Empatbelas
1986 Kata
Jika saatnya tiba,
Sedih akan menjadi tawa
Perih akan menjadi cerita,
Kenangan akan menjadi guru
Rindu akan menjadi temu
Kau dan aku akan menjadi kita.
__Fiersa Besari
♥♥♥♥♥
Arham menggaruk kepalanya yang tidak gatal, baru kemarin rasanya ia bermesraan dan mengucap janji pada wanita pujaan hatinya, tapi malam ini kembali mereka berselisih paham. Ia yang menginap dirumah sang nenek mau tak mau harus bersabar karena Achi sama sekali tidak mau mengangkat telepon darinya.
“Ahhh kehidupan, tak pernah pasti, karena yang pasti adalah ketidak pastian...” desah Arham sambil membuka kontak telepon di HPnya.
“Assalamu’alaikum, hallo Ka...”
“Wa’alaikum salam, tumben banget Am nelepon ke aku. Kok nggak langsung ke Achi?”
Arham tertawa, “Kalo teleponnya diangkat ya aku nggak nelepon dirimu Ka. Ngapain juga nelepon dirimu.”
“Kurang asem! Jadi mau apa nih?”
“Teleponnya kasih ke Achi dong, Ka.”
“Baiklah,” jawab Rika datar. “Chi, nah, telepon dari lelaki yang katanya sangat kau cintai di jagad raya ini,” terdengar teriakan Rika. Arham tersenyum sendiri mendengarnya.
“Ehm...” Achi hanya berdeham untuk memberitahu bahwa ia sudah didepan ponsel.
“Assalamu’alaikum sayang...”
“Ya, wa’alaikum salam...”
“Ketus banget jawabnya. Lagi marah ya sama Abi?”
“Mikir aja sendiri.”
Arham mendesah. “Chi, kamu tahu, baru tadi sore Abi liat senyum kamu sebelum pulang ke rumah nenek, tapi sekarang Abi udah kangen. Iya, Abi minta maaf karena telat ngabarin kamu, tadi gitu sampe rumah, Abi langsung bersih-bersih, trus azan deh. Kakek ngedrop lagi tadi, jadi nemenin kakek sampe bude datang.”
“Kakek sakit lagi?” perhatian Achi sedikit teralihkan.
“Iya, tapi udah mendingan kok ini.”
“Alhamdulillah....”
“Kamu masih marah?”
“Abi, udah berapa kali coba Chi bilang, Abi itu kalo sampe rumah seenggaknya SMS, jadi Achi tahu kalo Abi itu udah sampe, jadi Achi nggak khawatir. Katanya Abi mau belajar, tapi mana? Kadang Achi ngerasa Abi nggak pernah ingat Chi, nggak pernah ingat apa yang Chi bilang. Apa Achi ini dianggap angin lalu? Iya? Tersiksa banget Bi kalo nggak dapat kabar dari Abi, rasanya uring-uringan mulu, tahu!!” repet Achi.
Arham menarik nafas panjang.
“Chi, coba kamu keluar, bulannya cantik tapi tetap nggak secantik kamu, nggak bisa ngalahin senyum manis kamu. Chi, selama kita masih dinaungi langit yang sama, selama kita masih disinari matahari yang sama, selama kita masih ngeliat bulan yang sama dimalam hari, selama itu Abi selalu ingat kamu dimanapun Abi berada, selalu kebayang wajah kamu, hidung pesek kamu, senyum indah kamu, rengut manja kamu kalau lagi ngambek, jadi kamu nggak usah khawatir Abi nggak ingat kamu, kamu udah nempel banget di kepala Abi. Jarang-jarang loh Abi ingatannya tajam, kamu kan tahu Abi pelupa.”
“Huh, mbela diri deh dia. Itu belajar ngegombal dari mana?”
Yang ditanya tertawa senang, bujukannya berhasil.
