"Mama kamu benar - benar gak bisa ditinggal sebentar, yah. Buktinya dia berada dalam keributan lagi."
Edric tersenyum kecil saat Papah menggelengkan kepala, memperhatikan ekspresi marah Eva didepan Lady yang sama tenangnya dengan Mama, adalah situasi biasa. "Menurut Papah, kalau aku melamar Lady bagaimana?"
"Bukannya kamu bersama Eva, terakhir Papah dengar?"
Edric hampir saja berlari mendekat saat Eva terlihat ingin menampar Lady yang sedari tadi duduk tenang sambil mengetuk meja dengan jemari kanannya, kebiasaannya setiap bersinadung kecil. Namun, gelengan kepala memperingatkan Mama membuatnya hanya bisa menonton, berdoa semoga kericuhan Eva tak memancing perhatian luas. "Aku menyukai Lady."
"Hanya itu?"
"Papah selalu bilang untuk mencari pasangan hidup yang membuat kita tak bisa hidup tanpanya," Ia tersenyum saat Lady kini mengelap rok yang basah karena disiram Eva, oleh segelas es limun dengan senyum kecil. "Mungkin pertemuan aku dengan Lady termasuk singkat, But i need her in my life."
Ando memperhatikan wanita pilihan anaknya kini bercengkrama dengan istrinya, seolah kejadian cukup memalukan itu tak pernah terjadi saat mereka berdua tersenyum. "Papah tau kenapa kamu pilih dia."
"Karena?"
Ia membalas senyum kecil Lista yang mengedipkan mata kearahnya. "Karena dia mirip Mama."
"Pak."
Nada menegur Sekretaris membuatnya tersadar. Demi mengembalikan wibawa, ia berdehem kecil. "Ya?"
"Ini notulen hasil rapat tadi siang, serta Laporan dari Divisi Keuangan yang Bapak minta." Dia sudah bekerja selama hampir 6 tahun sebagai Sekretaris Edric, Namun baru kali ini ia melihat bosnya tersenyum sendiri saat melamun. Seolah ada sesuatu membahagiakan yang tak ingin dibagi pada siapapun. "Dan jadwal bapak hari ini selesai pukul 7 malam. Tidak ada rapat atau acara sosial setelahnya."
Edric menganguk. "Kamu tahu restoran yang membuat saya terlihat tidak menjadi pusat perhatian? Jujur saja, melihat foto saya di berita manapun bikin pusing juga."
"Ada beberapa yang bisa menjaga privasi." Otaknya membuat daftar pada restoran yang dimaksud, "Mungkin itu bisa membantu Bapak."
"Boleh. Pesankan untuk 2 orang pukul 8 Malam."
Berarti berita itu benar.
Dinding kantor seperti memiliki telinga selebar Gajah setelah mendengar berita tentang bosnya dengan Lady Ashoka Sarasvati, Brand Ambassador terbaru untuk perusahaan yang memiliki wajah secantik jelmaan Bidadari turun dari Bumi, Memiliki kepribadian setenang danau tak berpenghuni, Senyumnya pun selembut anak kecil tak memiliki dosa, namun memiliki ratusan kosakata yang mengandung Bisa Ular beracun setiap berhadapan dengan wartawan atau pihak manapun yang menyudutkannya. Membuat Lady diibaratkan seperti Bunga yang tumbuh di pinggir tebing, sangat cantik saat dipandang, namun tak ada yang memiliki nyali untuk merawat, apalagi memilikinya.
Hanya bosnya yang berani.
"Ada yang ingin ditanyakan, Lisa?" Ia merona saat sorot mata sehitam arang milik Bosnya itu menatap tanpa kedip. "Wajah kamu penuh tanda tanya."
Ia memilih undur diri sambil menunduk pelan. "Tidak ada, Pak. Permisi."
***
"Jadi lo sudah ketemu seluruh keluarga besar Edric, dan dilabrak mantan pacarnya didepan Mama Edric?" Ia menahan diri untuk tidak melempar botol air mineral sebagai pelampiasan, karena berani - beraninya wanita sialan itu mempermalukan sahabatnya. "Wajah cantik kayak Bidadari, tapi hati kayak Setan."
"Itulah yang dinamakan balance life, Linda." Ia memilih mengaduk ice cream tiramisu yang sudah tak berbentuk lagi di dalam mangkok berwarna peach. "Gue sih sebenarnya bodo amat dengan dia, karena merasa gak melakukan hal yang dituduhkan itu. Cuma gue berdoa saja semoga gak ada yang ngeh terus rekam kejadian itu dan berakhir Viral. Gue males terkenal karena masalah receh mulu."
"Contohnya dengan Frans?"
"Gue kalau ingat statement dia soal belahan jiwa didepan wartawan tempo lalu, rasanya pengen gue pecahin ini mangkok, terus gue taroh dalam mulutnya. "
"Lo cantik, tapi sadis." Linda memperhatikan sahabatnya yang kini bersinandung kecil. "Jadi kalian pacaran?"
Lady mengangguk sambil menghabiskan segelas air putih ketiganya. "Gimana sih rasanya pacaran itu?"
"Gue lupa lo itu jomblo dari lahir. Ralat," Ia bersyukur sedang tak menelan apapun mendengar pertanyaan polos itu. "Lo lakuin itu bukan karena gak ada yang tertarik ama lo, tapi lo yang melarikan diri."
"Dan posisi gue sekarang, persis seperti kelinci terperangkap dalam lubang jebakan pemburu."
"Tapi kelinci bisa kabur, loh."
"Iya kabur beberapa langkah, terus ditangkap lagi dan berakhir jadi kelinci panggang sama aja boong."
Dering ponsel tak biasa dari Lady menghentikannya dalam berbalas kata. "Edric nelpon tuh."
Lady melirik ponselnya, lalu menatap Linda yang terlihat penasaran. "Harus gue angkat gitu?"
"Yaiyalah! Lo pikir dia nelpon cuman testing jaringan doang?"
"Tapi gue ngomong apa? Apa yang gue bahas setelah semua ini? Maksudnya.." Ia berdeham saat ekspresi Linda terlihat frustasi. "Sebelumnya Edric nelpon gue cuman ngajak jalan doang, gak ada pedekate atau apalah, sms romantis, flirting each other like roman movies . Sekarang kami pacaran, lo bisa bayangin kan posisi gue kayak gimana?"
Linda langsung menggeser tombol terima, "Halo Edric. Gue Linda sahabatnya Lady, cewek lo." Dia menahan tawa saat Lady kini melipat kedua tangannya di d**a sambil menatap samping kiri, berusaha tenang seperti biasa untuk menyembunyikan kepanikan yang kentara. "Dia lagi di Toilet dan ponselnya ada di atas meja. Oh, cewek lo udah datang, wait."
"Gue harus ngomong apa?"
"Jawab aja apa yang dia tanyakan! Lo itu kebanyakan asumsi gak jelas!" Linda berbisik sambil mendesis karena terlalu kesal, sampai meletakkan ponsel ke telinga kanan Lady yang terlihat panik dari sorot matanya. "Ngomong sana."
"Halo?"
Mati gue mati. Ia menelan ludah sambil menggigit bibir, saat mendengar suara bass serak yang selalu membuatnya tak bisa tidur nyenyak setiap mendengarnya. "Sorry, tadi aku ke toilet. Ada apa?"
Linda merasa tugasnya disini sudah selesai. Jadi dia memutuskan beranjak, melambaikan tangan kepada Lady yang terlihat kelimpungan sendiri dengan ponsel menempel.
Sahabat gue sudah dewasa...
***
"Kamu yakin gak mau makan di Restoran? Belum aku cancel juga."
Lady mengangguk sambil mengucapkan terima kasih saat Edric menyerahkan sekotak martabak manis pesanannya tadi. "Iya. Soalnya capek juga berinteraksi dengan orang banyak mulu dalam seminggu. Bikin pusing." Ia mengambil jas kerja Edric yang tergeletak di sofa tamu, dan menggantungnya. "Kamu mau minum apa?"
"Kamu tipikal anti keramaian, yah."
"Bukan anti sih mengingat pekerjaanku kan melibatkan orang banyak, interaksi tak habis - habis." Ia menyodorkan segelas s**u coklat hangat kesukaan Edric di meja makan, tersenyum saat Pria itu meminumnya seolah sudah terbiasa berada disini.
Terbiasa?
Ia menggigit jempol kirinya dengan keras, menelan ludah sepelan mungkin supaya Edric tak menyadari kegelisahannya. "Cuma capek aja harus selalu tersenyum disaat lagi males lakuin itu, tertarik akan suatu topik padahal pengen tidur, banyak pokoknya. Cuma aku gak bisa ungkapin hal seperti itu, kan? Makanya lebih milih menghindar saja demi kenyamanan bersama. Ngomong - ngomong, kamu gak papa batal pergi kesana?"
"Maksudnya?"
"Restoran itu. Kamu kesana dan ajak aku karena ada acara kantor, kan?"
Ekspresi polos Lady saat bertanya sambil meletakkan salad sayur buatannya di atas meja makan, membuatnya tersenyum kecil. "Sebenarnya aku mau ajak kamu makan disana. Cuma berdua. Tapi kupikir lagi, mungkin lebih enak disini. Tak perlu menunggu pesanan, tak perlu mikirin macet pas pulang nanti,"
"Juga gak perlu debat siapa yang harus bayar siapa." Lady menambahkan dan mereka tertawa. "Benar, kan?"
"Itu tetap aku yang bayar, karna aku yang ngajak kamu."
Lady mengangguk sambil memakan martabak manis dengan isi keju - s**u coklat. "Setuju. Kalau begitu, gimana kalau nanti aku bikinin kamu kue sebagai permintaan maaf?"
"Keluar kota?" Melihat wajah ragu Lady, ia menambahkan. "Kamu pernah hiking?"
"Percaya gak kalau dulu aku salah satu anggota pecinta alam saat kuliah, dan hobiku sebenarnya manjat tebing?" Wajah bingung Edric membuatnya tersipu. "Sudah lama banget, sih."
Lady memang tak terduga. Dan ia semakin tertarik. "Ayo kita coba. Nanti aku tanya dengan Tian, kamu pernah ketemu dia, kan?" Anggukan semangat Lady menularinya. "Dia kenal tempat alam seperti itu, sesuai kesukaan kamu."
"Asik." Dia tak sadar ucapannya membuat Edric tersenyum lebar. Hatinya terlalu bahagia dengan ajakan itu. Seperti mengenang masa lalu. "Aku gak sabar banget."
Senyum lebar Lady disertai wajah merona bahagia dan sorot mata dingin yang kini berbinar, membuat wanita itu menjadi semakin cantik dan mempesona. Membuatnya spontan mengecup dahi Lady lama, kemudian beralih ke pipi kanannya yang menggemaskan. "Kalau bikin kamu bahagia sesimpel ini, mungkin aku akan jadi pria paling beruntung di dunia karnanya."