Sangat dicintai oleh seseorang memberimu kekuatan,
sementara mencintai seseorang memberimu keberanian.
- Lao Tzu
♥♥♥♥♥
“Achi istirahat duluan aja ya. Am mau kumpul sebentar, temannya belum pulang semua. Airin tolong bantu Achi ganti-ganti ya,” ujar sang suami ketika mereka berada di dalam kamar.
“Beres bos,”
“Rii, Achi bisa ganti sendiri. Malu ah buka-bukaan di depan Rii,” ujar Achi ketika Arham sudah keluar dari kamar dan menutup pintu.
“Perasaan tadi yang bantuin Achi pake baju aku juga deh. Pake malu segala,” ujarnya sambil membantu sahabatnya melepas hiasan di jilbabnya.
“Riichan, punggung sama pinggul Achi kok rasanya sakit banget ya? Mau remuk rasanya,”
“Kelamaan duduk mungkin, Chi. Siap ini langsung tidur aja, kan tadi Arham pesan gitu juga.”
“Iya deh,”
“Mau pake baju tidur yang mana nih?” candanya.
Achi kembali teringat beberapa gaun tidur yang diberikan sebagai salah satu seserahannya. “Riichaaaaannnnn...... Sakit ni punggungnya, jangan ngajak becanda dulu,”
“Iya deh, iya. Sensitif banget pengantin baru ini,” ujarnya sambil menyisir lembut rambut sahabatnya itu. “Bajunya beneran buka sendiri aja Chi?”
“Iya. Rii istirahat aja deh. Kan udah sibuk dari pagi. Nisya aja udah molor,”
“Iya deh. Have a good night yah,”
“Thanks beib,” ujar Achi mencoba tersenyum.
Sepeninggalan Airin, Achi langsung membuka lemari dan mengambil baju tidur yang baru ia beli kemarin saat membeli kebaya. Baju tidur tangan panjang, modelnya simpel, bawahannya merupakan celana yang juga panjang, jadi ia tetap bisa mengenakan jilbab walau pakai baju tidur. Dikenakannya jilbabnya dan keluar kamar untuk mengganti baju di kamar mandi.
“Loh, pengantin wanitanya kok keluar kamar?” tanya sepupu Achi yang kebetulan sedang mencuci piring di dapur.
“Mau nyalin pakaian loh mbak. Lagian sepi ni, sesak pipis,” terangnya sambil menunjuk kearah perutnya.
“Aneh-aneh kamu ini Chi. Liat tuh suamimu, malah sibuk bantu ngangkat kursi. Sebelum kamu keluar malah sibuk ngangkatin piring, ya disemprot oma mu,” ujarnya sambil tertawa. Mau tak mau Achi ikut tertawa mendengarnya kemudian beranjak masuk ke kamar mandi.
♥♥♥♥♥
“Loh, kok belum tidur?” tanya Arham ketika memasuki kamar dan mendapati sang istri masih duduk sambil membaca.
Achi tersenyum. “Oh, udah selesai ngangkat-ngangkatnya?”
Arham balik tersenyum.
“Kali ini siapa yang ngomel?” tanya Achi lagi.
“Rame. Mama, Papa, oma, opa, mas-mas juga,” ujarnya sambil tertawa garing. “Baca apa sih?” kikuk.
“Buku nikah. Ini ada juga buku tuntunan praktis rumah tangga bahagia, dari KUA,”
“Am ganti dulu ya, Achi juga siap-siap ya,”
“Hah?? Siap-siap buat apa?” tanya Achi bingung, apakah malam ini??
Ia tersenyum,“Shalat sunnah loh adik,”
“Oh iya, lupa,” jawabnya sambil tertawa. Ia langsung bergegas menuju lemari baju yang kini sudah berubah menjadi lemari baju mereka berdua. Diambilnya baju tidur yang sama dengan yang ia kenakan, memang kemarin ia beli sepasang. Tugas pertamanya sebagai istri.
“Makasih,” ujar Arham sambil menerima baju yang diberikannya. “Memangnya tadi mikirnya siap-siap buat apa?” selidiknya sedikit menggoda.
Achi merasakan wajahnya sedikit panas. “Ah mau tahu aja. Udah, sana buruan ganti bajunya,”
Arham pun tertawa, tahu bahwa godaannya berhasil. Achi menggelar sajadah dan menyiapkan mukenah yang menjadi mas kawinnya. Lalu ia bergegas keluar untuk mengambil wudhu.
Setelah selesai shalat, Achi pun mencium tanggan Arham, kontak fisik mereka yang pertama. Arham lalu memegang kepala Achi dan membacakan doa keberkahan. Tak terperikan lagi rasa bahagia ini. Ada sesuatu yang aneh di hati ini yang tak dapat dikatakan.
“Mau tidur sekarang?” tanya Achi kikuk. Ini kali pertama ada lelaki lain selain Papa dan kedua kakak lelakinya yang masuk kedalam kamarnya.
“Masa besok. Sekarang dong,” candanya.