“Sayang, disamping kamu Abi belajar lebih banyak, belajar gimana caranya untuk buat kamu selalu bahagia, belajar untuk menjadi lebih peka terhadap kamu. Jadi, sayang Abi, cinta Abi, semua perasaan Abi udah kamu borong abis, udah sold out kalo bahasa kampungnya.”
Gantian Achi tertawa mendengar guyonan suaminya. Hilang sudah kemarahan yang tadi membuncah dihatinya karena sang suami terlambat memberi kabar lagi.
“Ya udah, nggak usah ngegombal lagi, panas nih muka Achi. Udah makan malam kan Abi?”
“Udah sayang. Duh, bungaku akhirnya merekah juga. Akhirnya bisa ketawa juga, bahagianya....” rayu Arham lagi.
“Abi aaahhh... jangan ngeledek dong...”
“Iya, iya... Kamu istirahat sekarang yah. Udah shalat isya kan?”
“Hehe... belum...” jawab Achi terkekeh.
“Ohooooo..... jam segini belum isya? Udah mau tidur aja? Mau tidurnya dikelonin setan? Sana buruan shalat..”
“Iyaaa... gantian deh direpetin suami.....” teriaknya.
“Nakal kamu ih. Buruan shalat ya sayang, Abi juga capek banget nih, Abi langsung istirahat nggak apa-apa kan?”
“Iya Bi, nggak apa-apa kok. Ya udah, Achi shalat dulu yah. Assalamu’alaikum...”
“Wa’alaikum salam kekasih ku...”
Arham menutup telepon. Terimakasih ya Rabb, Engkau titipkan wanita yang luar biasa untuk menjadi pendamping hidupku...
♥♥♥♥♥
“Duh yang baru digombali suami...” ledek Rika saat Achi mengembalikan ponselnya.
Wajah Achi kembali bersemu merah. “Ika ih, jangan ngeledek dong....”
“Abis tumben-tumbenan si Arham ngegombal. Dia itu keterlaluan, cueknya itu luar biasa kadarnya. Kesal sendiri terkadang aku ngeliatnya.”
“Kok Ika yang kesal ya? Ya memang Arham lumayan cuek sih, agak bossy juga, wajarlah karena anak pertama, adiknya juga laki-laki. Tapi sejauh yang Achi liat, diluar sifat cueknya itu Arham suami yang baik kok Ka.”
“Mungkin karena kalian belum tinggal bareng kali ya, Chi makanya kesannya jadi jauh, trus agak-agak asing gitu.”
“Mungkin juga lah Ka. Makasih buat ponselnya ya, Achi mau shalat dulu.”
“Shalat sekarang kali Chi, dulu kan udah pernah,” celetuk Viza yang disambut tawa mereka bertiga.
♥♥♥♥♥
Memasuki minggu terakhir praktek pengalaman lapangan, mereka mulai disibukkan dengan tugas menyelesaikan laporan kegiatan yang sudah dilakukan selama dua belas minggu kemarin. Banyak yang sudah dilalui, susah, senang, derai tawa, air mata, semua sudah dirasakan. Belum lagi persiapan perpisahan dengan para siswa dan guru, lalu mempersiapkan cendramata untuk sekolah dan juga hadiah sebagai ucapan terimakasih untuk para guru pamong.
Arham dan Achi memutuskan untuk mencari hadiah untuk guru pamong mereka sepulang sekolah ini. Mereka saling bertukar komentar. Berjalan bersisihan dari satu toko ke toko lain untuk mencari hadiah. Setelah mendapatkan hadiah yang cocok, mereka singgah untuk menyantap makan sore, kebetulan mereka belum sempat menyantap makan siang, terpaksalah pindah jadwal jadi makan sore.
“Tadi malam Mas Dimas nelepon, katanya undangan udah siap di cetak. Abi udah ngirim biaya untuk itu ya? Kok Achi nggak tahu?”
Arham tertawa, “Urusan laki-laki, kamu terima beres aja.”
“Uh, lagunya si Abi. Jadi udah pasti tuh pestanya tanggal enam belas Desember?”
