Sebelas

870 Kata
Cinta adalah sesuatu yang menakjubkan Kamu tidak perlu mengambilnya dari seseorang Untuk memberikannya kepada orang lain Kamu selalu memilikinya Lebih dari cukup untuk diberikan kepada orang lain. _Habiburahman El-Shirazy ♥♥♥♥♥ “Tumben pakai celana panjang hari ini?” tanya Arham di sekolah pagi itu. Kebetulan malam kemarin dia tidak menginap di posko, jadilah tidak bisa mengomentari penampilan sang istri sebelum berangkat mengajar. “Iya, roknya pada dilaudry semua, belum diambil.” “Hmm, pantes aja siswa-siswa senang kalau kamu pakai celana,” “Memang kenapa?” tanya Achi aneh. “Tuh, kelihatan seksinya.” Ujar Arham sambil menaikkan alisnya. “Aam ih, ngomong jorok,” ujar Achi sambil mengibaskan tangannya. Kalau sedang berada di sekolah atau di posko, Achi memanggil Arham dengan nama kecilnya. Tidak ingin terjadi kehebohan. “Serius loh Chi. Makanya, besok-besok jangan dipakai lagi ya. Walaupun baju yang kamu pakai cukup panjang, tetap aja, cukup suamimu ini aja yang tahu seperti apa kesek.....” “Stop!!!” Achi memotong ucapan Arham. Wajahnya sudah cukup panas. Arham tertawa melihat tingkah istrinya itu. “Iya deh, iya. Eh, pulang ke Medan kita?” “Maunya Aam?” tanya Achi masih sedikit cemberut sehabis digoda. Dalam hati ia amat bersyukur dipertemukan dengan lelaki seperti Arham, yang selalu memperbaiki setiap kesalahan kecil yang dilakukannya dengan cara yang halus, sampai terkadang dia tidak merasakan bahwa Arham tengah merubahnya secara perlahan. “Am sih terserah kamu aja. Kalau kamu mau pulang, yok kita pulang, kalau enggak juga nggak masalah.” Achi tersenyum menatap sang suami. “Nggak usah aja ya. Lagian tadi malam Mama udah nelepon kok. Papa juga bilang jangan sering-sering pulang, toh sebentar lagi PPL selesai.” “Jadi di posko aja kita? Nggak ada kegiatan gotong royong minggu ini kan?” Achi membuka buku agendanya. Biasanya ia menulis semua jadwal kegiatannya disana. “Iya. Minggu ini nggak gotong-royong. Udah mulai nggak efektif semua kegiatannya. Harus segera dirapatkan. Gimana menurut Abi?” spontan iya menutup mulutnya, ia kelepasan memanggil Arham dengan sebutan Abi. Yang dipanggil hanya tersenyum. “Setuju aja. Tapi nggak mungkin nanti lah rapatnya. Cindy de-ka-ka pulang kampung lagi kan? Fikri harus ubah strategi, mereka makin sering menghindar.” Achi mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka seperti sedang melakoni adegan detektif yang sedang memikirkan cara untuk menjebak musuh saja. “Jadi kita di posko aja besok?” Arham mengulangi pertanyaannya. “Memang mau kemana?” “Terserah kamu aja. Tapi Am mau ngajak kamu belanja.” “Mau belanja apa?” “Peralatan mandi. Udah pada habis semua.” “Itu aja kan?” “Memang kamu nggak mau belanja?” Yang ditanya malah tersenyum saja. Kalau disuruh memilih antara shopping di mall dengan membersihkan rumah, maka Achi lebih memilih untuk membersihkan rumah. Dia tidak terlalu suka belanja di mall. Paling untuk hal-hal tertentu saja dia mau pergi ke mall. Itupun bisa dihitung pakai jari per bulannya berapa kali ia ke mall. Bukan tak banyak mall yang ada di Medan, ya walau tidak sebanyak mall di kota besar lainnya, tapi Medan menyediakan banyak mall dengan berbagai fasilitasnya juga. Tapi tetap saja pengap. Achi tidak terlalu menyukai keramaian. Orang berdesak-desakan mengantri untuk membayar belanjaan mereka, dia suka pusing kalau melihatnya. Belum lagi warna dinding dari toko-toko yang ada bermacam-macam semakin menambah sakit kepalanya. Kalau memang terpaksa ke mall, maka ia akan langsung mencari tujuannya dan segera pulang. “Belum ada yang mau dibelanjain, tapi liat nanti aja deh.” Ujarnya menjawab pertanyaan sang suami. “Selain itu mau kemana lagi?” “Nggak tahu juga. Memang kamu mau jalan-jalan?” Achi berfikir sejenak. Sudah hampir tiga bulan dia di kota ini, tapi belum pernah sekalipun ia berkunjung ke rumah nenek Arham. Apa salahnya kalau minggu ini ia kesana. Bukankah saudara-saudara Arham yang lainnya juga tinggal disekitar sana? Sekaligus silaturrahmi. Ia tersenyum menatap sang suami, “Ke rumah nenek yuk. Achi nggak pernah Am ajak kesana.” Arham kaget mendengar permintaan istrinya. Disini, ia tinggal bersama nenek dan kakeknya, maka ingin sekali ia menunjukkan wajah sang istri pada keluarganya. Mereka memang pernah berjumpa dengan Achi, itupun hanya sebentar, di malam akad nikah mereka. Selama ini ia selalu ditanya kapan ia akan membawa Achi mengunjungi mereka. Tapi ia takut Achi menolak ajakannya. “Kamu serius mau kesana?” “Kok nanyanya kayak gitu. Ada yang salah sama Achi ya?” “Bukan gitu Chi. Jauh banget loh kesana, pedesaan pula.” “Kalau jauh kenapa? Bukannya selama ini setiap harinya suamiku tercinta juga melakukan perjalanan dari sana ke sini? Jadi sebagai istri yang baik dan bijaksana Achi kan juga ingin tahu seperti apa perjalanan yang dilalui suaminya. Ya kaaaaannnnn....” katanya bercanda. Suami tercinta. Hmmm.... Mungkin bagi Achi ucapannya barusan hanyalah alasan agar Arham menuruti keinginannya. Tapi bagi Arham, perkataannya bagai mata air ditengah keruhnya padang pasir dihatinya. Selama ini ia terus bertanya, apakah sang istri mencintainya. Apakah benih-benih cinta itu benar sudah tumbuh. Masa berkenalan mereka teramat singkat, belum lagi intensitas pertemuan mereka hanya sekedar di sekolah saja. Arham tidak terlalu sering menginap di posko karena sang kakek beberapa minggu belakangan ini sering sakit. Sudahlah Am. Mungkin belum waktunya. “Ya udah deh. Besok sehabis belanja kita kerumah nenek ya.” Senyum mengembang diwajah Achi. Akhirnya bisa bertemu keluarga sang suami juga. ♥♥♥♥♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN