. "Sedangkan seorang selingkuhan itu pasti tau tentang hubungan pasangannya diluar, kan?"
"Mungkin karena lo terlalu bodoh?"
"Kalau hubungan gue jalin sama Edric bikin lo kesal tanpa alasan yang jelas hingga ngomong aneh kayak gini, gue minta maaf dan akan lupain apapun tuduhan gak berdasar lo." Lady tersenyum kecil, takkan ia biarkan wanita yang membuat Edric mabuk 3 bulan yang lalu di kafee sahabatnya ini membaca isi hatinya. "Gue kesini karena diajak Edric untuk mengenal keluarganya lebih jauh, bukan untuk berantem dengan siapapun."
"Kalau begitu, jangan pernah bermimpi lo menjadi bagian dari kami." Eva benar - benar tak mempedulikan kehadiran tante Lista lagi. Di kepalanya, dia ingin membuat image Lady hancur lebur seutuhnya - walaupun itu menghancurkannya juga. "Karena Edric takkan pernah serius kalau sudah pernah diajak ke acara keluarga."
"Tahu kok. Makanya gue menolak lamaran dia sebanyak," Ia pura - pura menghitung sambil menatap kearah lain, menahan ketawa melihat ekspresi ngeri Frans disertai yang lain - diduga kuat semuanya sepupu Edric karena memiliki wajah tak biasa. "2 kali kayaknya. Lupa, karena saking banyaknya dia meminta gue untuk menjadi istrinya."
Ia tersenyum kecil sambil berdiri saat melihat ekspresi shock Eva. "Oh iya, ngomong - ngomong kita belum berkenalan. Gue Lady Ashoka Sarasvati, Pacarnya Edric. Lo?"
Eva langsung menyiram Lady dengan gelas berisi es limun yang digenggamnya kuat sejak tadi, saat melihat senyum kecil Tante Lista, serta wajah tanpa ekspresi Lady seolah percakapan ini basa - basi belaka. "Itu salam kenal gue buat lo. Lady."
Lady tersenyum sambil membersihkan rok putihnya dengan tisu - walau tau itu percuma. "Salam kenal kalau begitu, Evangeline."
***
"Rok kamu kenapa?" Edric menghampiri Lady yang duduk disamping Frans, dengan bantal sofa kecil menutupi.
"Diajak ribut ama Eva, didepan nyokap lo."
Frans dan jarum jahit kayaknya memang berjodoh dalam waktu dekat. "Gak, kesenggol tadi. dia emang lebay, abaikan saja."
Edric menatap Lady yang tertawa oleh lelucon receh Tian seolah tak terjadi apa - apa. Padahal dia melihat kejadian itu dengan sangat gamblang saat ingin menemui Lady yang ditinggal sendiri di tengah pesta, memilih menonton ketimbang melerai karena tak ingin menyebabkan keributan yang diinginkan Eva sebenarnya, serta ingin melihat Lady dari sisi lain, dan semakin tertarik karenanya."Lain kali hati - hati, sayang."
Lady menoleh kearah Edric yang tersenyum kecil, menatap langsung sorot mata sehitam kelam yang membius itu, berusaha mencari maksud dibalik ucapannya barusan. "Oke sayang. Aku akan hati - hati demi kamu."
Frans memperhatikan interaksi mereka, serta genggaman erat Edric pada Lady yang tertawa akan hal lain. "Kalian memang aneh."
"Kenapa? Cemburu gue deket dengan gebetan lo?"
"Gue rindu dengan sasana tinju yang sering kita samperin itu." Frans tertawa puas membayangkan Edric jatuh karena hantamannya nanti. "Maksudnya, kalian berdua bicara dalam bahasa kode yang tak gue pahami."
"Karena otak lo emang gak ada penerjemah dalam bahasa kami." Lady merangkul lengan Edric dengan senyum lebar saat pria itu membalas rangkulannya di pinggang. Menyatakan kepemilikan tak langsung dengan sangat gamblang. Khas Edric. "Ini bahasa cinta. Iya, kan sayang?"
"Muntah gue dengernya."
"Si jomblo mulai sekarat menuju ajal." Tian menimpali dan tertawa karena mendapat lemparan tisu dari Frans. "Makanya cari cewek sana buat diajak kesana - kemari. Jangan gangguin cewek orang."
"Kemaren lo diposisi gue juga, k*****t. Gausah sok bully."
"Gue gak sesedih lo, Frans. "
"Lo Lady Ashoka? Model terkenal serta yang sempat main film itu, kan?" Fio baru saja tiba dengan banyak kudapan ringan di tangannya. Matanya berbinar riang seperti anak kecil baru saja dibelikan mainan kesukaan. "Gue Fans berat lo, sumpah. Beneran ini. Ya Ampun, gue ketemu idola. Astaga..."
Frans geleng - geleng kepala memperhatikan histeria kecil sepupunya, sampai hampir tersenggol meja. "Lo gak fans ama gue? Gue juga aktor dan model yang diidolakan loh."
"Kayak lo pasaran, gak eksklusif. Bukannya gue populer jatuhnya malah bikin skandal kalo sama lo." Fio langsung duduk disamping Lady yang tertawa mendengar jawabannya barusan. "Boleh foto bareng, gak?"
"Lo gak pernah foto bareng sama gue, Fio. Bikin hati terluka banget dah."
"Tolong dong siapapun yang berprofesi sebagai dokter atau berpengalaman dalam menjahit kulit manusia, jahit saja mulut Frans ini. Ngeselin soalnya." Fio ingin mencekik Frans yang tertawa sambil menarik rambut pendeknya yang baru saja dipotong setelah setengah jam membuat kerusuhan pada hairstylist tentang gaya apa yang cocok untuknya. "Penyakit jomblo akut kayaknya gini nih. Tambah gila."
"Gue bilang juga apa. Cari cewek sana."
"Diem kalian berdua."
Fio hampir saja membenturkan kepala di meja kalau saja tidak mendengar tawa Lady yang manis. "Sorry. Frans memang begini, kalau gak diladenin bisa hancur pesta keluarga karena kegilaannya yang menular." Ia mengulurkan tangan setelah melihat hasil foto di ponselnya, memuji betapa cantik dirinya dalam hati. "Gue Fiorenca, dipanggil Fio. adik menyambi kembaran Edric."
Waw.
Ia memperhatikan saudara kembar didepannya bergantian. Fio memiliki sorot mata riang pada sepasang bola mata terunik pernah dilihatnya, hitam kelam disebelah kiri, serta hijau toska terang disebelah kanan. Berbeda jauh dengan Edric yang kaku. namun sama - sama membius bila dipandang lama. "Kalian berbeda."
"Gue selalu bahagia dan berterimakasih dengan Tuhan setiap dengar pendapat itu." Fio menatap pasangan ganjil itu dengan kening berkerut. "Lo akan jadi bagian dari kami, kan?"
Edric berdehem sambil memeluk pinggang Lady dengan erat sambil menggenggam tangannya. "Lady baru saja ketumpahan minuman, kayaknya kalian satu ukuran."
Detik berikutnya, Fio setengah terjatuh dalam berdiri sambil menarik Lady untuk mengikutinya. "Gue punya ratusan pakaian yang bisa lo coba, Lady."
"Gak usah repot - repot. Gue bentar lagi pu -"
"Lo akan jadi bagian kami, cepat atau lambat, Lady Ashoka." Fio bersinandung riang sambil menyapa beberapa yang ia kenal. "Dan jujur saja, gue sebenarnya lebih menyukai lo ketimbang Eva, walau dia salah satu sepupu kami, tapi penilaian gue objektif."
"Ngomong - ngomong, Edric benar kali ini. Nama lo bagus kalau disebut terus - terusan. Magis."
***
"Maafin Eva tadi."
"Aku ketumpahan es limun, kok." Lady berulang kali memperhatikan pantulan dirinya di kaca sebuah kafee karena Edric memutuskan ingin berdua saja dengannya, setelah pusing dirongrong keluarga besar.
Keluarga yang seru.
"Aku liat kok tadi." Melihat Lady hampir tersedak Choco Frappe pesanannya, sigap ia mengelap bawah bibir wanita itu dengan tisu, menikmati rona samar pada pipi tembem itu. "Dan semakin suka sama kamu."
"Kamu mau bikin aku mati tersedak, yah?"
"Gak kok. Aku serius ingin menikah sama kamu."
"Edric..." Jujur saja, ia sangat, sangat ingin mengiyakan ajakan itu karena mencintai pria itu dengan segala kekakuan serta sifat minimalis yang dimilikinya. Tapi masalahnya, dia tak tahu siapa yang menempati hati pria itu. Apakah masih bertuliskan nama Eva, atau pria itu menyukainya memang benar adanya. "Menikah gak semudah kamu ngajak aku kesini sambil pesan minuman masing - masing, loh."
"Aku tahu."
"Suka saja tak cukup."
"Tahu."
"Semua yang akan kamu bilang 'tahu', itu gak akan pernah cukup untuk kita, Edric." Ia menahan diri untuk tidak berteriak agar Edric mengerti maksudnya dengan sangat. "Aku gak tahu kamu, begitu juga sebaliknya. Selama 3 bulan ini aku jadi temen kamu untuk diajak ke acara sosial, Brand Ambassador anak perusahaan kamu, itu saja. Gak ada hubungan lebih. Dan pernikahan itu tak termasuk dalam kontrak kerja yang aku tanda tangan loh."
Kedipan mata Lady saat mengucapkan kalimat terakhir itu, membuatnya tersenyum ketimbang tersinggung berat. "Apa yang kamu inginkan kalau begitu?"
"Aku jadi pacar kamu?"
Untuk ukuran wanita yang baru saja dilabrak mantan pacarnya serta diguyur segelas es limun, hingga harus mengenakan pakaian kembaran pria biang masalah seperti dirinya, Lady memang benar - benar tak terduga. "Oke. Maukah kamu sukarela terjebak bersamaku, kalau gitu?"
Tawaran yang menggiurkan.
Sejujurnya, dia tak serius saat mengucapkan tadi karena masih berpikir Edric hanya bercanda dengan level berbeda. Tapi sorot mata hitam kelam itu terlalu tajam untuk membenarkan pikirannya, dan ia panik. "Aku butuh surat perjanjian ulang, loh."
"Nanti akan dibikinkan saat kamu terima aku."
Dia tak melihat jalan keluar.
Genggaman erat serta sorot mata tanpa kedip benar - benar menjeratnya. Tuhan, semoga ini pilihan benar. "Oke. Aku mau sukarela terjerat bersamamu, Edric Hayman."