"Selesai!"
Suara interkom di ruang tengah membuat keningnya berkerut. Sambil berjalan menuju pintu, ia mengingat siapa yang bersusah payah mendatanginya ditengah hujan deras . "Iya?"
"Ini Edric."
Ayo berpikir! Berpikir!
Otaknya langsung blank saat berpaling dan melirik sekeliling ruangannya bertebaran pakaian kotor, bungkus cemilan, majalah di sofa dengan posisi terbuka, serta beberapa benda lainnya yang membuat apartemennya seperti baru saja diamuk badai, ditambah dirinya belum mandi serta pakaian rumah yang dikenakan sekarang yang penuh robekan kecil karna termasuk kesukaannya.
Intinya, dia tak mungkin menyambut Edric dengan penampilan seperti ini!
"Mau menunggu sekitar..." Ia melirik jam dinding diruang tengah, berharap Edric tak keberatan. "20 menit?"
Ia berdehem. "Bisa gak terlalu lama? soalnya aku kehujanan karna berlari dari tempat parkir menuju kesini."
Edric bersandar di samping pintu saat tak terdengar balasan. mempertanyakan alasan apa yang harus diucapkan saat Lady bertanya nanti. Karena mereka hanya bertemu bila ada acara sosial yang mengharuskan hadir berpasangan. Oh Tuhan..
Seharusnya gue kursus bohong kilat dengan Frans saat itu.
Baru kali ini ia merasa kebingungan. Yang jelas, saat bertemu kembali dengan Eva dan berakhir bertengkar didepan semua sepupunya, wajah serta senyum Lady langsung muncul dalam pikirannya, menenangkan emosinya yang menggelegak, serta menghadirkan rasa sangat kuat setelahnya untuk bertemu walau sekilas.
Gue sudah gila rupanya.
"Silahkan masuk!" Lady kaget sendiri mendengar nada suara serta kerasnya pintu yang terbanting karna tindakannya. Namun melihat ekspresi Edric seperti kucing liar sedang berteduh di tenda dengan badan basah kuyup karna kehujanan, membuatnya langsung menarik Edric masuk kedalam apartemennya. "Sorry menunggu lama."
Genggaman hangat Lady di pergelangan tangan kirinya ntah kenapa membuatnya enggan untuk melepas. "Ini gak sampai 20 menit, loh."
Oh yah?
Saking sibuknya melempar semua barang yang bertebaran di ruang tengah ke kamarnya dan menguncinya , lalu berganti pakaian sambil menyemprot parfum ke tubuhnya, berdoa agar Edric tak mencium aroma aneh dalam dirinya, ia tak tahu lagi soal waktu. "Wah, bagus kalau begitu. Aku ada beli minuman coklat yang kamu ceritakan itu, mau?
Ia mengangguk sambil duduk di sofa kecil, menatap ruang tamu yang setiap sudutnya dipenuhi bunga hias serta aroma lilin therapy di samping kanan sofa tamunya. Dalam hati lebih dari bersyukur ia tak jadi berdosa karna berbohong dengan Lady. "Aku gak ganggu, kan?"
"Gak kok." Lady menjawab sambil meletakkan baki berisi 2 gelas mug lucu diatas meja, lalu menyerahkan handuk mandi kearah Edric. "Nih."
"Untuk?"
Lady meminum s**u coklatnya dengan sangat perlahan, bukan karna takut lidahnya melepuh kepanasan, melainkan untuk mengendalikan perasaan gugupnya. "Mandi disini. Aku gak mau kamu sakit pas pulangnya ntar."
Dulu, tawaran seperti itu pasti hadir dari Eva setiap mereka selesai b******a. Tapi, mendengar hal tersebut dari wanita lain ntah kenapa membuatnya bingung sendiri. "Aku gak bawa pakaian ganti."
Edric langsung mendekati Lady yang tersedak, duduk disamping sambil mengelus pundak wanita itu. "Pelan - pelan saja."
Mati gue mati! Batinnya sambil berulang kali menarik dan menghembuskan napas agar jantungnya tak berakhir menggelepar di lantai. Ini pertama kalinya juga dia menawarkan kamar mandi pada pria yang bahkan bukan temannya. "Kalau diliat dari postur tubuhmu, kayaknya bakalan muat deh dengan salah satu pakaian temanku. Dulu sempat mampir kesini dan ketinggalan, bodohnya lupa ku kembalikan."
Teman?