Arham menganggukkan kepalanya,
“Kan kita selesai sekitar tanggal delapan paling lama kan, jadi biar hutang cepat lunasnya loh Chi. Ibu sama bapak juga setuju, katanya selesai itu kamu mau dibawa ke kampung.”
“Loh, dikampung mau buat acara juga?”
“Ya enggak, cuma syukuran kecil-kecilan aja. Kan tetangga disana nggak diundang semua, jadi cuma ngabarin sekedarnya aja. Trus, Mas Dimas ada ngomong apa lagi?”
“Undangan udah, trus ya dekorasi-dekorasinya lah, jadinya kan dirumah aja. Achi sih males yang ribet-ribet, jadi serahin sama mereka aja. Gimana menurut Abi? Apa ada yang mau ditambahin?”
“Sama kayak kamu, Abi juga males yang ribet-ribet, jadi ikut aja lah. Soal biaya cukup kan?”
“Itu dia yang Achi mau omongin,”
“Apa tuh?”
“Apa nggak terlalu berlebih semuanya Bi? Ya memang soal dekorasi dan makanan Mama yang biayai, itu juga karena Mama yang ngotot, kalo enggak..” Achi mengangkat kedua bahunya.
“Istriku yang manis, itukan memang tanggungjawab Abi sebagai suamimu loh. Lagian semuanya memang udah Abi persiapkan, bahkan sejak SMA dulu. Alhamdulillah semuanya cukup, syukurnya ibu sama bapak juga bukan tipe orangtua yang maunya anaknya ngasih ke mereka dulu, jadi Abi bisa nabung. Toh juga itu bukan murni uang Abi, uang kamu juga disana kan?”
“Iya sih, tapi coba Abi hitung, mulai dari persiapan akad kemarin, sampe dengan ini. Abi juga belum masuk kerja lagi kan, cuti tiga bulan nggak berarti Abi ngabisin yang udah dihasilin selama ini dong.”
“Duh, istriku udah mulai jadi sekretaris dan bendahara pribadi nih. Kita ini kebalik ya, biasanya istri yang boros banget, ini malah Abi yang boros, yang hobby belanja,” Arham tertawa lagi.
“Memang tugasnya istri ngatur keuangan, Bi. Oh iya, Mama juga udah nyiapin rumah yang di komplek itu. Katanya ntar kita tinggal pindah aja. Achi sih sempat protes, kan maunya Chi yang pilih-pilih, tapi kata Mama biar nggak ribet Mama aja yang atur. Kesel sih...”
Arham hanya terdiam, bukan masalah perabotan dan perlengkapan lainnya yang ada dirumah itu yang membuat dia terdiam, tapi diberikan rumah itu yang menjadi fikirannya. Kemarin dengan terpaksa ia menerima pemberian mertuanya itu, padahal didalam hatinya ia merasa sedikit tertekan. Berani menikahi seorang gadis, tapi tidak mampu untuk membelikan sebuah rumah. Apa masih ibadah yang dilakukannya?
“Abi kenapa diam?”
“Abi aja belum bisa ngebiayain kamu. Beraninya nikahin kamu, tapi tinggal masih dirumah pemberian mertua.”
“Soal rumah pemberian Mama dan Papa itu nggak usah Abi fikirin, Mas Dimas dan Mas Bayu juga udah disiapin sama Mama rumahnya. Kebetulan aja kita yang menikah lebih dulu. Udah Abi tenang aja yah.
Hmm... ngebiayaain Achi ya, kalo itu Abi tenang aja, ntar kalo dah pulang ke Medan, udah tinggal dirumah sendiri, Abi siap-siap aja Achi tumpurin.” ujar Achi sambil tertawa.
Arham mengoyang-goyangkan jari telunjuknya, “Oo, tidak bisa, kalo itu harus hemat..”
“Hahaha... batal numpurin suami lah ceritanya..”
“Kamu ntar yang Abi tumpurin...” ujar Arham sambil memberikan tanda kutip pada kalimatnya dengan menggunakan jarinya.
