Pekat

1597 Kata
"Kalau gue jadi lo, gue bakal nyewa 1 lusin pasukan pawang hujan." Tian melirik sepupunya, Frans yang kini mendongkak menatap dekorasi langit - langit dalam gedung dipenuhi rangkaian bunga segar, hingga aroma harum bunga mawar sekilas membuat para tamu berasa di taman. "Coba kasih gue alasan kenapa harus sewa pasukan pawang hujan, disaat musim kemarau." "Pokoknya sewa saja kalau gue jadi lo." "Saran lo abisin anggaran nikah gue, beneran." Frans terbahak - bahak sambil menepuk pundak Tian cukup kencang, namun pria itu bergeming. "Semenjak syuting bareng Kim, lo tambah sinting yah." "Gak usah bawa - bawa dia - EDRIC!"  Dasar Frans yang  merasa dirinya reinkarnasi Tarzan, hingga merasa perlu memanggil dengan suara sekencang itu di tengah ruangan. Membuat para tamu kini memperhatikan mereka dengan ekspresi aneh. "Gue kalau jadi tante Erika, gue pecat lo jadi anak. Udah mau 30an kelakuan bukannya beres, malah  malu - maluin." Frans mengabaikan Pengantin Pria seutuhnya, saat melihat siapa yang digandeng Edric. "Dia nyuri start gue!"  Kalau boleh menerka dari ekspresi kesal Frans, rupanya Edric baru saja menjadi kuda hitam dalam perjalanan cinta Frans tak berkesudahan.  "Jadi? Mau kenalin gue siapa wanita tercantik selain istri gue?" "Lady. By the way, konsep pernikahan lo indah banget. Gue suka." "Trimakasih. Gue seneng bahwa wedding imagination istri gue buat lo suka." Frans tak tahan untuk tidak merayu Lady yang tersenyum lebar karena jawaban Tian. "Konsep pernikahan kita bakal lebih dari ini, Lady. Gue janji sama lo dengan setulus hati." "Kita udah lama gak sparring di sasana tinju loh, Frans."  Tian berdehem sambil melirik sekelilingnya saat Edric langsung memeluk pinggang Lady sebagai tanda kepemilikan. Ia bisa meramalkan situasi indah ini akan berubah menjadi area pertarungan sebentar lagi. "Ortu lo udah tiba disini. Samperin gih." Lady melirik lengan Edric yang memeluk pinggangnya hingga tak sadar bahwa ia menahan napas. Jujur saja, perlakuan receh seperti ini membuatnya menjadi pusat perhatian, dan ia merasa rentan.  "Aku disini saja, yah." "Iya, Lady disini aja sama gue. Gue jagain deh." Frans tersenyum sangat lebar saat Edric melirik kesal. Kapan lagi bikin sepupu kulkas berjalannya ini terlihat manusiawi. "Tian, Penghulu masih belum pulang, kan? Gue mau pinjam jasa beliau buat mensahkan hubungan gue dengan Lady, sekalian kita satu panggung di Pelaminan yah. Masih muat juga, kan?" "Frans, jangan mulai." Cara Lady  menegur Frans yang terkenal sableng itu, entah kenapa membuatnya sedikit tersenyum. "Beneran gak mau ikut? Aku pengen kenalin kamu dengan ortu loh." "EHEM!" "Juga yang lainnya." "EHEM - EHEM! GUE BATUK!" Edric melirik kesal kearah Frans yang kini pura - pura tersedak, namun genggaman tangan Lady disertai senyum terkulum itu membuatnya memilih mengabaikan. "Jadi?" "Aku pasti samperin orang tua kamu, kok. Cuman untuk sekarang masih pengen menikmati suasana, gimana?" Edric mencium pipi kiri serta kening Lady yang terkesiap karna perlakuan spontannya. "Aku tunggu kalau begitu, sayang." "EHEM!" "Diem, Frans." *** "Jadi, mau cerita?" Lady tak tahu harus berkata apa ketika pandangannya tertuju sepenuhnya kepada seorang wanita  yang mengenakan dress berwarna merah dengan potongan cukup berani, belum lagi tatanan rambut cokelatnya dibuat berombak, serta cara wanita itu menatap sekelilingnya sungguh sangat mengintimidasi. Kalau tebakannya benar dari salah satu foto yang ditemukan Linda dalam akun gosip