Cinta akan terasa lebih bermakna
Apabila kita mampu menyatukan dua hati yang berbeda
Laksana pelangi yang memiliki beragam warna
Namun bersinergi dalam nuansa indah
Karena mereka satu jiwa
[]
♥♥♥♥♥
"Ya ampun, gak terasa sebentar lagi kita keluar dari posko yang subhanallah sekali ini yaa," kata Rika sambil merebahkan tubuhnya di kasur bersama mereka.
Achi dan Viza menganggukkan kepala setuju.
"Iya kan Ka. Aku jadi ingat pertama kali kita kesini. Kau jerit-jerit karena kondisi posko yang belum selesai," sambung Viza.
"Iya kan..." ujar Rika membenarkan,
...
“Gila ! ! ! Kayak gini base camp kita?? Kemana pintu kamar mandinya?” teriak Rika.
Dari pertama mereka berkumpul gadis ini adalah orang yang paling histeris.
“Sabar lah Ka . . . kan kita mau cari yang murah, meriah, muntah, jadi ya harus tabah-tabahkan diri lah,” ujar Fikri, ketua terpilih mereka menenangkan.
“Bukan gitu Fik. Lihat lah situasinya. Lampu belum siap dipasang, semua-semua belum siap, ini namanya rumah belum siap bukan rumah baru siap, Ndre!” bentaknya pada Andre sang pencari rumah sedikit paranoid.
“Sabar loh Ka . . . itu kan lagi dipasang pintunya,”
Achi mencoba menenangkannya lagi. “Paling ntar magrib selesai,”
“Si Arham mana?” tanya Andre yang tak memperdulikan Rika yang mendapat shock terapi.
“Nggak tahu ni Ndre . . . Tadi aku hubungi ponselnya nggak nyambung. Segan kali lah aku sama dia, kemaren dia nanya-nanya ke aku, sekarang udah nggak nampak aja anaknya,” ujar Liya.
“Jadi sampe tadi juga masih belum bisa dihubungi si Arham, Ya?”
“Iya, Ndre. Matipun ponselnya. Gimana mau ngubungin coba!”
“Ya udah lah, doakan aja nggak kenapa-kenapa sama dia,” ujar Harphy santai.
Tak hanya Rika yang shock melihat kondisi posko atau yang nama bekennya base camp ini.
Coba saja bayangkan, walaupun dengan dua lantai dan terhitung murah, sampai sekarang rumah ini masih belum memiliki listrik, pompa air –karena kebetulan tidak menggunakan jasa PDAM, dan yang lebih gawatnya lagi dan membuat Rika histeris adalah pintu kamar mandi yang belum terpasang serta beberapa kaca jendela ikut-ikutan tidak terpasang pada tempatnya.
Apa jadinya tinggal disini untuk waktu tiga bulan??
Sambil menunggu pemasangan segala hal tersebut diatas, mereka pun bekerja untuk membersihkan bagian rumah.
Achi melihat langit - langit rumah, ada sawang dimana - mana, mungkin kalau bisa di makan, bakalan jadi gulali sawang - sawang ini. Teman - temannya yang lain benar - benar merasa no problem dengan sawang - sawang itu, buktinya tak ada satupun dari mereka yang bergerak untuk membersihkannya, mereka hanya menyapu dan mengepel lantai saja, padahal ada baiknya kalau sekalian di buang, jadi tidak meninggalkan kotoran lagi.
Lihat sekarang, mereka sudah selesai menyapu dan mengepel, lalu dengan inisiatif sendiri, Achi mengambil sapu dan menyapu sawang - sawang yang tampak menambah minus matanya, dan . . . . yeah, mereka semua ngedumel, karena apa, karena lantai jadi jorok lagi.
Achi hanya tertawa melihat hal itu.
♥ ♥ ♥ ♥ ♥
Praktek mengajar itu beranggotakan tujuh belas orang. Menyatukan tujuh belas kepala dalam satu rumah ternyata memang tidak mudah.
Si ketua, Fikri Hadayathana, merupakan lelaki urakan yang apa adanya. Calon guru olahraga ini gaya bicaranya terkesan kasar dan terkadang membuat beberapa di antara mereka tersinggung, padahal baru dua hari berkumpul.
Kemudian Putri, teman sesama calon guru Bahasa Inggris Achi. Lengkapnya Putri Meilany. Dia didaulat menjadi sekretaris, Achi berfikir entah akan seperti apa nantinya mereka, karena dia sudah sedikit paham sepak terjang Putri di kampus.
Lalu dirinya sendiri di daulat untuk menjadi bendahara, dari zaman SD sampe dengan zaman penjajahan bangsa sendiri di kampus, selalu saja ia di daulat menjadi bendahara, sang rentenir sejati begitu Bayu mengejek adiknya ini.
Ada Rika yang nama lengkapnya Rika Septiany dan Nurviza si polos calon guru Fisika, si mentel Cindy Febrina Situmorang dan si mungil Lusi Fitria Saragih calon guru Biologi, si sensitif Beby Yolanda dan si imut Iren Priscilla calon guru Geografi, si cool Raisa Indri Tarigan dari jurusan Bimbingan Konseling, lalu Astrid Sitepu si calon guru matematika yang pemalu, si cerdas Liya Syahfitri dari jurusan Bahasa Indonesia, serta si cantik Mitha Mutiara Hasibuan dari jurusan sejarah; lalu para kaum pria, Arham Firdaus yang cool, calm, confident si calon guru Kimia, kemudian Andrea Hutajulu yang terkesan pengatur dan sedikit berjiwa pemimpin si calon guru Olahraga, Harphy Pahlawan yang terlihat dewasa dan bijaksana dari jurusan Ekonomi, serta Juandra Girsang si korea dari jurusan sejarah.
Sejauh ini belum ada terlihat percekcokan diantara mereka, paling ada ya peristiwa malam pertama. Rika habis-habisan memarahi Fikri karena dia belum melapor kepada lurah bahwa mereka akan tinggal disana.
Belum lagi Beby yang super sensitif, langsung terdiam begitu mendengarkan Fikri berceloteh. Mungkin tiga bulan disana akan benar - benar menguras emosi dan butuh perjuangan penuh bagi mereka. Semoga Allah selalu memberikan perlindungannya.
♥ ♥ ♥ ♥ ♥
“Tumben pakai celana panjang hari ini?” tanya Arham di sekolah pagi itu.
Kebetulan malam kemarin dia tidak menginap di posko, jadilah tidak bisa mengomentari penampilan sang istri sebelum berangkat mengajar.
“Iya, roknya pada dilaudry semua, belum diambil.”
“Hmm, pantes aja siswa-siswa senang kalau kamu pakai celana,”
“Memang kenapa?” tanya Achi aneh.
“Tuh, kelihatan seksinya.” Ujar Arham sambil menaikkan alisnya.
“Aam ih, ngomong jorok,” ujar Achi sambil mengibaskan tangannya.
Kalau sedang berada di sekolah atau di posko, Achi memanggil Arham dengan nama kecilnya. Tidak ingin terjadi kehebohan.
“Serius loh Chi. Makanya, besok-besok jangan dipakai lagi ya. Walaupun baju yang kamu pakai cukup panjang, tetap aja, cukup suamimu ini aja yang tahu seperti apa kesek.....”
“Stop!!!” Achi memotong ucapan Arham. Wajahnya sudah cukup panas.
Arham tertawa melihat tingkah istrinya itu.
“Iya deh, iya. Eh, pulang ke Medan kita?”
“Maunya Aam?” tanya Achi masih sedikit cemberut sehabis digoda.
Dalam hati ia amat bersyukur dipertemukan dengan lelaki seperti Arham, yang selalu memperbaiki setiap kesalahan kecil yang dilakukannya dengan cara yang halus, sampai terkadang dia tidak merasakan bahwa Arham tengah merubahnya secara perlahan.
“Am sih terserah kamu aja. Kalau kamu mau pulang, yok kita pulang, kalau enggak juga nggak masalah.”
Achi tersenyum menatap sang suami. “Nggak usah aja ya. Lagian tadi malam Mama udah nelepon kok. Papa juga bilang jangan sering-sering pulang, toh sebentar lagi PPL selesai.”
“Jadi di posko aja kita? Nggak ada kegiatan gotong royong minggu ini kan?”
Achi membuka buku agendanya. Biasanya ia menulis semua jadwal kegiatannya disana.
“Iya. Minggu ini nggak gotong-royong. Udah mulai nggak efektif semua kegiatannya. Harus segera dirapatkan. Gimana menurut Abi?” spontan iya menutup mulutnya, ia kelepasan memanggil Arham dengan sebutan Abi.
Yang dipanggil hanya tersenyum.
“Setuju aja. Tapi nggak mungkin nanti lah rapatnya. Cindy de-ka-ka pulang kampung lagi kan? Fikri harus ubah strategi, mereka makin sering menghindar.”
Achi mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka seperti sedang melakoni adegan detektif yang sedang memikirkan cara untuk menjebak musuh saja.
“Jadi kita di posko aja besok?” Arham mengulangi pertanyaannya.
“Memang mau kemana?”
“Terserah kamu aja. Tapi Am mau ngajak kamu belanja.”
“Mau belanja apa?”
“Peralatan mandi. Udah pada habis semua.”
“Itu aja kan?”
“Memang kamu nggak mau belanja?”
Yang ditanya malah tersenyum saja. Kalau disuruh memilih antara shopping di mall dengan membersihkan rumah, maka Achi lebih memilih untuk membersihkan rumah. Dia tidak terlalu suka belanja di mall. Paling untuk hal-hal tertentu saja dia mau pergi ke mall. Itupun bisa dihitung pakai jari per bulannya berapa kali ia ke mall.
Bukan tak banyak mall yang ada di Medan, ya walau tidak sebanyak mall di kota besar lainnya, tapi Medan menyediakan banyak mall dengan berbagai fasilitasnya juga. Tapi tetap saja pengap. Achi tidak terlalu menyukai keramaian. Orang berdesak-desakan mengantri untuk membayar belanjaan mereka, dia suka pusing kalau melihatnya. Belum lagi warna dinding dari toko-toko yang ada bermacam-macam semakin menambah sakit kepalanya. Kalau memang terpaksa ke mall, maka ia akan langsung mencari tujuannya dan segera pulang.
“Belum ada yang mau dibelanjain, tapi liat nanti aja deh.” Ujarnya menjawab pertanyaan sang suami.
“Selain itu mau kemana lagi?”
“Nggak tahu juga. Memang kamu mau jalan-jalan?”
Achi berfikir sejenak. Sudah hampir tiga bulan dia di kota ini, tapi belum pernah sekalipun ia berkunjung ke rumah nenek Arham. Apa salahnya kalau minggu ini ia kesana. Bukankah saudara-saudara Arham yang lainnya juga tinggal disekitar sana? Sekaligus silaturrahmi.
Ia tersenyum menatap sang suami, “Ke rumah nenek yuk. Achi nggak pernah Am ajak kesana.”
Arham kaget mendengar permintaan istrinya. Disini, ia tinggal bersama nenek dan kakeknya, maka ingin sekali ia menunjukkan wajah sang istri pada keluarganya. Mereka memang pernah berjumpa dengan Achi, itupun hanya sebentar, di malam akad nikah mereka. Selama ini ia selalu ditanya kapan ia akan membawa Achi mengunjungi mereka. Tapi ia takut Achi menolak ajakannya.
“Kamu serius mau kesana?”
“Kok nanyanya kayak gitu. Ada yang salah sama Achi ya?”
“Bukan gitu Chi. Jauh banget loh kesana, pedesaan pula.”
“Kalau jauh kenapa? Bukannya selama ini setiap harinya suamiku tercinta juga melakukan perjalanan dari sana ke sini? Jadi sebagai istri yang baik dan bijaksana Achi kan juga ingin tahu seperti apa perjalanan yang dilalui suaminya. Ya kaaaaannnnn....” katanya bercanda.
Suami tercinta. Hmmm....
Mungkin bagi Achi ucapannya barusan hanyalah alasan agar Arham menuruti keinginannya. Tapi bagi Arham, perkataannya bagai mata air ditengah keruhnya padang pasir dihatinya. Selama ini ia terus bertanya, apakah sang istri mencintainya. Apakah benih-benih cinta itu benar sudah tumbuh.
Masa berkenalan mereka teramat singkat, belum lagi intensitas pertemuan mereka hanya sekedar di sekolah saja. Arham tidak terlalu sering menginap di posko karena sang kakek beberapa minggu belakangan ini sering sakit.
Sudahlah Am. Mungkin belum waktunya.
“Ya udah deh. Besok sehabis belanja kita kerumah nenek ya.”
Senyum mengembang diwajah Achi. Akhirnya bisa bertemu keluarga sang suami juga.
♥♥♥♥♥