Ia ingin bertanya, namun sadar dirinya bukan siapa - siapa untuk mengetahui apapun tentang Lady. Pemikiran itu membuatnya kesal ntah kenapa. "Yasudah kalau gitu."
***
"Kamu suka sayur?"
"Kamu kenyang cuma makan itu?" Edric balik bertanya melihat semangkok salad buatan Lady diatas meja makan. "Sorry, aku gak sopan."
Lady tersenyum sambil memberikan segelas air minum pada Edric yang baru selesai mandi dan duduk disampingnya. "Gak papa kok. Kamu mau aku masakkin apa? Mumpung masih hujan, agak susah juga kalau delivery makanan."
"Kalau aku yang masak gimana?"
Kehadiran Edric disini dengan aroma sabun miliknya saja sudah membuat jantungnya berdegup tak keruan, bagaimana ceritanya jika pria itu menawarkan diri memasak, seolah mereka sedang tinggal bersama?
singkirkan khayalan Cinderela lo, Lady.
"Kamu bisa masak? Waw."
Edric tersenyum sambil menatap Lady dengan pakaian kebesaran serta rambut panjang yang selama ini terurai, kini digulung asal hingga terkesan berantakan. Namun anehnya, dia malah tak keberatan. Selama itu Lady. "Kamu mau aku masakkin apa sebagai bukti?"
"Aku cukup dengan semangkok salad ini saja." Ia menunjuk mangkoknya, tersenyum saat Edric tertawa kecil. Ini pertama kalinya dia melihat ekspresi itu. "Tapi aku nyicipin punya kamu, yah."
Edric mengangguk saat Lady mulai mengarahkan letak peralatan masak, bahan makanan yang sangat lengkap dalam kulkas, serta aneka bumbu yang tersimpan di laci. "Boleh aku tanya sesuatu?"
"Silahkan."
Edric memotong sayuran yang diambilnya dari kulkas, lalu mencemplungkannya kedalam panci yang berisi air, dan memasukkan mie telur beserta bumbu lain dan diaduknya. "Kamu tinggal sendiri disini?"
"Aku gak nyangka kamu bakal mampir kesini loh, Edric. Seriusan."
Edric tersenyum mendengar pengalihan topik pembicaraan Lady, dan memilih mengikuti alur. "Iya, aku juga kaget bisa berada disini."
"Lucu." Lady mendekati Edric yang terlihat selesai memasak, dan membantunya. "Aromanya enak banget. Aku suka."
"Lapar..."
"Kamu mau aku bikinin apa?"
Senyum Eva melebar sambil mendekatinya dengan tubuh tertutupi oleh sehelai selimut yang dipegang erat agar tak jatuh. "Gimana kalau aku saja yang masak, dan kamu duduk disitu sambil liatin?"
"Kenapa harus diliatin, kalau aku bisa bantu?"
Eva tertawa dibalik ciumannya. "Kita berakhir pesan makanan diluar kalau kamu bantu aku, sayang. I know you."
"Edric?"
Sentuhan tangan Lady membuatnya tersadar. "Kamu suka ?"
Lady menyadari ada yang salah dengan Edric, namun memilih tak bertanya karna bukan urusannya. "Iya, lebih enak ketimbang saladku ternyata."
"Aku bilang juga apa," Edric membagi mienya dengan Lady yang tersenyum lebar, membuat wanita bersorot mata dingin itu terlihat hangat. "Makasih."
"Makasih karna biarin kamu masak di dapurku?"
"Bukan itu." Edric menatap ekspresi kebingungan Lady yang mencicipi kuah mie dengan wajah merona karna uap hangatnya. "Karna kamu gak nanya alasan apa yang buat aku kesini."
Lady tersenyum sambil mengambil meminum airnya. Lalu menatap Edric yang duduk di seberangnya, terasa aneh berada di dapur apartemennya yang kecil dan menyimpan rahasia dibalik tembok, namun membuatnya tenang ntuk pertama kali. "Karna semua manusia butuh tempat pelarian diri sejenak, kan?"
"Kalau begitu..." Edric meraih tangan Lady dan menggenggamnya, mengabaikan sorot mata dingin yang berkilat penuh tanya akan tindakannya. "Will you marry me?"
Lady berusaha menarik tangannya, namun Edric menggenggam terlalu erat. Ini gila!
Tapi, dia mengharapkan ini, kan?
"Kamu akan kabur kalau tau aku sebenarnya."
"Try me."