“Gimana caranya Abi numpurin Achi?”
“Rahasia dong,” Arham mengerlingkan sebelah matanya.
♥♥♥♥♥
“Jadi laporan udah siap semua kan?” tanya Fikri malam itu.
“Udah. Tanda tangan juga udah terkumpul semua. Besok udah bisa lah kita buat perpisahan yang di posko, toh yang disekolah udah selesai kemarin walau banyak kurangnya,” ujar Liya.
Rika yang paham maksud Liya langsung menyabarkan temannya itu.
“Ya udah lah Aya, masalah kurang nggak usah dibahas lagi, toh udah selesai kan. Syukuri aja lah yang udah kita buat, yang penting kita udah all out untuk acara itu. Masalah yang tahunya cuma senang-senang itu ya biarin aja lah,”
“Udah, jangan sampe perang dunia lagi di posko ini.” Harphy menengahi.
“Iya. Jadi acara apa yang mau kita buat besok? Jadi bakar-bakarnya?” tanya Achi.
“Kalo buat bakar-bakar cukup uang kita?” tanya Arham.
“Kalo uang kita berdua kayaknya cukup, tapi uang kas posko gak tahu,” ledek Achi yang disambut tawa dan sorak teman-temannya.
Arham yang sadar diledekin langsung melotot ke arah sang istri.
“Kalo mau pake uang kalian juga boleh, boleh banget malah...” tambah Viza.
“Hahaha.... buat modal bulan madu Vii,” ledek Achi lagi. Sang suami yang jarak duduknya cukup jauh hanya bisa menggaruk-garukkan kepalanya.
“Memang lah si Achi ini. Jadi berapa uang kas kita?” tanya Fikri.
“Lima ratus enam puluh tiga ribu empat ratus rupiah. Cukup lah buat bakar-bakar, apa lagi bakar posko ini, lebih dari cukup...” Achi kembali tertawa.
Rika dan Liya yang duduk disampingnya mulai menggelitiki dan mencubit pinggangnya. Arham yang melihat hal itu hanya tertawa dan menggelengkan kepalanya.
♥♥♥♥♥
Malam ini mereka mengepak barang masing-masing untuk dibawa pulang ke Medan. Besok mereka semua sudah harus kembali ke tempat masing-masing. PPLT sudah selesai, semua kegiatan yang berhubungan dengan PPLT pun sudah diselesaikan dengan baik.
Tengah malam kemarin, sehabis perpisahan dengan penduduk sekitar, mereka mengadakan malam kejujuran. Semua harus mengatakan kejujuran, termasuk ketika Lusi mengatakan bahwa dia menyukai Arham, mau tak mau dia harus menelan duka karena Arham telah menjadi milik Achi. Mereka saling menangis dan meminta maaf atas kesalahan-kesalahan yang telah terjadi selama tiga belas minggu yang telah mereka lalui.
“Udah semua Chi?”
“Udah Ka. Jadi kalian langsung pulang ke Medan besok?”
“Iya lah Chi. Secara Senin masih harus ke kampus buat jumpain dosen kita itu kan, trus juga nyerahin laporan itu. Jadi harus buru-buru pulang lah.” Terang Rika.
“Achi pulang kapan?” tanya Viza.
“Insya Allah hari minggu. Arham ngajak buat nginap di rumah neneknya besok. Sekalian beresin perlengkapan dia yang disana. Jadi insya Allah besok pagi-pagi langsung berangkat ke sana. Achi nggak bisa nemenin kalian ya.”
“Ah, nggak apa-apa kok Chi. Toh posko udah nggak ada lagi yang mau diberesin, udah selesai semua. Makasih buat bantuannya selama ini ya Chi...” ujar Rika sambil memeluk temannya itu. Mereka saling berpelukan, mengingat selama tiga belas minggu sudah mereka saling berbagi suka dan duka.
♥♥♥♥♥
- Penulis