langganannya, wanita yang kini menatapnya tajam adalah mantan pacar Edric. Dia kehilangan nyali sebelum bertatap muka. "Cerita apa yang mau lo dengar, Frans?" "Tentang, pertemuan lo dengan sepupu gue?" "Itu terjadi karna pekerjaan." "Kalau boleh gue flashback," Frans menoleh ke belakang, tak sengaja bertatapn langsung dengan Eva yang kini  menghampiri mereka. Hal itu membuatnya perlahan menarik Lady  menjauh dri jangkauan . Dia tak ingin terjadi pertumpahan darah karna sepupu kulkas berjalannya - yang kini asyik bicara dengan orang tuanya. "Lo pernah bilang sedang naksir sama pria karna ciuman pertama? Benar?" "Lo itu yah ingetnya disaat gue merasa hina mulu." Aman. Batinnya saat Eva kini terhalangi oleh beberapa tamu yang sedang berdansa, dan bertemu dengan Tian yang langsung mengajaknya ikut serta. "Yang berhubungan dengan lo memang paling enak diingat, Lady." Ia bersandar di tembok sambil mengambil minuman dari waiter keliling. "Iya. Dia pria pertama yang gue cium saat itu, bikin gue gak bisa tidur selama sebulan, disaat hopeless gak bakal ketemu lagi, ternyata Perusahaan dia minta gue sebagai Brand Ambassador selama 1 tahun. Luar biasa jalan Tuhan, kan?" "Andai gue tahu bahwa cara lo buat jatuh cinta seperti itu, sudah dari pertama kita kenal gue nyium lo. Jujur diantara semua pria yang gue kenal, Edric gak masuk dalam hitungan, terkhayal pun tidak." Ia geleng - geleng kepala sendiri saat Lady tersenyum kecil. "Lo memang diluar dugaan, dan bikin gue tambah tergila - gila sama lo." "Simpan gombalan lo buat wanita lain, Frans." "Gue serius." "Lo cuma penasaran sama gue, Frans . Nanti kalau lo tau yang sebenarnya suatu hari nanti, lo akan merasa sia - sia lakuin ini." Apa yang Lady pikirkan? Batinnya berdesir saat wanita bersorot mata dingin itu kini dirasa tak terjangkau. Dan ia menggenggam tangan dingin wanita pujaannya itu. "Try me." Ia menggeleng sambil tersenyum saat bertatapan dengan Frans, sembari perlahan melepas genggaman tangan Frans. "Gue gak mau ambil resiko, Frans." "Lo penuh misteri, Lady." "Itulah benteng hidup gue, Frans." *** "Jadi, kapan mau kenalin mama dengan Lady? Nama dia bikin mama penasaran loh." "Sekarang gimana?" Ia mengikuti arah pandangan Mama kearah Lady yang berdiri disamping Frans. Berada cukup jauh jangkauan Eva yang kini ditahan Tian, dan merasa bersyukur karnanya. "Aku ada rencana untuk menikahi dia, Ma." "Kenapa buru - buru?" "Aku capek jalin hubungan lama kayak dulu, Ma." "Kalau gitu, Kenapa kamu pilih Lady, bukan Eva?" Lista menatap anak lelakinya yang terlihat menjulang. Edric benar - benar membuatnya serasa berhadapan dengan Ando versi muda. "Mama cuma penasaran." "Karna dia adalah Lady, wanita pilihanku. Gak ada alasan khusus." "How 'bout her?" Senyum simpul serta cara Lady mengalihkan pembicaraan saat ia mengajukan tawaran pernikahan beberapa hari, membuatnya tertantang. "Dia pasti setuju, Ma." ** Merokok, Edric? Sejak kapan?" Eva memperhatikan Edric yang merokok di belakang gedung sambil mendongkak memperhatikan gerakan awan. Pertemuan dengan Lady yang dihalangi secara tak langsung membuatnya merasa dikhianati oleh kedua sepupunya sendiri. Semua orang mempedulikan Lady. Tak ada yang ingin tahu tentang isi hatinya. "Bukan urusan lo, Eva."  Eva sedikit senang saat Edric mengernyit karna pakaiannya. Jujur saja, ia sendiri berkeringat dingin karna ini pertama kalinya juga berpakaian seterbuka ini, karna saat berpacaran dengan Edric, dia dilarang ntuk berpakaian seperti ini. Saat ia bertanya kenapa, alasan yang diberikan adalah hanya dirinya seorang yang boleh menikmati lekuk tubuhnya,  Bukan siapapun. Dan sekarang, dia akan melanggar semua yang dilarang Edric, biar pria itu menderita.  Ia menyampirkan rambutnya kesamping saat berdiri disamping Edric dan mendongkak seolah pemandangan Langit cerah saat ini menyita perhatian, padahal untuk menggoda Edric yang kini menatap lekukan lehernya. Salah satu spot Favorit pria itu pada dirinya. Lady tak tahu apa - apa dengan prianya ini. Edric menginjak rokok hinga remuk ke tanah, lalu memungutnya dan melemparnya kedalam bak sampah. "Gue pergi dulu." "Mau kemana?" Ia menatap pergelangan tangannya yang digenggam Eva. Tatapan coklat terang yang dulu membuatnya tergila - gila dalam diam kini berubah menusuknya tak kenal ampun. "Lady butuh gue, Eva." "Gue lebih butuh lo dibanding dia, Edric!" "Va, kita udah berpisah, karna lo yang minta." Kini semua terlalu pekat, untuk dikenang, dalam angan. "Lo seharusnya mempertahankan gue, Edric! Lo seharusnya memohon ntuk meminta gue tinggal! You said you love me! I'm your half life!"  Ia meremas pergelangan Edric yang membatu, menahan air matanya jatuh ntuk kesekian kalinya. "How cruel you." "Gue mengabulkan semua yang lo minta, Va. Termasuk mengakhiri hubungan ini karna lo bilang udah gak tahan lagi dengan semuanya. Lo udah nyerah. Gue gak bisa memaksa, apalagi memohon pada orang yang sudah tak menginginkan gue lagi, Va. Bagaimana lo bisa bilang seperti itu, kalau sebenarnya itulah yang lo inginkan?" "Gue bilang gitu karna lo gak pernah mengerti apa yang gue mau, Edric. Gue cuman ingin diakuin sebagai pasangan lo. Gue ingin tau lingkungan pertemanan lo, ingin sedikit saja lo cemburu sama gue. Gue nginap dirumah kak Tian seminggu cuman bertiga dengan Bibi lo hanya diam, gue jalan dengan pria lain lo gak protes, gue gak hubungin lo seharian malah tak peduli. Wajar kan gue bilang lo gak cinta lagi?" "Eva, Kita bukan ABG labil yang harus saling lapor setiap jam sedang dimana dan dengan siapa, marah tak jelas. Kita punya kesibukan masing - masing dan hal seremeh itu bukan ntuk dijadikan masalah. Lo sudah tau lingkungan pekerjaan dan teman gue tau bahwa lo pasangan gue saat itu. Di bagian mana lagi yang butuh pengakuan lo?" "Lo gak pernah perlakuin gue, seperti lo perlakukan Lady! Semua yang gue inginkan lo berikan kepada Lady! Itu milik gue, Edric. Milik gue!" Edric menggeleng sambil menghela napas. "Lo terlalu egois hingga gak sadar apa yang sudah gue lakuin selama ini  ntuk lo, Va." Eva semakin tak membiarkan Edric menjauh barang sejengkalpun. "So, this is all my fault?" Edric melepas cengkraman Eva di pergelangan tangannya perlahan, menatap sorot mata coklat terang yang kini berlinang air mata. "Hanya lo yang tahu jawabannya, Evangeline." Ia memeluk Edric erat, tak ingin terlepas barang sejengkalpun."Please, Edric. Come back to me. I love you." "Eva..." Ia mengelus pipi wanita yang sudah ribuan - mungkin jutaan kali pernah ia sentuh, ia cium, dan puja kehalusan kulitnya. Tersenyum perih saat teringat betapa tinggi harapannya dulu untuk menjadikan Eva sebagai belahan jiwanya.  "Once i'm broken by you, i'm done with you." Lama coba bertahan, nyata tak satu tujuan. Janji - janji bersama menghilang seketika Eva mendongkak ntuk menatap langsung sorot mata sehitam arang yang kini memperhatikannya. "I wish she'd break your heart. Like you did to me." Kini rasaku pun terucap. Ku tak ingin lagi melihatmu
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN