Mau seperti apa pun kondisinya,
Mau sejauh apa pun jaraknya,
Kalau memang jodoh ya pasti bertemu
♥♥♥♥♥
“Hari ini jalan-jalan yok,” usul Juan saat mereka berkumpul di ruang guru, siang itu.
“Boleh, bosan juga di posko terus. Kemana enaknya?” sambut Raisa.
“Kebun teh, gimana?”
Usul Iren disambut dengan gembira oleh teman-teman yang lain. Tidak banyak yang berkumpul siang itu, hanya Achi, Juan, Iren, Raisa, Rika, Viza dan Liya. Bahkan Arham pun tidak ada. Mereka masih berada di kelas masing-masing.
Berhubung hari ini Jum’at, maka mereka memutuskan untuk berangkat sehabis shalat Jum’at. Hal ini akan dirembukkan terlebih dahulu dengan teman-teman yang lain, agar tidak ada lagi yang merasa iri karena tidak diajak.
Beberapa waktu yang lalu sempat ada insiden yang menegangkan. Cindy, Putri, Beby, dan Astrid pergi ke pantai bersama beberapa siswa tanpa mengajak serta mereka. Betapa marahnya Raisa dan Iren mengetahui hal itu, karena Astrid berada di kamar yang sama dengan mereka, jadi apa salahnya kalau mereka diajak serta juga. Sejak insiden itu, Astrid pindah kamar ke kamar Cindy, Putri, dan Beby.
Tidak ingin kejadian itu terulang lagi, maka kali ini mereka berniat untuk merembukkannya dengan yang lain terlebih dahulu.
♥♥♥♥♥
“Mau naik apa rupanya?” tanya Arham saat mereka memberitahukan rencananya.
“Kalo ikut semua, nyewa angkutan umum kita,” jawab Juan.
“Nggak ada lagi yang lebih buruk dari angkot?”
“Kok gitu kau ngomongnya, Cin?” balas Juan tak kalah sinis. “Udah banyak kali rupanya duitmu, makanya nggak mau kau naik angkot?”
“Udah lah, nggak usah ditanggapi, sayang,” bujuk Iren.
“Kami nggak ikut,” putus Cindy yang sebenarnya kurang disetujui beberapa teman sekamarnya.
“Nanti sakit hati,” celetuk Fikri.
“Nggak usah nyindir, Fik,” bentak Beby.
“Duh, kok jadi ribut sih? Kan kami ngajukan usulnya baik-baik, tanggapi baik-baik juga lah,” ujar Liya melerai adegan saling balas kata itu.
“Ya udah, kami nggak ikut. Lagian aku ada bimbingan belajar sama siswa hari ini. Kalo kalian mau pigi, ya udah pigi lah,”
“Sejak kapan bimbel mu berubah jadi hari Jum’at, As?” tanya Harphy
“Sejak hari ini. Tadi udah ku bilang sama siswaku.”
“Udah kan? Cuma mau ngomongin ini aja kan? Udah bisa bubar kan ya,” ujar Cindy yang tanpa persetujuan mereka langsung melangkah menuju kamarnya diatas, diikuti teman sekamarnya yang lain.
“Sempit kali yang punya otak itu,” ujar Juan kasar. “Jadi berapa orang yang ikut?”
Setelah dihitung bersama, ada sepuluh orang yang akan ikut pergi. Sisanya, Cindy dan ketiga temannya yang tidak ingin ikut, lalu Harphy yang kebetulan ada latihan di gerejanya, kemudian Andre dan Lusi yang memang tidak hadir sejak di sekolah. Mereka memutuskan untuk tetap berangkat selepas shalat Jum’at dengan mengendarai sepeda motor saja. Berhubung motor yang ada juga mencukupi, maka tidak ada alasan untuk mereka berangkat dengan menggunakan kendaraan lain.
♥♥♥♥♥
Sepulang Arham dan Fikri untuk menunaikan kewajiban Jum’atnya, mereka segera bergegas untuk berangkat, agar tak terlalu malam pulangnya. Achi duduk diboncengan sang suami, Arham Firdaus. Kemudian Fikri membonceng Liya, lalu Viza bersama Rika, Raisa bersama Mitha, dan tentu saja Iren bersama Juandra.
