Bukan Allah tak tahu betapa sepinya hatimu,
Allah juga tahu kau mampu untuk bertahan dalam ketaatan
Hingga datang seorang manusia
Yang akan membawamu terbang ke pulau impian
♥♥♥♥♥
Arham masih duduk di luar kelas sambil menunggu gilirannya mengajar. Ia pun membuka buku yang kemarin dihadiahkan oleh mentornya. Panduan menjadi suami yang shaleh. Beberapa siswa yang lalu lalang tidak membuatnya terusik dan tetap membaca dengan khusuk.
Hari ini di sekolah ia tak dapat berkumpul dengan Achi. Biasanya di hari ini, jam mengajar Achi begitu padat, dan ia pun juga demikian. Istirahat pertama dihabiskannya di luar kelas, malas beranjak menuju ruang guru, toh waktu istirahat cuma lima belas menit, dan sesudahnya ia kembali masuk di kelas itu, maka ia lebih suka menghabiskan waktu di luar kelas untuk menyegarkan kepalanya yang sudah penat dengan tingkah laku beberapa anak didiknya.
Diambilnya ponselnya dari saku celana. Dipandanginya layar dengan gambar foto pernikahannya dengan Achi beberapa saat, tidak ada yang berubah. Tidak ada notifikasi pesan masuk, begitu juga dengan telepon. Biasanya Achi akan mengirimkan pesan jika ia tak melihatnya di ruang guru. Tapi tidak dengan hari ini.
Ya sudah, nanti saja waktu istirahat ke dua ku tanyakan.
Mereka sudah sebulan menikah dan Arham merasa belum ada sesuatu yang spesial diantara mereka padahal status mereka bukan hanya sekedar teman dekat atau kekasih, melainkan suami istri. Bahkan sekedar berpegangan saja mereka masih canggung. Sentuhan fisik mereka yang paling intens hanya ketika mereka pergi ke kebun teh, ia yang diam-diam mencuri kecupan di pipi sang istri membuat gadis yang dicintainya itu salah tingkah dengan pipi merah merona.
Ahh gadis, benar wanita itu masih lah menjadi gadis, belum menjadi wanita dan istri sesungguhnya. Kesibukan mereka dengan praktek mengajar ditambah tidak memungkinkannya kondisi posko untuk mereka memadu kasih, membuat status mereka masih tetap sebagai perjaka dan perawan.
Sudah dua malam ia kembali tidur di rumah sang nenek, penyakit sang kakek kambuh dan bude beserta suami dan anak-anaknya yang tinggal di dekat rumah sedang berada di Medan, jadilah ia yang diminta untuk menemani sang nenek menjaga kakeknya.
Tadinya Achi sempat memaksa untuk ikut, tapi Arham melarangnya, dia berencana akan pergi kesekolah agak siang sementara Achi memiliki jadwal mengajar pagi, ia takut mereka akan terlambat mengingat jarak antara sekolah dan rumah kakek neneknya memakan waktu cukup lama. Achi ngambek dan mendiamkannya. Telepon tidak dijawab, chat pun tidak mendapat balasan. Frustasi akhirnya ia menelepon sang mama mertua, wanita yang paling memahami tingkah pola istrinya itu.
“Ahaha..... aduh Aam, Achi itu ya begitu itu. Tukang ngambek. Duh, kamu yang sabar ya nak. Tapi besok pasti udah nggak ngambek lagi, biasanya ngambeknya cuma sehari kok, sebentar doang...”
Dan benar saja apa yang dikatakan sang mama mertua, besoknya Achi sudah kembali ceria seperti biasa, seolah melupakan kejadian sebelumnya. Entah memang lupa, entah pula menyimpan di dalam d**a untuk stok ketika mereka tak sengaja bertengkar dan beradu mulut. Malah Arham yang jadi salah tingkah karena belum pernah berhadapan dengan orang seperti itu sebelumnya.
Bel istirahat ke dua ia kembali keruang guru. Matanya berkeliling mencari sosok yang tiba-tiba dirindukannya. Nihil, wanita pujaan hatinya tidak berada diruangan itu. Diletakkannya buku paket kimianya, sejenak melirik ke arah parkiran dan duduk terdiam.
Perasaan sepeda motornya ada diparkiran deh, nggak mungkin dia nggak datang kan.
Seorang siswa masuk keruang guru, mendatangi Rika yang sedang merapihkan buku.
“Bu, Miss Arsy dimana? Dicariin sama Sir Roland.”
“Loh, apa belum dikabari Pak Fikri? Miss Arsy sakit sayang. Bilang sama Sir Rolandnya ya.” Ujar Rika sambil menepuk pundak siswa itu.
Arham yang mendengar ucapan Rika tersentak kaget. Istrinya sakit.
“Sakit apa Achi, Ka?” tanyanya dengan kening berkerut ketika siswa tadi sudah keluar ruangan.
“Kau nggak tahu Ham? Itu lah kan, kau tinggal aja lah pula si Achi di posko, jadi nggak tahu kau kan istrimu sakit.”
“Tapi motornya ada di depan. Lagian dia nggak ada ngabarin aku. Sakit apa dia?” tanya Arham panik.
“Nggak tahu aku.”
Rika sengaja tidak memberitahukan apa sakit yang diderita Achi. Selama ini ia menilai Arham merupakan lelaki yang cuek. Lihat saja sekarang, sudah dari tadi tidak melihat kedatangan sang istri, tapi tidak ada niatnya untuk menghubungi si istri. Masa cuma modal ngeliat motor Achi trus dia beranggapan Achi di sekolah.
Rika tahu bahwa Arham tidak menghubungi Achi, karena berdasarkan pesan yang dikirimkan Viza tadi, Achi masih tidur dengan menggenggam ponselnya.
“Aku ke posko sekarang ya. Siapa disana?”
Rika sukses membuat kepanikan Arham menjadi-jadi.
“Tadi sih dia sama Viza. Tapi Vii udah masuk ngajar, berarti sendiri lah dia dirumah. Coba kau tanya Viza aja.”
Tanpa merespon ucapan Rika, Arham bergegas membereskan buku-bukunya yang ada di atas meja, dan langsung mencari Viza di kelasnya.
♥♥♥♥♥
“Hah? Di kunci dari luar?” tanyanya kaget mengetahui istrinya sendiri di posko dalam keadaan sakit, dan posko dikunci dari luar.
“Ya namanya nggak ada orang lagi di posko. Semua udah berangkat ke sekolah. Kalau nggak ku kunci, terus tiba-tiba ada yang masuk gimana? Masa nggak belajar dari pengalaman hilangnya ponsel Iren kemarin!” repet Viza.
Arham tak memperdulikan lagi Viza yang masih merepet. Diambilnya kunci posko dari tangan gadis itu dan langsung ia bergegas menuju tempat parkir sepeda motor kesayangannya itu. Lima menit, hanya butuh waktu lima menit untuknya sampai di depan posko yang disewa mereka.
Beberapa kali tasnya sempat terjatuh, karena ia terburu-buru ketika hendak memarkirkan sepeda motornya. Ia langsung bergegas menuju kamar Achi yang berada diatas begitu ia sudah masuk kedalam posko setelah sebelumnya menutup pintu kembali.
Dibukanya pintu kamar itu perlahan dan dilihatnya gadisnya itu terbaring lemah dengan kening berkerut.
DEG!!!
Jantung Arham seakan berhenti berdetak. Gadisnya tidak mengenakan kerudung. Keringat tampak membasahi keningnya yang berkerut itu. Perlahan ia mendekat ke arah kasur tempat sang gadis berbaring. Ia duduk tepat disampingnya. Dipandanginya wajah itu, sesekali si pemilik wajah meringis dalam tidurnya.
Arham meraba kening sang gadis, tidak panas. Lalu sakit apa gadisnya ini? Disentuhnya secara perlahan rambut ikal panjang yang sehitam malam yang baru kali itu ia lihat, takut perbuatannya menambah sakit sang gadis.
Dadanya berkecamuk. Kenapa gadisnya tega tidak memberi kabar bahwa dirinya sakit, bukankah mereka sepasang suami istri, mereka sepasang sayap yang siap terbang tinggi, lalu mengapa? Apa ia yang tidak peka, tidak merasakan kesakitan sang istri? Belum bisakah Achi menerimanya sebagai suami? Atau bagaimana? Apa? Banyak pertanyaan yang berteriak meminta jawaban di dalam hatinya, namun ia hanya bisa menggelengkan kepalanya.
♥♥♥♥♥