“Besok kita berangkat jam berapa, Bi?” tanya Achi sambil membuka selimut yang menutupi seprai tempat tidurnya. Abi, itu panggilan Achi untuk Arham. Mereka sudah menyepakatinya beberapa saat yang lalu.
“Jam sepuluhan mungkin, kalau siang kasihan teman-teman yang lain. Biar sempat istirahat juga mereka,” katanya arif. “Tapi juga kalau tidak ada halangan. Kan ibu sama bapak belum pulang ke kampung,”
“Oh iya,” Achi sampai melupakan kedua mertuanya yang masih berada di kota ini. “Kapan ibu sama bapak pulang?”
“Abi belum tahu. Besok aja kita tanya,”
Achi menganggukkan kepalanya, setuju dengan jawaban sang suami. “Oia Bi, ada yang mau Achi tanyakan,”
“Hmm??”
“Itu, Achi penasaran. Kenapa maharnya pakai kalung emas segala? Apa nggak terlalu berlebihan?” tanyanya sambil menahan kantuk.
“Hmm. Kamu kan mintanya sesuatu yang berguna di dunia dan akhirat. Seperangkat alat shalat sebenarnya udah mewakili semuanya. Tapi kalau ada keperluan mendesak kan nggak mungkin kita jual, jadi Abi tambahkan dengan kalung emas. Terus kenapa kalung, karena kata ibu, lebih bagus kalung biar rejekinya gak pas-pasan kayak cincin, ya Abi nurut aja. Dijaga baik-baik, itu amanah buat kamu,” ujarnya tersenyum ke arah sang istri. “Udah ngantuk yah? Ya udah, kita istirahat ya,”
“Anak pintar. Oke deh, yuk istirahat,” Achi langsung membaca doa seperti yang biasa dilakukannya, lalu tidur mengarah ke kanan, yang artinya ia membelakangi sang suami yang berada di kirinya.
♥♥♥♥♥
Di sepertiga malam, seperti biasa Achi terjaga dari tidurnya. Ia terjaga dalam posisi menghadap ke kiri, dan betapa terkejutnya ia melihat ada lelaki yang tidur di sampingnya. Mata lelaki itu tepat menatap kearahnya. Senyumnya merekah manis, hampir saja Achi berteriak sangking terkejutnya. Kemudian ia tersadar bahwa lelaki itu adalah suaminya. Ia pun tersenyum padanya.
Malam itu, ia tak lagi menghabiskan sepertiga malam sendiri, melainkan berdua bersama sang suami yang menjadi imam. Mereka shalat berjamaah. Selepas shalat, Arham membuka Al-Qur’an dan membacakan surah Ar-Rum untuk Achi, Achi pun ikut menyimaknya dengan menggunakan Al-Qur’an pemberiannya.
Suara yang tegas, lafal yang jelas, tajwid yang benar, dan nada yang beraturan, membuatnya terharu dan menitikkan air mata. Maka tak henti-hentinya Achi bersyukur atas rizki yang Allah titipkan padanya.
“Jangan nangis dong,” ujar Arham sambil mengelus kepalanya.
“Biarin aja,” katanya manja. Ia sangat menikmati elusan tangan di kepalanya itu.
“Kamu tahu Chi, Abi benar-benar nggak nyangka bakal nikah di usia ini. Pernikahan tidak hanya menyatukan dua hati yang menikah, tetapi juga menyatukan dua keluarga.
Masing-masing dari kita pasti punya perbedaan, tapi yang terpenting bukanlah bagaimana cara menyamakan perbedaan itu, tetapi menyatukan perbedaan itu sendiri, menyelaraskannya. Karena pada dasarnya manusia diciptakan berbeda, dan perbedaan itu indah.
Kita memang sudah kenal selama beberapa minggu ini, tapi masih banyak hal dari diri kamu yang belum Abi ketahui, begitupun kamu, belum banyak tahu tentang Abi. Jadi, kita sama-sama belajar untuk mengenal satu sama lain. Kamu setuju kan?”
“Iya Bi...”
“Abi berharap kita bisa saling melengkapi, saling menutupi kekurangan masing-masing. Istri adalah pakaian suami, begitu juga sebaliknya. Nantinya Abi pasti akan sangat merepotkanmu.
Kita punya hak yang sama, jadi apa yang Achi tidak sukai dari Abi langsung saja dikatakan, begitu juga sebaliknya Abi nanti, kita bisa diskusikan bersama, jangan memendam kesal dan sakit hati.
Terkadang kita tidak bisa menilai diri kita sendiri, bisa saja omongan yang Abi rasa biasa aja ditanggapi lain oleh orang lain. Kelak kamulah orang yang paling sering mendengar omongan Abi. Jadi, kita saling mengoreksi diri yah.”
Achi menganggukkan kepalanya, disekanya air mata yang terus menetes dari matanya. Semoga mereka bisa menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah seperti yang diinginkan semua orang yang hadir di akad nikah mereka. Aamiin....
♥♥♥♥♥