Ini kali pertama Achi duduk diboncengan lelaki lain selain kedua kakak lelakinya. Selama ini ia selalu menjaga hijab antara dirinya dan teman lelaki lainnya. Walau ia terkadang masih mau bersalaman dengan mereka selama tidak ada getaran di dalam hatinya, tapi untuk duduk berboncengan berdua, ia masih membatasi dirinya. Tak ada yang spesial sampai mereka mulai memasuki kawasan perkebunan teh yang bersuhu sangat rendah.
“Dingin?” tanya Arham.
“Banget,”
“Tangannya masukin ke kantong jaket Abi aja,” tawarnya.
Dengan perasaan yang mendadak tak karuan, Achi mencoba memasukkan kedua tangannya kedalam kantong jaket milik Arham. Tentu saja posisi mereka seperti orang yang sedang berangkulan. Belum lagi Achi jadi harus duduk sedikit lebih maju, agar pergelangan tangannya bisa masuk lebih dalam dan tertutupi.
Terdengar siulan teman-temannya yang melihat apa yang ia lakukan. Iapun hanya tertunduk menahan panasnya wajah.
“Hush, nggak boleh iri ngeliat orang mesra-mesraan,” canda Arham yang menambah riuhnya tawa teman-temannya.
“Abi,” keluh Achi sambil memukul pelan punggungnya, Arham hanya tetawa mengetahui sang istri salah tingkah.
“Duh yang manten baru,” ledek Viza.
“Santai aja Inur, makanya buruan nikah.”
Achi kembali memukul punggungnya. “Abi, jangan gitu ah. Ntar heboh tuh Viza.”
Arham tertawa sambil mengelus kepalanya yang tertutup helm. “Iya deh iya. Apa kata kamu aja lah.”
♥♥♥♥♥
Arham tak bosan-bosannya memandang wajah manis sang istri yang tertawa lepas tanpa beban. Suasana kebun teh yang dingin dan pemandangan yang indah membuat hatinya haru. Umur dua puluh dua tahun sudah memiliki istri, pasti orang-orang dikampung heboh kalau mendengar berita ini. Terserahlah, yang penting ia merasa bahagia menjalani hidupnya sekarang.
Gadis manis itu sibuk berfoto ria dengan teman-temannya. Mulai dari tangan dipinggang, sedikit menunduk, berbaris seperti tangga, sampai memetik pucuk teh dan menggigitnya. Teman-temannya sempat heboh karena menyuruh mereka berfoto bersama. Tapi Achi memang sedikit pemalu, ia menggeleng begitu disuruh untuk berfoto bersama. Kemana gadis yang tadi heboh berfoto dengan berbagai gaya itu ya?
“Chi, sini,” panggil Arham pada sang istri yang sedang memperhatikan teman-temannya berfoto. Ia sudah kelelahan.
“Foto yuk, masa udah sampai sini nggak buat dokumentasi,” ujarnya sambil mengambil kamera digital yang disimpannya didalam kantong.
Ditariknya lengan sang istri untuk menjauh dari teman-temannya. Mereka berjalan menuju perkebunan yang letaknya diatas.
“Lihat Bi, lebih cantik di sini deh. Itu pohon cemaranya kelihatan,” sorak Achi yang disambut senyum mesra Arham.
Tak ada hal lain yang lebih membahagiakan selain melihat seseorang yang mulai menempati ruang dihidupnya itu merasa bahagia. Merekapun mengambil posisi untuk foto berdua.
“Sekali lagi. Satu, dua, .....” Arham mengecup pipi sang istri.
“Cantik, ntar kita cuci ya, letak di dompet masing-masing,” komentarnya melihat hasil jepretannya itu.
Achi terdiam, masih speechless. Arham tersenyum menatapnya dan mengelus kepala wanita yang sudah menjadi istrinya selama dua minggu itu.
“Kenapa Chi?” tanyanya datar.
Ia bukan seseorang yang romantis. Terlahir sebagai anak pertama dengan kondisi keluarga yang pas-pasan membuat dirinya ditempa menjadi seorang lelaki yang mandiri. Ia menjadi patokan arah bagi keluarganya. Ia dididik secara disiplin dan penuh kasih sayang agar bisa menjadi seorang pemimpin yang baik.
Bapaknya seorang pensiunan perkebunan kelapa sawit, ya walau sekarang mereka sudah memiliki beberapa bidang tanah yang diisi dengan sawit milik sendiri. Lalu ibunya, di rumah ia membuka warung untuk membantu perekonomian keluarga mereka. Ibunya bukan wanita yang bisa diam saja di rumah melihat sang suami banting tulang bekerja untuk menghidupi keluarga, maka sejak Arham kuliah, ibunya pun membuka warung di depan rumah mereka. Walau begitupun, ibunya tetap memanjakan dia dan adiknya.
Untuk urusan rumah tangga barunya, kali ini ia benar-benar berusaha untuk menjadi kekasih yang baik, tidak seperti yang pernah dilakukannya dengan mantan-mantannya terdahulu. Namun kaku tetap saja kaku.
Wajah Achi merona merah. Untuk memanggil Arham dengan sebutan Abi saja terkadang ia masih kikuk, dan ini, sang suami mengabadikan fotonya yang sedang mengecup pipinya. Dadanya berdesir ngilu, namun terasa hangat. Seperti coklat hangat yang mengisi perutnya ketika ia lapar. Selama dua minggu pernikahan mereka, belum pernah sekalipun Arham berlaku mesra terhadapnya, bahkan mengungkapkan perasaannya pun belum. Tapi hari ini, dia mengecup pipinya.
Arham bingung melihat istrinya yang terdiam sambil menundukkan wajahnya. Apakah ia telah menyinggung hati wanitanya itu? Gadis itu telah banyak mencuri hatinya, ia tidak ingin menyakiti hati sang pencuri hatinya itu.
“Chi, kamu marah ya?” tanyanya salah tingkah.
Achi hanya menggelengkan kepalanya. Ia bingung harus berkata apa. Malu. Iya, dia malu. Tapi apa yang harus dipermasalahkannya. Mereka telah sah menurut hukum dan agama. Semua yang mereka lakukan adalah ibadah. Dadanya berkecamuk.
Coba kau fikirkan, Bi. Dua minggu ini kau mengacaukan hampir semua susunan emosi yang sudah ku tata dengan rapi didalam hati dan otakku. Tiba-tiba melamarku, tiba-tiba juga kemarin kau mengelus kepalaku di depan teman-teman. Dan yang lebih parah kau juga mengajakku untuk duduk diboncenganmu sepulang mengajar, tanpa pemberitahuan sebelumnya, semua serba tiba-tiba.
Kau tahu, siswa-siswaku mulai bergosip ketika melihat kita berboncengan. Jawaban apa yang harus ku beri pada mereka kalau mereka bertanya kita punya hubungan apa. Kalau ku jawab kita ini suami istri, pasti tidak hanya satu sekolah yang heboh, bisa-bisa wajahku masuk dikoran besok pagi. Aku mau menjawab kalau kau kekasihku, tapi takut perasaanku bertepuk sebelah tangan. Kau kan belum pernah mengungkapkan perasaanmu padaku, Bi. Masa harus aku yang lebih dulu mengungkapkan perasaanku??
Achi memandang sang suami yang semakin salah tingkah melihat sikap diamnya.
Kau tahu Bi, aku menjadi uring-uringan ketika kau tidak memberi kabar padaku, atau hanya karena kau terlambat memberi kabar. Hmm, mungkin benar kata teman-teman, aku yang terlalu posesif. Tapi Rika setuju ketika aku bilang kadar cuekmu berlebihan, Bi.
Ah Bi, mengertilah sedikit, kau benar-benar merusak sistem kerja otak dan saraf pusatku...
Rika yang melihat mereka berdua hanya terdiam saling tatap, berteriak
“Hoy manten baru. Melarikan diri kalian ya,”
“Wah, disini cantik. Ayo foto lagi,” ujar Liya tak memperdulikan dua insan yang saling membisu itu.
Achi tersadar, ia tersenyum melihat suaminya, “Nggak kenapa-kenapa kok Bi. Achi nggak marah kok,”
“Jadi tadi kok diam?” tanya Arham heran.
“Rahasia. Udah ah, foto lagi kita? Minta fotoin mereka aja yuk, biar bagus. Abi amatir, nggak pande ngambil foto,” ujarnya mengejek sang suami.
Yang diejek pun menggeleng-gelengkan kepalanya.
Kehidupan, desahnya.
♥♥♥♥♥